KTT G20 dan Tinjauan Konsep Teologi Antroposentris Hassan Hanafi

Opini461 Views

 

 

Oleh : Mufidah Hayati, Mahasiswi Pascasarjana UIN Bukittinggi

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia saat ini tengah menggelar hajatan penting, yakni Presidensial G20 yang digelar sepanjang tahun. G20 merupakan forum kerjasama multilateral yang terdiri dari 19 negara besar dan Uni Eropa (UE). G20 mewakili lebih dari 60% populasi dunia, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia.

Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Prancis, China, Turki, dan Uni Eropa. G20 merangkul negara maju dan berkembang untuk bersama-sama mengatasi krisis, terutama yang melanda Asia, Rusia, dan Amerika Latin.

Tujuan G20 adalah untuk mencapai pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif. Presidensi G20 merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dalam bersama-sama memulihkan ekonomi pasca COVID-19, menjaga keseimbangan global, menyuarakan kepentingan negara berkembang melalui pemerataan akses vaksin, transisi energi yang adil dan terjangkau, serta transformasi digital dan ketahanan.

Agenda KTT G20 ditutup dengan makan malam para pemimpin negara dan tamu undangan. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan jamuan khusus dan pagelaran budaya di Garuda Wisnu Kencana (GWK).

GWK yang menjadi salah satu destinasi favorit di pulau Dewata dan semakin indah dalam momen gala diner ini. Momentum Presidensi G20 Indonesia juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan keragaman budaya dan kearifan lokal kepada masyarakat internasional seperti Tarian Garuda Paksi, Kecak, dan Bujang Ganong. Disusul dengan penampilan lagu Damai yang diiringi oleh tarian rusa, halibut, kupu-kupu, dan rangkong.

Tarian tersebut mengusung tema ‘Alam’ yang sejalan dengan tema Presidensi G20 Indonesia. Penampilan ketiga bertema ‘Pulihkan Bersama’ menampilkan kendang Indonesia yaitu kendang Sunda, Beleq, dan Dol. Tari Topeng Betawi, Belian Bawo, Randai, Tari Lala, dan Tari Papua juga mengiringinya. Terakhir, dengan tema ‘Heal Stronger’, lagu Malam Indah diiringi dengan Tarian Kipas, Tari Payung, dan musik dangdut.

Tanpa disadari, ragam tarian daerah ini telah mendekatkan kita pada pemikiran teologis teosentris dan antroposentris Hassan Hanafi tentang Tuhan dalam peradaban Islam yang relevan saat ini.

Mazhab teologi tampaknya telah masuk kembali ke dalam sisi-sisi terdalam dari sistem kepercayaan umat Islam, khususnya dalam memikirkan tentang hakikat Tuhan, yaitu eksistensi. Wujud adalah tuntutan bagi manusia untuk dapat menunjukkan eksistensinya.

Mendemonstrasikan adanya perilaku positif sudah memiliki bukti nyata dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti hadis Nabi Muhammad yang terkenal “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.

Salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi diri sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut adalah dengan saling membantu, bekerja sama, penuh kepedulian terhadap sesama. Sehingga berdampak positif bagi kehidupan sosial masyarakat.

Watak Tuhan, qiyam binafsihi, dalam konteks negara, sesuai dengan apa yang dilakukan bangsa Indonesia dalam politik luar negerinya, yaitu bebas dan aktif. Bebas bekerjasama dengan negara manapun tanpa campur tangan negara lain dan aktif dalam kegiatan internasional.

Pemikiran nonblok harus dimiliki umat Islam agar tidak terpengaruh oleh budaya lain yang pada akhirnya akan menghilangkan budayanya sendiri.

Jika diperhatikan, tidak ada umat Islam saat ini yang benar-benar menganut teologi secara mentah-mentah. Menurut Hanafi, teologi yang selama ini dipahami umat Islam belum membawa perubahan atau semangat kemajuan di kalangan umat Islam.

Teologi merupakan dasar agama Islam, ruh yang melandasi lahirnya ilmu pengetahuan dan semangat keagamaan. Konsep-konsep teologis yang ditafsirkan para teolog terlalu teosentris, dan sama sekali tidak menyentuh aspek antroposentris. Padahal manusia membutuhkan konsep-konsep teologi antroposentris yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan empiris.

Menurut Hasan Hanafi, konsep-konsep teologis yang dianut umat Islam saat ini lebih banyak mengandung konsep-konsep luhur dan gagasan-gagasan kosong, bukan gagasan-gagasan nyata yang dapat mengantarkan manusia pada kehidupan nyata dan seolah-olah konsep-konsep tersebut asing bagi mereka, dirinya sendiri, dan orang lain.

Padahal, konsep teologi yang berkembang saat ini hanya digunakan untuk membela dogma-dogma yang bersifat teosentris ketimbang membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia yang bersifat antroposentris.

Padahal pemikiran teologis harus menjadi konsep yang membebaskan manusia dan dapat menjadi landasan utama bagi motivasi manusia menuju kemandirian, kesadaran dan kemajuan. Teologi kalam Hassan Hanafi tentang hakikat Tuhan, khususnya wujud dan qiyam binafsihi menekankan bahwa sebagai bangsa kita dapat menunjukkan eksistensi kita dengan memperkenalkan keragaman budaya dan kearifan lokal kepada masyarakat internasional.

Selain itu, kerjasama dengan berbagai negara diperlukan untuk mempererat persahabatan dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan internasional. Ini merupakan wujud realisasi teologi teosentris menuju antroposentris dalam pemikiran Hassan Hanafi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Comment