Nakhoda dan Kapal Berbeda Haluan, Mungkinkah?

Opini604 Views

 

Oleh: Titin Kartini, Pegiat Literasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pernikahan adalah suatu peristiwa sakral, suci dan tentunya dinanti setiap insan agar bisa berada dalam satu ikatan yang diakui baik oleh negara maupun agama. Satu visi, satu misi mengarungi rumah tangga bersama.

Bahkan dalam agama Islam rumah tangga adalah ibadah terpanjang yang akan dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu membutuhkan ilmu serta persiapan lahir dan batin untuk melaluinya, agar pernikahan menjadi sakinah mawadah warahmah.

Ibarat kapal dan nakhoda itulah pernikahan, di mana nakhoda adalah pemimpinnya layaknya seorang suami yang menjalankan dan memberikan arahan. Sedangkan awak kapal adalah sang istri yang tentunya mengikuti arahan dari suami agar sampai pada satu tujuan yang sama, menghadapi tantangan selama perjalanan bersama-sama, mengimani apa yang suami imani. Namun bagaimana jika awak kapal dan nakhoda tak seiring sejalan dalam hal iman?

Love is blind, cinta itu buta karena tidak dapat melihat semua gelap yang ada hanya kamu dan aku untuk menjadi satu. Ungkapan kuno namun faktanya kebanyakan yang seperti itu.

Orang yang sedang jatuh cinta tak bisa berpikir dengan jernih. Segala cara akan dilakukan demi cinta, bahkan norma agama yang melarang mereka bersatu ketika keyakinan yang berbeda sekuat tenaga akan mereka lawan.

Hal ini seperti mendapat angin segar karena negara menjamin dan melegalkan pernikahan berbeda agama, bahkan lembaga yang seharusnya memberikan arahan, membuat aturan pasti tidak dapat membendungnya.

Fenomena pernikahan berbeda agama kian marak terjadi di masyarakat, baik kalangan atas maupun bawah. Hal ini semakin bertambah dengan adanya para publik figure yang seolah mengkampanyekan hal tersebut.

Lembaga negara tak dapat memberikan aturan yang tegas hingga terkesan abu-abu. Hal ini bis akita lihat ketika Kementerian Agama (Kemenag) yang menegaskan bahwa pengadilan agama tidak mengesahkan pernikahan beda agama, tetapi pengadilan negeri bisa memerintahkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mencatatkan pernikahan tersebut.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin seperti dikutip id.berita.yahoo.com, (29/8/2022), mengatakan bahwa Pengadilan Agama mempunyai dasar untuk merekomendasikan agar pernikahan beda agama bisa tercatat ketika sudah mendapatkan persetujuan, namun tidak berarti pengadilan agama mengesahkan. Ketentuan ini sudah tertuang dalam undang-undang tentang administrasi kependudukan dan undang-undang tentang perkawinan.

Ironis, inilah kenyataan yang ada saat ini. Demokrasi liberal ala kapitalisme yang mengadopsi sekulerisme sebagai asas dan memberi ruang kebebasan melakukan apa saja sambil mengeleminir peran agama mengatur kehidupan. Agama dalam konteks sekuler hanya dijadikan ibadah ritual belaka yang tentu bertolak belakang dengan Islam yang sesungguhnya.

Islam bukan hanya sebagai agama namun juga sebuah ideologi. Sebagai ideologi, Islam tentunya mempunyai aturan kehidupan yang lebih luas. Aturan Islam menjangkau seluruh sendi kehidupan baik pribadi, masyarakat, hingga dalam kehidupan bernegara.

Islam menjadi landasan dalam setiap perbuatan. Alhasil dalam pernikahan, berbeda keyakinan Islam pun mempunyai aturan dan hukumnya. Islam membedakan orang kafir menjadi dua golongan yaitu musyrik dan ahli kitab (lihat QS Al -Bayyinah).

Musyrik dan ahli kitab mempunyai hukum yang berbeda terhadap keduanya. Allah Swt. berfirman:

“Janganlah kalian menikahi wanita musyrikah, hingga mereka beriman dan janganlah kalian menikahi lelaki musyrik hingga mereka beriman (TQS. al-Baqarah [2]: 221).

Dengan tegas ayat ini menjelaskan, bahwa ada larangan kaum muslim menikahi wanita musyrik begitu juga wanita muslimah dilarang menikahi lelaki musyrik.

Namun dalam surat al- Maidah ayat 5 Allah Swt. berfirman: ” Hari ini telah dihalalkan untuk kalian yang baik-baik. Makanan orang yang ahli kitab halal kamu makan. Makanan kamu juga halal untuk mereka makan. Juga wanita mukmin yang menjaga kesuciannya, serta wanita ahli kitab yang juga menjaga kesuciannya, tidak berbuat zina, dan menjadi wanita simpanan”.

Dalam ayat ini menjelaskan diperbolehkannya seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab, dan ini berlaku hanya untuk kaum laki-laki saja sedangkan untuk wanita tetap haram. Namun dalam ayat ini mengandung syarat yaitu muhshanat (menjaga kesucian), ghaira musafihat (tidak berbuat zina), dan muttakhidzati akhdan (menjadi simpanan).

Selain syarat di atas, Islam juga menetapkan bahwa agama anak yang berbeda keyakinan dengan sang ibu sebelum ia baligh wajib mengikuti keyakinan ayahnya sebagaimana nasabnya.

Hal ini memberikan jaminan bolehnya laki-laki menikahi wanita ahli kitab dan tidak membahayakan agama anaknya dengan catatan jika istrinya taat. Namun ini sulit untuk dibayangkan, jika suami istri berbeda keyakinan bagaimana hendak mewujudkan filosofi keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah.

Namun jika apa yang sudah tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu laki-laki menikahi wanita musyrik atau muslimah menikahi laki-laki ahli kitab atau musyrik maka pernikahan tersebut tidak sah, untuk pelaku sendiri tentunya akan ada sanksi karena ia telah melanggar hukum pernikahan dan berbuat zina. Jika tidak dibatalkan pelaku bisa dijerat sanksi perzinahan.

Selain perzinahan, pernikahan berbeda keyakinan juga memicu adanya pemurtadan. Maka Allah pun mengingatkan kembali dalam firman-Nya Al-Baqarah ayat 221 yang artinya: ” Mereka (orang kafir) itu mengajak ke neraka (termasuk murtad), sementara Allah mengajak ke surga dan ampunan-Nya dengan izin-Nya”.

Inilah ketentuan Islam terkait pernikahan berbeda keyakinan. Ketika ketentuan ini diterapkan oleh negara, bukan saja menjaga kehormatan dan kesucian kaum muslim dan muslimah tetapi juga mewujudkan hikmah dalam setiap pernikahan yang tentunya menjadi dambaan setiap pasangan.

Dengan demikian maka akan terwujud rasa sakinah (ketenangan jiwa), mawadah (cinta), dan rahmah (kasih sayang) di antara mereka. Wallahu a’lam bishawwab.[]

Comment