BLT dan Bansos, Sekedar Fatamorgana?

Opini600 Views

 

 

Oleh: Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kebijakan pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) seolah menjadi angin segar bagi rakyat yang kecewa atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.

Seperti yang diberitakan bisnis.tempo.co di lamannya, pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM sebagai konsekuwensi dari kebijakan pengalihan anggaran subsidi dan kompensasi energi. Saat ini harga BBM bersubsidi jenis pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM subsidi khususnya yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) di tengah tren turunnya harga minyak dunia dikarenakan beban subsidi dan kompensasi akan tetap membengkak menurut hitungan pemerintah. Sejumlah pihak mempertanyakan kebijakan menaikkan harga BBM saat negara Malaysia justru menurunkan harga BBM nya.

Sebelumnya, beban subsidi dan kompensasi energi yang ditanggung pemerintah sebesar Rp 152,5 triliun, kini naik sampai Rp 502,4 triliun. Angka tersebut dihitung berdasarkan rata-rata harga Indonesian Crude Price (ICP) yang bisa mencapai US$ 150 per barel dengan kursRp 14.700 per dolar AS. Bahkan pemerintah memperkirakan jika harga ICP turunnya sampai di level US$ 85 per barel sampai Desember 2022, pembengkakan subsidi naik hingga Rp 640 triliun.

Pada laman resmi Kementerian Keuangan RI, Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata mengatakan penyesuain harga BBM adalah upaya pemerintah untuk mengoptimalkan manfaat APBN bagi masyarakat yang membutuhkan serta untuk melindungi rakyat miskin dan rentan miskin dari dampak kenaikan harga pangan dan energi.

Menurut pemerintah, selama ini subsidi dan kompensasi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang-orang yang mampu saja. Karena itu, pemerintah membuat kebijakan pengalihan subsidi BBM tepat sasaran melalui penyaluran bantuan sosial (bansos) antara lain dalam bentuk BLT, bantuan subsidi upah (BSU), serta 2% dana transfer umum (DTU) untuk subsidi transportasi angkutan umum, ojek, nelayan dan perlindungan sosial tambahan.

Ekonom Faisal Basri menyambut baik program pengalihan subsidi BBM tersebut. Menurutnya, hal itu sebagai desain tepat yang dilakukan oleh pemerintah untuk APBN karena menjadi wujud kehadiran negara dalam melindungi masyarakat rentan. Ia bahkan menghimbau agar masyarakat mau untuk menerima dengan baik keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. (AntaraNews.com, 06/09/2022)

Meski dalih pemerintah menaikkan harga BBM adalah untuk penyaluran subsidi tepat sasaran dalam membantu masyarakat miskin dan rentan miskin tetap saja dampak buruknya akan muncul. Di antaranya sebagaimana data yang dirilis CNCBIndonesia.com (04/09/2022) yaitu memicu terjadinya inflasi. Sebab konsumsi pertalite di Indonesia mencapai 80% dari total bensin. Jika harganya naik maka akan mendorong terjadinya kenaikan inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi Indonesia periode Juli 2022 naik 0,64% dari bulan sebelumnya. Jika bensin yang memiliki bobot 4% naik harganya 10%, inflasi bisa terdorong hingga 0,4 poin persentase terhadap inflasi.

Tak hanya pada aspek ekonomi, dampak kenaikan BBM juga akan berimbas pada aspek sosial masyarakat Indonesia. Harga BBM yang mahal akan membebani biaya produksi hampir di seluruh sektor dan lini bisnis. Untuk itu, perusahaan yang operasinalnya bergantung pada BBM akan meminimalisir biaya operasional misal dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Akibatnya, pengangguran akan meningkat yang berbanding lurus dengan meningkatnya angka kemiskinan. Daya beli masyarakat pun akan mengalami penurunan yang berdampak pada mandegnya roda perekonomian khususnya di masyarakat level menengah ke bawah.

Pemberian bantalan sosial berupa bantuan sosial sendiri sebesar Rp 600.000 bagi 20,6 juta keluarga penerima manfaat (KPM), sementara BLT sebesar Rp 300.000. bantuan tersebut tetap saja tak akan cukup untuk menutupi kebutuhan masyarakat yang harus membeli barang-barang kebutuhan hidup mereka sehari-hari yang semakin mahal akibat kenaikan BBM.

Para pedagang bahan pangan di pasar sebagaimana yang diwartakan businessinsight.kontan.co.id (22/09/2022) mengeluh sepinya pembeli akibat tingginya harga sejumlah komoditas pangan.

Sebelum kebijakan ini muncul, harga sejumlah bahan pangan sudah mengalami ketidakstabilan. Mulai dari harga beras, cabai, bawang, minyak goreng, gula pasir, daging ayam, daging sapi hingga telur mengalami kenaikan.

Wajar bila Direktur Celios Bhima Yudhistira berpendapat bahwa keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dilakukan di waktu yang tidak tepat saat kondisi pasar tengah dalam ketidakpastian. Terlebih di kala ekonomi Indonesia baru akan bangkit pasca alami krisis selama masa pandemi yang lalu.

Pemerintah dalam hal ini, dinilai tidak memperhatikan kesiapan masyarakat untuk menerima dan menjalankan kebijakan pemerintah tersebut. Karenanya, sejumlah masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi dengan turun ke jalan adalah bentuk penolakan mereka atas sikap pemerintah yang dinilai merugikan rakyat.

