Oleh: Uthe Setya, Aktivis Muslimah Jembrana
____
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Menjadi orang yang berwibawa dan memiliki sifat pengayom, pasti disegani oleh banyak orang. Hanya lewat di depan orang lain saja, rasa hormat yang diberikan tak perlu lagi ada komando.
Sikap ini harus dijaga dan dilaksanakan dengan ikhlas, hingga ketulusan itu bisa dilihat dan dirasakan oleh orang di sekitarnya. Bentuk segan ini bukan karena pencitraan atau sekadar mencari dukungan. Tetapi memang begitulah semestinya. Inilah yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin dan penegak hukum, termasuk polisi salah di dalamnya.
Belakangan, perilaku polisi terus disorot oleh masyarakat. Bagaimana tidak, mulai dari kasus pembunuhan Brigadir J oleh atasannya (tempo.co 9/8), kasus dugaan judi online (liputan6.com 23/8) hingga pesta narkoba dan miras di kantor polisi yang terjadi di Polsek Sukodono-Jatim (cnnindonesia.com 23/8).
Definisi polisi dalam KBBI adalah badan pemerintah yang ditugaskan oleh Negara sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban umum. Mereka inilah yang diharapkan dapat menjaga keamanan masyarakat. Bahkan polisi menjadi salah satu profesi favorit yang menjadi cita-cita anak-anak kecil, karena bagi mereka profesi ini keren dan dapat dibanggakan.
Saat dunia dalam kepemimpinan Rasulullah SAW pun sudah dikenal adanya kepolisian atau syurthah. Secara bahasa, syurthah maknanya pembantu penguasa. Dari makna tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kepolisian adalah kekuatan utama sebuah Negara. Tugasnya cukup kompleks, yakni menjaga keamanan negeri dari berbahai ancaman kejahatan, gangguan seperti zina, murtad, dsb.
Sama halnya dengan polisi saat ini, mereka juga memiliki wewenang menggunakan senjata. Polisi dalam Islam diharuskan taat syariat, senantiasa menjadikan hukum syara’ sebagai tonggaknya dalam mengambil tindakan.
Diharamkan bagi mereka untuk membunuh tanpa alasan, memata-matai rakyat dengan menyadap telepon, meretas email, dan sejenisnya. Dilarang juga bagi mereka untuk membuat rakyat ketakutan, seperti asal tangkap, menembakkan gas air mata, memukuli warga.
Namun sangat disayangkan, dalam sistem yang jauh dari Islam, gambaran polisi sekarang justru kebalikannya. Mengapa profesi ini tidak seperti yang dicita -citakan oleh anak anak? Contoh skala kecil saja, saat berada di jalan raya, pemakai jalan memiliki rasa khawatir jika ada polisi. Takut tiba-tiba ditilang.
Kepolisian di Arab Saudi yang mayoritas penduduknya muslim pun saat ini tidak menjadikan Islam sebagai pegangannya. Tidak ada lagi polisi syariat di sana yang membuat kehidupan semakin jauh dari nilai nilai islam.
Karena peran polisi sebagai penegak hukum syariah itu sangat penting, maka tidak sembarang orang dapat masuk ke kepolisian. Tidak cukup hanya bertubuh tegap saja, namun disyaratkan juga orang-orang yang bertakwa dan cerdas.
Setidaknya, ada 3 syarat untuk dapat menjadi polisi dalam Islam, di antaranya yaitu terpercaya agamanya, tegas membela kebenaran, waspada serta tidak mudah dibodohi. Dengan memiliki tiga sifat inilah hukum dapat ditegakkan. Orang-orang seperti ini tidak mudah menerima suap dan memutar-balikkan fakta.
Polisi bisa juga seorang wanita. Para wanita dapat menjadi polisi dalam perkara-perkara umum. Tugasnya bisa berada di pasar mengawasi jual-beli agar dapat langsung menindak tegas kecurangan, mengawasi masyarakat yang tidak menjalankan sholat terutama bagi pria yang diwajibkan sholat di masjid, dan yang semisal dengan itu.
Dengan keberadaan polisi yang amanah beserta tugas-tugas tersebut, maka tidak akan ada masyarakat yang takut pada polisi. Masyarakat akan percaya bahwa polisi adalah sebenar-benarnya penegak hukum selama polisi yang direkrut adalah pribadi-pribadi yang taat pada Allah.
Proses pembentukannya dibangun di atas iman dan takwa serta bertujuan menjaga dan menegakkan hukum Allah di atas bumi ini. Dengan begitu hukum tidak akan mudah lagi dibeli oleh oligarki apalagi menjadi pelindung bagi kezhaliman penguasa. Wallahu a’lam bi showab.[]
Comment