Oleh: Muhamad Afdoli Ramadoni, M.Sos, Pegiat Literasi Politik di The Political Literacy Institute
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Awal Oktober lalu dunia dihebohkan oleh tragedi Kanjuruhan, Malang yang
memakan 134 korban jiwa. Belum pulih dari kejadian tersebut, pada akhir Oktober dunia kembali dikejutkan oleh
berita tragedi Hallowen. Tentu
berita tersebut menyita publik untuk mencari tahu apa yang terjadi?
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol
mengumumkan tragedi di Itaewon telah mengguncang. Dunia berkabung dengan tewasnya 155 orang dan 82 orang mengalami luka-luka ringan dan berat.
Peristiwa terjadi disebabkan adanya gelombang massa, masyarakat panik beraksi hingga terjadi saling dorong antar pengunjung. Hal ini berujung pada kehilangan kemampuan mengendalikan pikiran dan bertindak irasional.
Distrik Itaewon populer sebagai lingkungan favorit anak Korea Selatan. Tempat tersebut menjadi simbol kehidupan yang bebas menawarkan berbagai produk dan jasa yang
mewadahi muda-mudi mengejar kesenangan materi dan duniawi seperti klub malam, bar, restoran, dan cafe.
Sebagian besar korban meninggal dunia adalah para remaja berusia 20-
tahunan, umur yang sangat muda dan dalam masa produktif.
Ini sebagian dari contoh generasi muda hanya tahu hidup untuk bersenang-senang tanpa berpikir tujuan hakiki
kehidupan. Pada akhirnya meninggal dalam kondisi pesta pora yang berujung tragis.
Ini benar-benar berita bencana yang mengerikan. Pengunjung menggila merayakan Hallowen lebih dari 10.000 orang ikut-ikutan (contagion) mendatangi Itaewon. Sungguh
disayangkan ratusan orang meninggal dengan sia-sia dipicu oleh kerumunan besar yang membuat saling berdesak-desakan, terinjak-injak menjadi kesulitan bergerak hingga sulit
bernafas dan mengalami henti jantung (cardiac arrest).
Sontak kejadian ini pun menjadi perhatian masyarakat dunia. Duka ini menjadi perhatian khusus untuk semua manusia bahwa hidup tidak hanya memikirkan euforia melainkan memperhatikan hidup dengan sebenar- benarnya.
Menurut David A. Locher dalam bukunya berjudul Collective Behavior (2002), mengatakan, perilaku kerumunan mematikan di Itaewon ini mencerminkan peristiwa perilaku
yang tidak biasanya (unusual behavior). Perilaku kolektif ini telah meliputi sebagaian besar kehidupan masyarakat sipil, membawanya ke dalam peristiwa-peristiwa yang dramatis, rusuh, hingga kegilaan. Sehingga terjadi perilaku kerumunan (crowd behavior).
Tentu kejadian mematikan ini tidak diharapkan, namun mengapa masyarakat mau mendatangi tempat sempit yang dipadati ribuan orang sehingga menimbulkan korban jiwa?
Para pengunjung sudah kehilangan kemampuan bagaimana cara keluar dan mengendalikan diri dalam kerumuman yang begitu ramai.
Tragedi memilukan ini terjadi akibat kelalaian pengendalian massa yang membludak disebabkan oleh bentrokan (riots) di tengah kerumunan sehingga menyebabkan kekerasan massa (mob violence), kegilaan temporal (temporary insane).
Situasi tersebut membuat orang-orang bertindak berbeda ketika berada dalam suatu kerumuman yang dikendalikan oleh emosi sehingga kerumunan tersebut menjadi lebih buruk, atau menjadi lebih kasar.
Hallowen, salah satu festival di mana masyarakat terbiasa merayakannya mengenakan kostum bernuansa menyeramkan. Terlihat dalam perayaan Hallowen masyarakatnya secara
sadar menggunakan konstum karakter-karakter pada film horor atau atribut menyeramkan lainnya.
Ini menunjukkan fashion sebagai pola sosial yang disukai sejumlah orang dan
dijadikan contoh dimana orang lain menirunya. Sedangkan mode (fads) dalam Hallowen ini minyiratkan gaya hidup liberal dan hedonis serta menyuburkan berbagai perilaku maksiat
yaitu pesta-pesta yang beriringan dengan konsumsi miras dan narkoba hingga membuat situasi tidak terkendali dan semakin kacau.
Dalam situasi kerumunan (crowd) perayaan Hallowen orang-orang terlibat dalam suatu reaksi sirkular (circular reaction), di mana mereka beraksi tanpa adanya proses berpikir atau proses interpretasi.
Para pengunjung ketika mencapai kebingungan (confusion) dalam
kondisi yang serba tidak jelas, akibat keramaian yang memadati tempat pesta, sebagian dari mereka berhenti berpikir rasional tentang perilaku mereka dengan cara saling dorong yang menyebakan kesulitan bernafas dan berujung kepada kematian.
Sontak kejadian pesta Hallowen mengerikan ini telah menggangu pikiran, emosi dan tingkah laku serta membawa luka yang sakit sehingga menimbulkan dampak mendalam
terkhusus keluarga korban.
Atas peristiwa tersebut kami memberikan beberapa masukan
supaya tidak ada lagi kejadian-kejadian mengenaskan terulang kembali.
Bagi penyelenggara event atau penanggung jawab acara yang mengundang keramaian harus memperhatikan analisis dampak lingkungan, menyiapkan kebijakan jika terjadi kedaruratan kerumuman.
Selanjutnya mengenai perizinan tempat, apakah lokasi event tersebut sudah memenuhi standar keramaian hingga kapasitas maksimum pengunjung.
Terkait waktu pelaksanaan,
pengunjung akan semakin berdatangan ketika larut malam, maka ketika over kapasitas, ataupun jika kondisi sudah melebih 50% dari target peserta, penyelenggara sigap mengambil
sikap tegas berupa pemberhentian acara, sehingga dapat memberikan ruang udara bagi pengunjung.
Pihak penyelenggara juga harus bekerja sama dengan pihak aparatur keamanan
dan tenaga medis demi menjaga keberlangsungan acara dengan baik dan damai sehingga keamanan dan kesehatan tetap terkendali.[]
Comment