Oleh: Efinda Putri Normasari Susanto, S.Si., M.Sc, Aktivis Muslimah
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Aparat penegak hukum semestinya menjadi pilar keadilan bagi bangsa, namun sayang beribu sayang tugas mulia yang seharusnya teremban diatas pundak mereka begitu mudahnya ditukar dengan pundi-pundi uang. Dunia peradilan dan hukum yang putusan kebenaran semestinya berdasar bukti dan data tapi masih saja tercemari (lagi-lagi) uang.
Pada Rabu (21/9/2022) Hakim Agung Sudrajad Dimyati terseret Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Uang tunai sekitar Rp2,2 miliar, terdiri dari 205 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp2,17 miliar (kurs Rp10.600 per dolar Singapura) dan uang rupiah senilai Rp50 juta telah diamankan oleh KPK dalam OTT tersebut.
Hakim Agung Sudrajad Dimyati diduga terlibat kasus suap kepengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Tak tanggung-tanggung, ada sembilan nama lain yang ditangkap dalam kasus ini. Mereka adalah Elly Tri Pangestu sebagai Hakim Yustisia/Panitera Pengganti MA, Desy Yustria selaku PNS pada Kepaniteraan MA, Muhajir Habibie selaku PNS pada Kepaniteraan MA, Redi selaku PNS MA, dan Albasri selaku PNS MA.
Kemudian ada juga Yosep Parera dan Eko Suparno yang berstatus pengacara, serta Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto yang merupakan pihak swasta, yakni debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Peristiwa ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar mengkhawatirkan.
Gurita Korupsi di Negeri ini
Bukan kali pertama, kasus korupsi di lembaga kekuasaan kehakiman ini setidaknya menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Berdasarkan data KPK, sejak lembaga antirasuah itu berdiri tak kurang 21 hakim terbukti melakukan praktik lancung.
Bahkan selama kurun 2010-2022 hampir tiap tahun ada penangkapan terhadap hakim korup. Hal ini sungguh mengindikasikan bagaimana praktik mafia hukum di lembaga peradilan masih terus berjalan.
Namun lebih memprihatinkan lagi adalah fakta bahwasa korupsi memang masih sangat menggurita di negeri ini.
Transparency Internasional merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di akhir 2021. IPK Indonesia tercatat pada skor 38 dari skala 0-100, skor ini meningkat 1 poin dari tahun sebelumnya. Hal ini pun membawa Indonesia pada peringkat 96 dunia (102 pada 2020). Dengan demikian, tentu bisa dikatakan secara sederhananya pemberantasan korupsi Indonesia mengalami perbaikan.
Namun perlu diperhatikan, Indonesia dengan skor 38 masih berada pada posisi yang tidak aman, skor tersebut mengindikasikan bahwa negeri ini masih dalam cengkraman korupsi yang cukup tinggi.
Dalam laporan Transparency Internasional dijelaskan bahwa skor 0 artinya negara tersebut sangat korup, sebaliknya skor 100 menandakan negara tersebut bersih dari korupsi. Dijelaskan pula, negara dengan skor di bawah 50 menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki masalah korupsi serius.
Sekedar mengingatkan saja bagaimana sebegitu mengguritanya kasus korupsi di negeri ini, tentu masih lekat diingatan kita bukan? Kasus Surya Darmadi atau Apeng, kasus korupsi bansos pandemi, kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki, kasus Asabri, kasus jiwasraya, kasus hambalang, kasus e-ktp dan masih banyak lagi serentetan kasus korupsi lainnya yang telah membuat negara dan rakyat rugi besar.
Faktor-faktor Penyebab Korupsi
Dalam laman kpk.go.id, Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti-Corruption Learning Center (ACLC) yang dikelola oleh Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi, Kedeputian Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menulis bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di antaranya adalah ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih mendewakan materi, maka dapat memaksa terjadinya permainan uang dan korupsi.
Korupsi akan terus berlangsung selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, semakin besar pula kemungkinan orang melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Namun demikian, jika kita lihat secara mendalam analisis faktor penyebab korupsi tersebut sebenarnya hanya memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau kulitnya saja.
Faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang diterapkan yaitu demokrasi-kapitalis. Ideologi yang rusak pasti juga akan melahirkan atau menurunkan sistem kehidupan yang rusak pula. Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat ini.
Faktor ideologi memainkan peran yang sangat penting dalam pembuatan tata aturan dan nilai-nilai yang diterapkan di tengah masyarakat.
Meski sangat berbahaya, masyarakat Indonesia masih saja berkiblat kepada ideologi Barat, sehingga mereka tak enggan untuk mengadopsi nilai-nilai kebebasan dan hedonisme yang lahir dari rahim peradaban barat tersebut.
Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr (1990) mengatakan bahwa demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah).
Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut.
Perlu diingat korupsi tak hanya menjamur di Indonesia, tapi juga terjadi di masyarakat manapun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat yang merusak tersebut. Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tetapi juga terjadi di negara-negara lain di berbagai belahan dunia. Bahkan, negara-negara Barat yang dianggap matang dalam menerapkan demokrasi-kapitalis pun tak mampu menghindari fenomena korupsi ini dan justru menjadi biang kerok perilaku bobrok ini.
Selain faktor ideologi setidaknya ada empat faktor lainnya, yaitu:
Pertama, faktor lemahnya karakter individu (minimnya iman dan kemampuan sedangkan godaan korupsi begitu besar ditambah tuntutan gaya hidup hedonis membuat orang tak jarang tahan godaan korupsi ini.
Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat.
Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera. Keempat, faktor lemahnya sistem politik. Sistem demokrasi memberikan celah yang begitu longgar untuk aktivitas korupsi. Sudah menjadi rahasia bersama, bahwa bahwa biaya politik demokrasi saat ini sangatlah mahal.
Pemilu yang memakan dana miliaran bahkan ada yang sampai triliunan, meniscayakan adanya praktik jual beli suara dan juga pendanaan dari para kapitalis besar. Sampai-sampai bisa dibilang, dalam demokrasi hubungan antara penguasa dan pengusaha begitu erat nan romantis, tak terpisahkan.
Kesimpulannya, faktor penyebab korupsi setidaknya ada lima (5), yaitu: Pertama, faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di masyarakat, dan juga diterapkannya sistem demokrasi yang mendorong korupsi; Kedua, faktor kelemahan karakter individu; Ketiga, faktor lingkungan/masyarakat, seperti budaya suap; Keempat, faktor penegakan hukum yang lemah. Kelima, faktor lemahnya sistem politik.
Korupsi dalam Kacamata Syariah Islam
Ustadz M. Shiddiq Al-Jawi dalam laman muslimahnews.com menjalaskan bahwa korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.
Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar).
Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu.
Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma’idah: 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud).
Cara Islam Berantas Tuntas Korupsi
Bila kapitalis-demokrasi menumbuh suburkan korupsi, maka berbeda secara diametral dengan Islam. Sistem Islam memiliki cara tersendiri dalam memberantas korupsi dari pencegahan hingga penanangan. Berikut tahapannya:
Pertama, sebagaimana yang kita ketahui bahwa faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Maka langkah pertama dan utama yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalis yang rusak dan merusak itu sendiri. Kemudian diterapkan syariah Islam secara menyeluruh sebagai satu-satunya sistem hukum yang diberlakukan di negeri ini.
Kedua, perlunya penanaman mental individu yang beriman dan tangguh. Sistem yang baik akan melahirkan individu yang baik, sebaliknya sistem yang buruk akan melahirkan individu yang cenderung buruk pula. Sistem kehidupan sekuler menghasilkan pemimpin rakus, tak takut dosa, dan kerap berkhianat atas kepemimpinannya.
Sistem demokrasi yang berbiaya mahal juga turut andil menyuburkan korupsi. Sementara Islam, ia akan membina setiap individu dengan ketakwaan hakiki.
Ketika masyarakat dibekali dengan iman tinggi, ia akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa. Tentu saja juga harus ada dukungan dari sistem negara yang menerapkan syariat Islam di tengah masyarakat. Individu bertakwa dan masyarakat berdakwah serta suasana iman yang menyelimuti kehidupan bermasyarakan akanmendorong setiap individu untuk memiliki habits yang mampu menyokong negara dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana hukum Islam.
Ketiga, lingkungan kondusif. Jamak diketahui dan sudah dirasakan bersama, sistem sekuler hari ini hanya menciptakan manusia-manusia minim empati, apatis, dan bengis.
Maka dalam Islam, nuansa keimanan di tengah masyarakat terbentuk dan memang sengaja dibentuk, sehingga orang akan enggan dan berfikir seribu kali ketika hendak melakukan sebuah kemaksiatan atau kejahatan. Disisi lain, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan diberlakukan. Masyarakat bisa menjadi penjaga sekaligus pengawas terterapkannya syariat.
Dengan begitu, jika ada anggota masyarakat yang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi, mereka dengan mudah bisa melaporkannya pada pihak berwenang. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh akan tercipta seiring ditegakkannya hukum Islam di tengah mereka.
Keempat, sistem kerja lembaga yang tidak rentan korupsi. Di sistem demokrasi, korupsi hampir merata di tiga lembaga andalannya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hukum bisa diperjualbelikan sesuai besaran suap yang diterima. Wallahu a’lam.[]
Comment