Oleh: Lussy Deshanti Wulandari, Pegiat Literasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –Seorang Muslim itu saudara bagi Muslim yang lainnya, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (dizalimi).”
(HR. Bukhari & Muslim)
Realisasi hadits ini rupanya belum mengakar di tengah-tengah generasi muda saat ini. Masih ada saja yang tega melakukan penganiayaan terhadap saudaranya. Salah satunya yang terjadi di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Sedih, miris, dan prihatin dengan kabar meninggalnya seorang santri yang diduga mengalami kekerasan fisik oleh seniornya di pesantren tersebut. Kasus ini mencuat dan menjadi perbincangan di kalangan publik beberapa hari ini.
Publik pun bertanya-tanya. Bagaimana bisa di pesantren pun terjadi hal ini? Sebuah institusi pendidikan yang dianggap sebagai lingkungan yang agamis. Lingkungan yang diharapkan para orang tua bisa mensalehkan anak-anaknya. Ternyata, tak luput dari perundungan juga.
Fenomena Gunung Es
Aksi perundungan semakin marak kian hari. Menyadarkan kita bahwa tak ada tempat di mana pun yang aman dari perundungan, baik di pesantren, sekolah swasta atau negeri, kampus, rumah, dan lingkungan sekitar pun.
Masih segar dalam ingatan, kisah seorang anak SD di Tasikmalaya yang mengalami depresi hingga meregang nyawa. Ia dipaksa temannya untuk melakukan hal yang tak senonoh dengan kucing sambil direkam dan videonya disebar ke media sosial.
Peristiwa nahas juga menimpa siswa dari Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 1 Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara. Siswa tersebut meninggal dunia karena dianiaya oleh teman sekolahnya (merdeka.com, 16/6/2022).
Selain itu, aksi perundungan yang menimpa seorang pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Malang. Perundungan dengan kekerasan fisik dan pelucutan pakaian korban direkam dalam video dan tersebar ke media sosial. Akibatnya, korban trauma secara psikologis dan enggan sekolah karena malu. Masih banyak lagi kasus perundungan yang terjadi menimpa pelajar saat ini.
Tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perundungan khusus anak sebanyak 2.982 kasus. Dari jumlah tersebut,1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis, meliputi penganiayaan mencapai 574 kasus, kekerasan psikis 515 kasus, pembunuhan 35 kasus, dan anak korban tawuran 14 kasus (databoks, 27/01/2022).
Kasus perundungan yang terlihat hari ini, layaknya fenomena gunung es, hanya nampak dari yang diadukan. Kemungkinan yang belum dilaporkan malah lebih banyak karena tren perundungan di dunia pendidikan kian hari makin meningkat.
Ada apa dengan generasi saat ini? Begitu mudahnya mengolok-olok, menyakiti orang lain, berbuat aniaya, bahkan sampai menghilangkan nyawa temannya. Mengapa mereka tega berbuat demikian? Padahal mereka generasi penerus bangsa. Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika generasinya seperti ini?
Faktor Penyebab Perundungan
Perundungan begitu membudaya pada generasi, termasuk juga menjangkiti santri. Lemahnya pondasi akidah menyebabkan generasi tak pahami jati diri, kurang kontrol diri, minim adab, dan melemahkan rasa persaudaraan di antara sesamanya.
Selain itu, banyaknya tontonan yang niradab yang mengajarkan perundungan, kekerasan, juga berbau pornografi. Hal ini luput dari pengawasan. Termasuk game yang berbau kekerasan banyak digemari generasi. Tontonan dan game ini secara tak sadar mempengaruhi karakter generasi pada akhirnya.
Diperparah lagi dengan peran negara pun mandul dalam memfilter tayangan atau game yang tak mendidik tadi. Sebab, konten dan game tersebut banyak diminati dan bisa menghasilkan pundi-pundi. Inilah yang terjadi ketika sistem yang diterapkan dalam kehidupan adalah sistem kapitalisme sekuler. Materi di atas segalanya meskipun mengancam moral generasi.
Sistem kapitalisme sekuler tersebut juga mewarnai dunia pendidikan. Alhasil, pendidikan sekadar mengejar nilai akademis, minim akhlak. Mirisnya, generasi ditakut-takuti dengan paham radikalisme, sehingga akhirnya takut mendalami agamanya. Moderasi beragama diaruskan yang justru menjauhkan mereka dari ajaran agama yang sesungguhnya.
Bukannya makin baik moral generasi, malah semakin beringas. Perundungan makin marak. Korban semakin banyak. Ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme sekuler tidak mampu membendung budaya yang merusak ini.
Semua Harus Berperan
Generasi adalah penerus bangsa. Kualitasnya hari ini menentukan kualitasnya di masa depan. Jadi, aksi perundungan ini tak boleh dibiarkan. Perlu keterlibatan semua pihak untuk membendung budaya yang merusak ini.
Generasi membutuhkan penanaman akidah Islam yang kuat serta pengamalan aturan Islam dalam kehidupan mereka. Akidah yang akan menjadi kontrol diri sang anak sehingga tidak mudah tergerus arus budaya dan pemikiran asing yang bertentangan dengan Islam.
Inilah pentingnya peran orang tua sebagai sekolah pertama anak-anaknya. Orang tua wajib menanamkan akidah, membiasakan agar anak taat aturan agama, dan mengajarkan adab. Sebab, anak adalah amanah yang harus diasuh, dididik, dan diarahkan dengan suasana kehangatan dan penuh kasih sayang.
Tak hanya itu, generasi membutuhkan lingkungan yang baik untuk menjaganya dari kemaksiatan dan hal-hal yang merusak fitrahnya. Di sekolah, guru berperan mendidik murid bukan sekadar transfer ilmu tapi juga menanamkan akidah akhlak. Menanamkan rasa persaudaraan dan berkasih sayang kepada sesama. Tanggap ketika mulai muncul benih-benih perundungan dan segera mengatasinya. Inilah pentingnya kontrol dalam rangka beramar makruf nahi mungkar. Iklim ini harus selalu dibangun. Begitu juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Peran negara pun sangat penting dalam mewujudkan sistem yang bisa menjaga kesalehan masyarakat dan generasi. Tiada lain sistem yang menerapkan aturan Illahi, yakni sistem Islam. Negara menjadi penjaga dan pelindung warganya dari kerusakan dengan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, termasuk menerapkan sistem pendidikan di sekolah maupun pesantren dengan berbasis akidah.
Selain itu, negara pun harus menutup akses terhadap paham yang menyimpang dari akidah dan syariat Islam. Misalnya moderasi beragama. Menghapus konten negatif dan gim yang merusak generasi. Dengan kewenangannya, negara juga menerapkan sistem sanksi yang tegas dan berefek jera.
Begitulah seharusnya semua pihak berperan dalam membendung aksi perundungan. Tiada lain dengan mewujudkan ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan menghadirkan peran negara yang menerapkan aturan Islam dalam kehidupan.Wallahu a’lam bishawwab [SP]
Comment