Jalan Berliku Atasi Kekerasan Seksual

Opini442 Views

 

Oleh: Rizki Utami Handayani, S.ST, Pengajar di Ma’had Pengkaderan Da’i

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Belum lama ini Kementerian Agama RI menerbitkan sebuah aturan baru, yaitu PMA No.73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengapresiasi terbitnya peraturan ini. Beliau mengatakan, regulasi ini diharapkan dapat optimal mencegah terjadinya kekerasan seksual di lembaga pendidikan pada Kementerian Agama dan bisa cepat melakukan penanganan atas kasus-kasus yang terjadi.

Regulasi ini menurutnya akan melengkapi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta regulasi terkait lainnya yang sudah ada sehingga pencegahan kekerasan seksual dapat semakin massif dan kita harapkan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan tidak terjadi lagi, termasuk di tengah masyarakat.

Hal tersebut dilatarbelakangi semakin maraknya kasus-kasus kekerasan di pesantren, madrasah, sekolah berbasis agama.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) seperti ditulis detik (18)1/2022) mengatakan, pada 2021, dari banyak kasus pelecehan seksual, 88% pelaku adalah guru mereka sendiri, 22% sisanya adalah kepala sekolah. Kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan, baik itu umum maupun berbasis agama.

Menurut catatan Komnas Perempuan, seperti ditulis bbcindinesia (20/10/2022), kekerasan seksual dan diskriminasi yang terjadi di ponpes atau pendidikan berbasis agama Islam berada di urutan kedua, yaitu 19%. Peringkat satunya adalah perguruan tinggi. Data ini diambil dari tahun 2015-2020, sedangkan grafiknya terus naik hingga 2022.

Tentu ironi, apa yang menjadi inti masalahnya? Benarkah terbitnya PMA menjadi solusi komperhensif mengatasi persoalan yang semakin hari terus mengkhawatirkan ini?

Jika flash back, PMA jelasnya selaras dengan peraturan sejenis yang telah diterbitkan sebelumnya, Permendikbud Ristek Dikti No.30 Tahun 2021 dan RUU Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual, yang disahkan menjadi Undang-Undang pada bulan April 2022.

Bukan tanpa masalah, aturan-aturan tersebut diwarnai pro dan kontra, bahkan dari hal paradigmatik seperti pemilihan istilah “kekerasan seksual” bukan “kejahatan seksual”?

Masalahnya cukup suram, buktinya istilah “kekerasan seksual” itu sendiri timpang, tidak mencakup penyimpangan seksual (perzinaan) selama dilakukan suka sama suka, hatta, disorientasi seksual seperti homoseksual (LGBT) pun tidak tercakup dalam istilah tersebut, bertolak dari paradigma sexual consent, yang jelas-jelas bertentangan dengan paradigma Islam yang sangat apik nan komperhensif menjaga relasi laki-laki dan perempuan.

Konsep Feminist Legal Theory jelas dijadikan sandaran, menimbulkan dampak ikutan karena secara asasi bertentangan dengan konsep Islam itu sendiri.

Sudah seharusnya disadari, feminisme bagaikan pisau bermata dua, acapkali menimbulkan masalah di satu sisi dan mempermasalahkan Islam dalam topik perempuan di sisi lainnya.

Feminisme menuding Islam melakukan intervensi berlebihan kepada perempuan dalam topik independensi perempuan mengatur tubuhnya. Seakan lupa, bahwa Islam dengan berbagai syari’atnya yang paripurna turun dari Dzat yang Menciptakan manusia dan alam semesta, sejatinya memelihara manusia dari berbagai keburukan, termasuk keburukan yang dipandang baik oleh manusia (lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 216).

Islam, dengan paradigmanya yang agung memandang segala bentuk pelanggaran syari’at dalam persoalan seksual, merupakan kejahatan seksual yang wajib dicegah dan dilarang.

