Aturan Baru Pencegahan Kekerasan Seksual, Sudah Tepatkah?

Opini538 Views

 

 

Oleh: Suci Ramdayani, S.Pd, Aktivis Muslimah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini, tak terkecuali di lingkungan pendidikan. Baik sekolah umum, swasta bahkan pondok pesantren. Kekerasan seks adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korban.

Berdasarkan pengumpulan data milik kemen PPPA terjadi kasus kekerasan pada anak tahun 2019 sebanyak 11.057 kasus, 11.279 pada 2020, dan sebanyak 12.566 kasus hingga data November 2021. Pada anak kasus yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual sebesar 45 persen, kekerasan psikis 19 persen, dan kekerasan fisik sekitar 18 persen, sementara pada kasus dialami perempuan, tercatat juga turut mengalami kenaikan dalam tiga tahun terakhir pada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan (CNN Indonesia.com).

Kekerasan seksual bukanlah suatu perkara yang baru dan angka kasusnya setiap tahun semakin meningkat. Sementara itu Komnas Perempuan membeberkan bahwa kekerasan seksual paling sering terjadi di lingkungan pendidikan perguruan tinggi negeri dengan 35 kasus. Data ini mulai memuncak dari tahun 2015-2021. Kekerasan yang terjadi dilingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen, lalu kekerasan fisik 1,1 persen.

Berbagai pencegahan telah dicanangkan untuk menghentikan kekerasan seksual namun nampaknya belum membuahkan hasil yang maksimal. Pasalnya kasus ini seringkali terjadi di ranah pendidikan yang notabenenya tempat generasi menuntu ilmu. Maka kewaspadaan pendidik dalam memperhatikan anak menjadi hal utama.

Terlepas marebaknya kasus pelecehan seksual, maka Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan PMA (Peraturan Menteri Agama) tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual pada satuan pendidikan di kementerian agama.

Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dalam PMA Nomor 73 tahun 2022 datang pada tanggal 5 oktober 2022 dan mulai diundang sehari setelahnya. Anna Hasbie (jubir kemenag) menerangkan:

“Setelah melalui diskusi panjang kita bersyukur PMA tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual disatuan pendidikan pada kementerian agama akhirnya terbit dan sudah diundangkan per 6 Oktober 2022”.

Dalam aturan tersebut berisi sanksi administratif sesuai tingkat pelanggarannya berupa teguran lisan, peringatan tertulis, penghentian bantuan, pembekuan izin hingga pencabutan tanda daftar satuan pendidikan. Hal ini tercantum dalam pasal 19 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Sayangnya, sederet UU yang telah dibuat, justru belum mampu meredam kasus kekerasan seksual. Buktinya sampai sekarang masih menggurita dan berulang.

Pelecehan tidak hanya menimpa wanita, namun bisa saja menimpa pria bahkan anak-anak yang berakibat trauma seumur hidup, bahkan tak sedikit berujung kematian. Segudang cara telah dilakukan pemerintah untuk membuat kebijakan tapi nyatanya belum mampu memberantas kekerasan seksual di tengah arus paham-paham liberal yang mengintai masyarakat.

Paham liberalisme ini memicu individu bertindak sesuka hati. Hal ini membuat mereka mengekspresikan perilaku tanpa melihat batasan-batasan syariat.

Harapan dan solusi terkait aturan yang telah disahkan Kemenag apakah mampu memberikan efek jera atau bisa mencegah kekerasan seksual di satuan pendidikan? Olehnya itu, mari kita lihat nanti apakah pencegahan ini sudah tepat atau malah sebaliknya.

Melihat sistem sekarang, kebijakan yang dilakukan masih tumpang tindih, artinya akar dari masalah belum bisa teratasi. Aturan hari ini masih berasaskan sistem demokrasi kapitalis di mana sistem ini memisahkan agama dari kehidupan dan melahirkan paham kebebasan (liberalisme).

Sejalan dengan itu, manusia bebas bertingkah dan berperilaku. Mereka juga membuat aturan sendiri di mana agama hanya sebatas identitas belaka. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Maka sejatinya kita harus taat dan patuh terhadap aturan-Nya.

Jika aturan yang dipakai berasal dari manusia, kasus dan masala yang terjadi tidak terselesaikan secara tepat. Kita ketahui manusia memiliki akal yang sangat terbatas. Maka wajar jika setiap regulasi yang dibuat pemerintah berujungg nihil. Kpitalisme sekuler gagal mensolusi persoalan utama kekerasan seksual.

Berbeda halnya jika kita senantiasa berkiblat kepada sistem islam. Solusi tuntas berbagai persoalan umat akan diberantas. Islam adalah agama paripurna yang mampu mendeteksi persoalan dari sumber atau akarnya.

Islam mengatur seluruh urusan manusia dalam hal ibadah, muammalah, hingga bernegara. Jika Islam diterapkan dalam seluruh lini kehidupan, maka keamanan serta kesejahteraan akan dirasakan oleh seluruh rakyat.

Inilah gambaran sistem islam yang dapat mengubah tatanan kehidupan sehingga mampu menghentikan perilaku seks bebas secara tuntas dan mencegah munculnya peluang-peluang penyimpangan perilaku termasuk seks bebas.

Selain itu, Islam juga mencegah segala sesuatu yang memicu terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual, misalnya menyaring berbagai konten-konten berupa video, tulisan dan lain sebagainya. Bagi mereka yang menjadi pelaku pelecehan seksual juga akan diberikan sanksi tegas.Tindakan ini dilakukan dalam upaya mencegah perbuatan serupa terjadi di kemudian hari sehingga memberi efek jera bagi para pelaku.

Pelaku kekerasan seksual sesungguhnya termasuk ke dalam perbuatan zina sehingga perbuatan ini dilarang dalam islam. Sebagaimana dalam Firman-Nya:

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan fahisyah (keji) dan jalan terburuk”(QS. al Isra: 32).

Kemudian Al-Qur’an dan hadis Nabi juga menyebut berbagai bentuk kekerasan seksual seperti penghukuman seksual (qadfu al-muhshonat), pemaksaan perkawinan (al-ikrah ala an-nikah), pemaksaan perkosaan (al-Ikrah bi al-wath’i atau al-ikrah bi az-zina) dan bentuk kekerasan lainnya.

Perhatian Alquran terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual menjadi pembelajaran yang sangat kuat bahwa segala bentuk kekerasan seksual secara nyata telah merendahkan harkat dan martabat kemanusian yang harus segera diakhiri dan dihapuskan.

Sejatinya hanya islam yang mampu mengembalikan kemuliaan manusia. Dalam hal ini peran negara juga sangat dibutuhkan.

Sebaliknya jika aturan negara masih berkiblat kepada sistem buatan manusia maka selamanya kita akan terpedaya dalam kasus kekerasan seksual.

Kejahatan tidak mungkin terselesaikan secara tuntas selama masih berpegang teguh pada norma-noma kebebasan yang tidak terikat hukum syara’. Wallahu’alam bisshawab.[]

Comment