Menurut Hidayat Nur Wahid selaku wakil ketua MPR, BLT yang diberikan pemerintah bukanlah solusi yang tepat. Ia berpendapat selain validitas datanya bermasalah, BLT yang nilainya kecil tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang harganya kian mahal akibat kenaikan BBM. Pemberian BLT hanya dirasakan beberapa bulan, sementara dampak demi dampak dari kenaikan BBM akan terus dirasakan dalam jangka waktu yang panjang.

Sementara dalam pandangan Islam, menjual BBM kepada rakyat dipandang sebagai sebuah kemaksiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Sebab Allah Swt sebagai Sang Pencipta alam semesta sekaligus sebagai Pengatur, telah menetapkan aturan dalam pengelolaan kekayaan alam termasuk BBM.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya berjudul Sistem Ekonomi Dalam Islam menjelaskan pembagian kepemilikan atas harta berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Dalam hal ini, BBM termasuk dalam kategori sumber daya alam termasuk di dalamnya barang-barang tambang ditetapkan oleh as-Syari’ sebagai harta yang kepemilikannya bersifat umum.

Artinya, SDA tersebut adalah milik masyarakat. Karena itu, Allah Swt mengharamkan SDA apapun jenisnya dimiliki oleh individu termasuk melarang negara untuk memilikinya. Allah Swt membatasi peran negara sekedar sebagai pengelola dari SDA tersebut.

Mengeksploitasi kekayaan alam tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dengan cara-cara yang makruf tanpa menimbulkan kerusakan yang akan membahayakan alam dan makhluk hidup.

Allah Swt juga melarang negara untuk menjual SDA termasuk BBM kepada rakyat, dan memerintahkan agar negara wajib menjamin ketersediaan semua SDA guna menjaga keberlangsungan hidup manusia. Sementara pembiayaan pengelolaan SDA akan diambil oleh negara di Baitul Mal pos pemasukan negara fa’I dan kharaj dan hasil dari pengelolaan kekayaan-kekayaan alam yang ada.

Dengan kata lain, dalam pandangan Islam BBM adalah salah satu barang komoditas yang akan diperoleh oleh masyarakat secara cuma-cuma dari negara termasuk layanan yang dihasilkan oleh SDA tersebut, seperti listrik dan sebagainya.

Berbeda halnya dengan sistem demokrasi liberal yang banyak diterapkan oleh negara berkembang saat ini, pengelolaan SDA diatur dengan aturan yang bersumber dari pemikiran-pemikiran Barat dengan ideologi kapitalisme sebagai dasar pengaturan negara dan ekonominya, rakyat harus membayar mahal agar bisa memenuhi kebutuhan BBM.

Hal itu wajar dan lumrah terjadi di negara yang mengadopsi kapitalisme dan demokrasi liberal. Sebagaimana dalam pandangan kapitalisme -khususnya dalam prinsip ekonomi kapitalis-, SDA apapun jenisnya bukanlah milik rakyat, melainkan milik siapa saja yang mau menguasainya, baik itu individu, kelompok ataukah negara. Sebab bagi ideologi kapitalisme, ada kebebasan kepemilikan atas harta.

Tambang minyak misalnya, oleh kapitalisme boleh dimiliki oleh seseorang ataupun perusahaan bahkan negara asing. Karena paradigma yang salah ini, wajar bila sejumlah tambang yang ada di wilayah negeri ini dimiliki oleh pihak lain, bukan oleh negara apalagi rakyat.

Perusahaan British Petroleum (BP) misalnya, adalah salah satu perusahaan migas raksasa milik Inggris. Termasuk Chevron milik Amerika, ExxonMobil milik Amerika juga, Petronas milik Malaysia dan Premier Oil milik London. (Bisnis.com, 21/06/2022)

Layaknya badan usaha yang dikelola oleh perusahaan tentu orientasinya adalah keuntungan. Maka sangat tidak masuk akal, rakyat Indonesia harus membeli dengan harga mahal BBM yang dikeruk di tanah negeri mereka sendiri dari perusahaan-perusahaan asing yang menggali BBM di wilayah yang bukan negaranya. Inilah yang kemudian dikenal dengan istrilah penjajahan gaya baru.

Jika Indonesia mengambil aturan Islam dalam pengelolaan kekayaan alamnya termasuk pengaturan sistem ekonomi, pemerintahan dan politiknya, kebijakan subsidi tidak perlu diambil, termasuk program BLT dan Bansos untuk menambal kenaikan harga BBM tak harus dilakukan.

Sebab aturan Islam berpedoman dengan aturan-aturan Allah Swt itu akan mengambil BBM dari perut bumi, mengelolanya untuk kesejahteraan seluruh rakyat secara cuma-cuma atau gratis tanpa kecuali.

Mungkinkah itu akan terwujud? Sangat mungkin andai seluruh kaum muslimin bervisi misi yang sama, yaitu ingin hidup dengan aturan Allah Swt yang paripurna. Sebab Dialah Allah Swt, Dzat yang Terbaik dalam mengatur urusan makhluk-Nya. Dan Allah tidak akan pernah menganiaya hamba-hamba-Nya.[]

Comment