Perppu Cipta Kerja Antara Polemik dan Ketidak-pastian Nasib Pekerja 

Opini366 Views

 

 

 

Oleh: Reni Safira, Mahasiswi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Ribuan buruh kembali menggelar demonstrasi menolak isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Cipta Kerja pada Sabtu, 14 Januari 2023. Adapun isu yang diangkat dalam aksi tersebut sama seperti aksi-aksi sebelumnya yakni fokus pada sembilan poin inti permasalahan yang ada di dalam Perppu Cipta Kerja.

Kesembilan poin itu di antaranya terkait dengan pengaturan upah minimum, pengaturan outsourcing, pengaturan uang pesangon, pengaturan buruh kontrak, pengaturan pemutusan hubungan kerja atau PHK, pengaturan tenaga kerja asing atau TKA, pengaturan sanksi pidana, pengaturan waktu kerja, dan pengaturan cuti.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyebut Peraturan Pengganti Undang-undang atau Perppu Cipta Kerja tidak memberikan kepastian bagi para pekerja, yang paling utama adalah soal kontrak.

Menurut Said, kontrak kerja yang diatur dalam Perppu Cipta Kerja memiliki banyak persepsi, sehingga dapat merugikan pekerja kontrak tentang masa depan pekerjaannya.

“Bisa dikontrak hari ini, seminggu dikontrak besok dipecat nggak pakai pesangon, sebulan dikontrak dipecat nggak pakai pesangon, nggak ada jaminan kesehatan, nggak ada jaminan pensiun,” kata Said seperti yang dikutip dalam tempo.co.

Atas dasar itulah, dirinya turun langsung ke jalan menyuarakan kegelisahan buruh terhadap diberlakukannya Perppu Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022.

Perppu ini diklaim sebagai langkah strategis menghadapi resiko Resesi Global pada 2023. Jika dianalisis Undang-Undang Cipta Kerja ini, sudah tidak diragukan lagi bahwa sangat menguntungkan para investor asing dan mengikis perlindungan tenaga kerja.

Perppu pengganti undang-undang cipta kerja ini pun semakin menunjukkan kedekatan posisi penguasa dengan pengusaha. Penguasa dalam sistem kapitalisme tampaknya tidak berpihak pada rakyat. Kapitalisme telah mendistorsi fungsi penguasa hanya sebagai regulator kebijakan dan kepentingan kapitalis.

Jauh berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam. Penguasa dalam Islam  mengatur perkara ini menggunakan konsep syariah dan mendudukkan masalah dengan adil. Islam merupakan sistem kehidupan yang berasal dari Allah ta’ala dan dipraktikkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bukan seperti sistem kapitalisme yang lahir dari akidah sekularisme dan merupakan hasil pemikiran manusia.

Kepemimpinan dalam Islam memiliki sifat sebagai pelayan rakyat dan pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya temasuk memberi jaminan tersedianya lapangan kerja bahkan membuat pelatihan kerja bagi rakyat.

Dalam ekonomi Islam perburuhan diatur menggunakan akad ijarah. Antara buruh dan pengusaha harus mematuhi ketentuan akad ini dan tidak boleh saling merugikan serta berbuat zalim antara satu dengan yang lain. Untuk buruh pekerja wajib memberikan jasa yang sudah disepakati bersama dengan majikan perusahaan.

Buruh terikat dengan jam atau hari kerja maupun jenis pekerjaannya. Para buruh juga tidak boleh berbuat zalim dan merugikan perusahaan semisal merusak alat-alat produksi, tidak bekerja pada jam yang disepakati, atau berbuat seenaknya.

Begitu pula pihak perusahaan wajib menjelaskan kepada buruh mereka tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya, serta jumlah upah dan hak-hak mereka. Sangat mudah memberi keadilan antara buruh dan pengusaha jika paradigma yang digunakan adalah Islam.

Sayangnya konsep seperti ini tidak akan terlaksana kecuali ada negara yang menerapkan Syariah Islam secara Kaffah. Sebab hanya dalam konsep Islam para pekerja dan pengusaha bisa hidup sejahtera, bahkan semisal sekalipun upah yang mereka dapat tidak mencukupi kebutuhan dasar.

Sistem ekonomi islam memberi subsidi dari dana zakat dan lainnya di Baitul Mal. Maka demikianlah islam hadir memberi solusi dalam setiap masalah manusia. Wallahu a’lam bisshowwab.*[]

Comment