Narasi Pemenuhan Gizi Keluarga Solusi atau Sekadar Wacana?

Opini693 Views

 

Oleh: Heni Ummu Faiz, Ibu Pemerhati Umat

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Ibarat itik mati di lumbung padi.
Itulah peribahasa yang tepat tentang kondisi rakyat Indonesia. Tanah Air yang subur makmur dengan sumber daya alam melimpah ruah, tetapi rakyatnya tidak sejahtera. Banyak anak-anak Indonesia mengalami stunting akibat pemenuhan gizi keluarga tidak terpenuhi. Semua itu akibat kemiskinan melanda rakyat Indonesia.

Menurut Dinsos Surabaya, sebanyak 20 ribu masuk data kemiskinan ekstrem
sedikitnya 23.532 warga di wilayah setempat masuk dalam data kemiskinan ekstrem, yang diketahui dari hasil pencocokan data melalui administrasi kependudukan, yakni kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) dengan kondisi di lapangan (jatimantarnews, 16/10/2022).

Indonesia yang saat ini mengalami krisis pangan, tentu akan sulit mewujudkan pemenuhan gizi keluarga. Sekalipun pemerintah mengimbau begitu pentingnya pemenuhan gizi keluarga ini, jika kesejahteraan rakyat tidak terjamin,  maka bagi rakyat, ajakan ini dianggap sebagai wacana semata.

Seperti dilansir Republika.com (16/10/2022), Kemenko PMK menekankan tentang pentingnya gizi keluarga, guna mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat perlu ditunjang dengan pemenuhan gizi dengan nutrisi yang optimal.

Paska diterpa pandemi, kondisi perekonomian Indonesia berada di ujung tanduk keterpurukan. Hampir semua lini kehidupan mengalami kolaps. Naiknya harga kebutuhan hidup, seperti sembako dan naiknya harga BBM semakin mencekik kehidupan rakyat.

Dengan kondisi ini, jangankan membeli makanan bergizi, untuk sekadar membeli kebutuhan pokok seperti beras saja sangatlah susah. Hal tersebut dikarenakan nilai mata uang yang dimiliki tidak setara dengan harga kebutuhan hidup yang terus merangkak naik.

Inilah dampak kapitalisme. Para pejabat hanya memberi wacana serta anjuran tanpa memikirkan fakta kehidupan masyarakat yang penuh dengan kesengsaraan.

Lihat saja di tengah meningkatkannya kemiskinan, para pejabatnya sibuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi yang kian marak. Di sisi lain, mereka tidak bersegera atasi kasus stunting pada jutaan anak di negeri ini. Mereka seolah menutup mata tanpa solusi yang menyentuh akarnya, yakni jaminan kesejahteraan hidup.

Sejatinya negara bertanggung jawab secara penuh agar rakyat merasakan kesejahteraan hidup bukan justru sebaliknya, menelan pil pahit kesengsaraan di tengah berlimpah ruahnya sumber daya alam yang dijuluki Negeri Jamrud Khatulistiwa. Mengharap  kesejahteraan hidup dalam kapitalisme laksana mimpi di siang bolong, tak kan pernah nyata.

Hal tersebut tentu saja akan sangat berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam kesejahteraan rakyat bukan sekadar wacana, tetapi nyata adanya. Sejarah Islam telah mencatat betapa kesejahteraan hidup bagi rakyat baik muslim maupun nonmuslim telah tertoreh di panggung peradaban Islam yang gemilang. Bukan hanya Islam yang mengakui, bahkan nonmuslim pun mengakuinya.

Semua ini terjadi karena para pemimpin dalam Islam didorong oleh rasa ketakwaan dan keimanan yang kuat. Mereka sangat takut terhadap kehidupan akhirat. Tak heran jika kemudian para khalifah memberi pelayanan kepada rakyatnya sepenuh hati. Laksana penggembala yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.

Kesejahteraan hidup dalam Islam begitu melimpah sampai-sampai di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak ada seorang pun yang mau menerima zakat. Semua terjadi karena pemimpin dalam Islam sangat memikirkan kesejahteraan rakyat, bukan memperkaya diri sendiri ataupun korupsi.

Dalam Islam, pemimpin hidup secara sederhana karena rasa takut kepada Allah sedangkan dalam sistem kapitalisme justru sebaliknya.

Dalam kurun waktu yang cukup lama Islam mampu menyejahterakan rakyat dan menjadi mercusuar dunia. Bahkan saat Eropa, khususnya Irlandia terjadi krisis pangan, Islam hadir dengan bantuan tanpa melihat perbedaan agama.

Bukan hanya itu, keistimewaan sistem Islam ini juga mampu melahirkan generasi bebas stunting karena Negara begitu memperhatikan pemenuhan gizi keluarga. Para keluarga ini mampu memberikan yang terbaik kepada putra-putrinya tanpa dihadapkan kesulitan hidup.

Kehidupan sejahtera menjadi dambaan setiap orang. Namun, mengharapkan hidup sejahtera tanpa Kemiskinan ditambah generasinya bebas stunting dalam sistem kapitalisme hanya sebuah ilusi dan mimpi.

Berbeda dengan sistem Islam, mendambakan hidup sejahtera justru sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya manusia berpikir sehat bahwa Islam itu rahmat yang mampu menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi segenap alam. Wallahualam bissawab.[]

Comment