Resolusi Kesejahteraan Ibu Dan Anak, Di Tengah Kontraversi RUU KIA

Opini1110 Views

 

 

Oleh: Hasriati, SPi, Staf Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –Topik Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) kembali menghangat, setelah Badan Musyawarah (Bamus) DPR menyepakati bahwa Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) akan disahkan menjadi inisiatif DPR.

Dalam RUU KIA salah satu yang akan diatur usulan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan untuk ibu pekerja dan mendapatkan cuti istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, jika mengalami keguguran. Selama cuti melahirkan diusulkan tetap mendapatkan gaji penuh tiga bulan pertama dan mendapat upah 75 persen bagi tiga bulan berikutnya.

Hal ini menjadi angin segar bagi 51,79 juta penduduk pekerja perempuan (BPS,2021) dan keluarga. Karena dengan cuti melahirkan 6 bulan, tidak khawatir terhadap risiko penghasilan keluarga, perempuan juga memiliki waktu luang untuk membersamai bayinya dan memberikan ASI eksklusif.

Telah diketahui dan diteliti bahwa ASI memang memiliki banyak manfaat dan ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. Bahkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Uwiringiyimana, Ocke Amer dan Veldkamp pada tahun 2019 menunjukkan bahwa ASI eksklusif secara signifikan mengurangi kecenderungan anak untuk stunting (tubuh kerdil/gagal pertumbuhan tubuh dan otak).

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, bahwa pada tahun 2021 di Indonesia, baru sebanyak 71 dari 100 bayi umur 0-5 bulan menerima ASI eksklusif, meskipun terdapat Peraturan Pemerintah RI No. 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI Eksklusif yang mengharuskan pemberian ASI eksklusif.

Di lihat dari sisi wilayah, bahwa pemberian ASI eksklusif pada bayi berumur 0-5 bulan di perdesaan (74,05 persen) lebih tinggi daripada di perkotaan (69,64) persen. Hal ini disebabkan ibu yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak bekerja daripada di perdesaan. Ibu di perkotaan lebih memiliki sedikit waktu di rumah daripada ibu perdesaan (Um,Chan Tol dan Sopheab, 2020 dalam Statistik Kesehatan Indonesia, BPS, 2021).

Sementara angka prevalensi stunting di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Meskipun prevalensi stunting menurut BPS menunjukkan penurunan, namun masih tergolong tinggi di atas batasan yang ditetapkan oleh WHO (20 persen). Dimana prevalensi stunting 30,8 persen pada tahun 2018, kemudian 27,7 persen tahun 2019 (Profil Statistik Kesehatan, BPS), selanjutnya menjadi 24,4 persen pada tahun 2021 berdasarkan hasil Survei Studi Status Gizi Indonesia.

Padahal menurut penelitian untuk mencegah stunting perlu penjagaaan selama 1.000 hari pertama kehidupan anak, yaitu dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun (dinkes.kalbarprov.go.id,09/02/2022)

Oleh karena itu dalam upaya peningkatan kualitas generasi melalui peningkatan pemberian ASI eksklusif bagi bayi 0-5 bulan, tentu akan sejalan dengan wacana cuti melahirkan 6 bulan bagi pekerja perempuan.

Kontraproduktif

Meski didukung oleh banyak pihak, wacana RUU KIA ini sepertinya tidak bisa berjalan mulus. Masih akan berhadapan pihak yang keberatan, terutama dari pemberi kerja atau perusahaan. Karena menurutnya gagasan cuti 6 bulan bisa mempengaruhi biaya operasional gaji dan kinerja perusahaan, jika memperkerjakan perempuan.

Sebagaimana suara yang dikemukakan oleh Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia DKI Jakarta, Sarman Simanjorang yang menilai cuti melahirkan 6 bulan bagi ibu yang bekerja dan cuti 40 hari bagi suami harus mempertimbangkan berbagai aspek, mulai tingkat produktifitas, kemampuan pelaku usaha dan dampak terhadap pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Jelas perusahaan tidak mau rugi, karena keberadaan usaha untuk mendapatkan profit. Apalagi dalam sistem kapitalisme keuntungan materi merupakan hal utama, bagaimana mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan bisa jadi perusahaan enggan menerima pekerja perempuan, karena kehamilan dianggap sebagai beban perusahaan. Bisa jadi pula perusahaan akan menetapkan larangan menikah selama waktu tertentu. Oleh karenanya bisa berpotensi menimbulkan diskriminasi bagi pekerja perempuan, termasuk dalam perekrutan dan promosi.

Resolusi Kesejahteraan Ibu dan Anak

Tak bisa dimungkiri bahwa Kesejahteraan Ibu dan Anak masih mejadi PR besar bangsa Indonesia. Tidak hanya terkait dengan jaminan finansial untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Namun juga terkait dengan jaminan sosial lainnya berupa pendidikan, kesehatan, keamanan dan hak-hak lainnya.

Gambaran kondisi Kesejahteraan Ibu dan Anak tidak lepas dari gambaran kesejahteraan rakyat Indonesia umumnya. Dimana data dari Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 9,71 persen atau 26,50 juta orang. Data ini dihitung dengan garis kemiskinan sebesar Rp486.168/kapita/bulan. Tak ayal di sekitar problem kemiskinan, memunculkan problem-problem sosial lainnya yang tidak berujung pangkal, seperti pendidikan, kriminal, kesehatan, keamanan dan lain-lain.

Hanya saja, jika dibanding dengan berbagai potensi strategis yang dimiliki Indonesia, problem kronis kemiskinan tentu merupakan hal ironis. Sumber daya alam yang luar biasa sangat kaya, seharusnya bisa menjadi anugerah yang membawa kepada keberkahan.

Jika ditelisik lebih dalam, problem kemiskinan tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalisme, yang memberi ruang bagi segelintir pemilik modal (kapitalis) untuk menguasai sumberdaya alam, yang sejatinya merupakan milik rakyat. Layanan terhadap publik pun terus dikapitalisasi, sehingga untuk menikmati seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya harus dengan harga mahal. Berbagai program subsidi dianggap sebagai beban sehingga terus disoal, kemudian dihapus.

Oleh karenanya untuk keluar dari problem kemiskinan, selanjutnya bisa mewujudkan kesejahteraan bagi Ibu dan Anak, harus keluar dari paradigma fungsi kepemimpinan dan sistem kapitalisme.

Terkait dengan jaminan kesejahteraan rakyat secara umum, termasuk Ibu dan Anak, Islam memberi aturan bahwa tidak boleh ada kekayaan alam yang dikuasai oleh segelintir orang, karena Islam mengatur bahwa kekayaan alam yang luar biasa ini merupakan milik rakyat secara keseluruhan. Karenanya negara mengelola secara langsung dengan optimal demi kemakmuran rakyat, termasuk untuk kesehatan dan pendidikan.

Dalam praktiknya, mewujudkan kesejahteraan Ibu dan Anak harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari keluarga (suami atau walinya) melalui hukum nafkah. Juga negara sebagai penjaga dan pengurus rakyat dengan landasan keimanan. Sehingga dalam upaya mensejahterakan rakyat, negara mengambil porsi besar, termasuk ketika terdapat ibu dan anak yang sengsara.

Wallahu ‘Alam bishawab.

Comment