Dengan kata lain, kejahatan seksual mencakup segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang bertentangan dengan syari’at Islam, ia tidak legal dan tidak boleh dilegalkan. Mencakup dua sisi; baik sisi perbuatan maupun objeknya.

Dari sisi perbuatan, kategori kejahatan meliputi: (1) Hubungan seks di luar nikah, baik dilakukan atas dasar suka sama suka maupun paksaan (kasus pemerkosaan); (2) Hubungan seks menyimpang seperti sodomi, meskipun terhadap istri dan berdasarkan kerelaannya; (3) Hubungan seks dengan cara sadis dan disertai penyiksaan; (4) Hubungan seks saat istri sedang haid, dan segala sesuatu yang melecehkan martabat dan harga diri seseorang, baik perempuan maupun laki-laki. Adapun kategori kejahatan seksual berdasarkan objeknya mencakup hubunggan seks dengan objek: (1) Hewan; (2) Mayat; (3) Sesama jenis; (4) Incest (hubungan sedarah), dan dengan (5) Anak di bawah umur.

Keagungan Islam, dibuktikan dengan perlindungan dan penghargaan Islam terhadap wanita dan kesehatan reproduksinya, mencakup aturan yang melarang penyiksaan fisik dan segala bentuk perbuatan aniaya terhadap istri (Henri Shalahuddin, Indahnya keserasian Gender dalam Islam, 2020).

Itu semua membuktikan bahwa dari segi istilah saja, istilah yang lebih tepat adalah ‘kejahatan seksual’, bukan ‘kekerasan seksual’ dalam asumsi feminisme.

Gagalnya pencapaian tujuan di balik penerapan UU Kekerasan Seksual di Amerika Serikat tahun 1994 (Violence Against Women Act, VAWA) yang berakhir tahun 2011 seharusnya menjadi pelajaran.

Jika UU ini disahkan kembali, pemerintah federal harus mengucurkan dana besar ke seluruh negara bagian untuk proyek-proyek penanggulangan kekerasan terhadap perempuan (Nazreen Nawaz, Mengkritik Feminisme, 2019).

Inilah watak asli negara kapitalis mengatasi masalah penyakit masyarakat, reaktif, dan parsial, memandang uang sebagai solusi, dan parsial mengandalkan poin-poin dalam Undang-Undang. Bahkan kontradiktif, antara Undang-Undang yang diklaim membangun lingkungan yang aman bagi perempuan, dengan doktrin kapitalisme yang memaksakan paradigma sesat bahwa memenuhi keinginan materi adalah tujuan utama hidup bermasyarakat.

Buktinya, selama 20 tahun pemberlakuan VAWA dan berbagai peraturan melarang kekerasan terhadap perempuan, permasalahan seksual ini tak kunjung usai, bahkan semakin menuai badai.

Masalah tak bisa diatasi dengan solusi reaktif, parsial dan kontradiktif, ia hanya bisa diatasi secara sistemik, komperhensif dan menyasar pada akar, dan itu ada pada Islam, di mana sistem Islam memiliki berbagai mekanisme yang mampu memberantas kekerasan seksual secara tuntas.

Dimulai dari mengubah secara fundamental cara pandang sekularistik di tengah-tengah masyarakat, perubahan dimulai dari individu, keluarga hingga level negara, media yang harus bersih dari konten pornografi, kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, juga penerapan sanksi berdasarkan syariat Islam.

Hanya Islam saja yang memiliki nilai-nilai dan prinsip yang mulia dalam menghormati kehormatan perempuan dan laki-laki, bahkan mewajibkan laki-laki melindungi kehormatan perempuan.
Tampak merasa melakukan perbaikan, padahal pada hakikatnya sebaliknya, seakan memutar jarum jam kembali kepada zaman dimana Allah berfirman tentang kaum Munafik:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ {١١} أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ {١٢}

“Dan jika dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 11-12).

Jelas, hanya sistem Islam yang mampu memberantas kekerasan seksual; mengakar, sistemik dan komperhensif. []

Comment