Oleh: Yulia Hastuti, S.E, M.Si, Anggota Penulis Revowriter chapter Banda Aceh
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Baru-baru ini viral di Tiktok, salah satu platform media sosial, sebuah istilah baru, yakni ‘agama tentatif’. Postingan agama tentatif tersebut diswali dengan unggahan daftar tokoh atau publik figur yang pindah agama, dari Katolik ke Islam maupun sebaliknya.
Namun yang mengherankan lagi, muncul keterangan yang menyematkan agama awal seorang “selebritis” adalah tentatif, tentatif Kristen atau tentatif Islam. Istilah ini menjadi perhatian warganet dan bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan istilah tersebut.
Secara bahasa, istilah “agama tentatif” memiliki dua suku kata, yaitu agama dan tentatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘agama’ artinya adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan peribadatan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya).
Pendapat lain menyatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan memang setiap agama memiliki kitab suci. Sementara kata din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini memiliki makna menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Maka secara definisi agama membawa peraturan yang merupakan hukum, dan agama sebagaimana dalam bahasa Arab memang bersifat menguasai diri seseorang untuk tunduk dan patuh pada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Sedangkan tentatif secara KBBI artinya belum pasti, masih bisa berubah ataupun sementara waktu. Jika disimpulkan, agama tentatif merupakan ajaran/kepercayaan yang bisa berubah sewaktu-waktu atau bersifat sementara. Maksud penggunaan kata agama tentatif merujuk pada keyakinan seseorang yang masih belum pasti atau dapat berubah di kemudian hari.
Orang yang menuliskan kata tentatif dalam kolom agamanya meyakini bahwa agama sebagai sebuah keyakinan, sehingga bersifat sementara dan dapat berubah sesuai dengan keyakinannya nanti. Dengan kata lain, mereka dapat dikatakan masih belum mantap meyakini suatu ajaran secara sepenuhnya.
Kondisi ini sungguh mengkhawatirkan karena agama sudah tidak dianggap sebagai perkara penting. Agama tidak dijadikan tempat sebagai pengatur kehidupan manusia, namun hanya sebagai pilihan pribadi antara dirinya dan Tuhan yang tidak begitu berarti. Seseorang bisa dengan mudahnya berpindah-pindah agama dari satu ke yang lainnya. Bisa jadi hari ini ia beragama Islam, besoknya sudah berpindah menjadi Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, atau bahkan menjadi agnostik dan atheis yang tidak mempercayai keberadaan Sang Pencipta dan tidak menganut agama sama sekali.
Dalam aturan atau perundangan Indonesia, masih dibolehkan mengubah agama. Memeluk agama merupakan hak seseorag yang dikategorikan sebagai urusan pribadi. Begitu juga untuk berpindah agama cukup mudah dilakukan, berdasarkan hukum UUD 1945 pasal 29 juga UU 24 tahun 2013. Hal ini menjadi dasar buat mereka yang sedang mencari pembenaran untuk menganut dan memilih agama pilihannya.
Ini merupakan peran besar sekularisme yang menjadi dasar ideologi kapitalisme. Sekularisme berpijak pada keyakinan dasar yang memisahkan agama dari kehidupan. Dari sini pula lahir sebuah sistem yang kita kenal sebagai demokrasi yang diterapkan di belahan bumi termasuk negeri ini. Demokrasi sekuler menjadikan kebebasan beragama dijamin dalam undang-undang. Setiap orang berhak memeluk agama dan keyakinan dan bebas berpindah dari satu agama ke agama lain sesuai keinginan. Saat agama hanya berlaku dan dianggap sebagai ranah pribadi, maka memeluk agama menjadi hak bukan kewajiban. Pemahaman seperti ini tentu sangat berbahaya.
Tampak jelas ada upaya menggiring umat untuk berpikir bahwa berpindah agama adalah hal biasa, bukan sebuah hal buruk dan tabu. Jika merujuk definisi agama tentatif di atas, sangat terlihat bahwa pemikiran tersebut lahir dari relativisme kebenaran agama yang dikampanyekan oleh gerakan moderasi beragama yang mengusung pemahaman semua agama adalah benar. Pada akhirnya umat menganggap tidak mengapa beragama apapun karena semua agama benar, serta tidak mengapa jika seseorang bergonta-ganti keyakinan.
Sangat berbeda dengan pandangan Islam yang menjadikan landasan syariat Allah dalam penerapannya. Islam bagi pemeluknya bukan hanya sekedar formalitas identitas diri tetapi lebih dari itu, sebagai peta kehidupan setiap muslim. Manusia telah Allah karuniakan akal, kebutuhan jasmani dan naluri, termasuk naluri beragama.
Ketika ada paham yang meniadakan agama, berarti justru bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan keberadan naluri beragamalah manusia akan mengagungkan, menyucikan, menyembah, dan beribadah kepada sesuatu. Menjauhkan Islam dari seseorang adalah bahaya dan merupakan kegentingan yang sangat parah jika persoalan agama menjadi tentatif.
Allah menurunkan Islam sesuai fitrah penciptaan manusia. Islam memuaskan akal dan menenangkan jiwa serta menentramkan hati manusia. Maka seorang muslim yang menganut Islam, hidupnya akan terasa tenang, bahkan kebahagiaan akan ia rasakan.
Islam tidak megakui relativisme kebenaran agama. Islam adalah agama yang paling mulia dan lebih tinggi dibandingkan dengan agama lainnya. Kebenaran Islam bersifat mutlak, tidak ada satupun agama yang mampu menandingi. Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah swt, sebagaimana termaktub di dalam QS Ali Imran :19.
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran [3]:19)
Islam tidak membolehkan muslim mengganti agamanya atau murtad (keluar dari agama Islam). Sehingga berlaku sanksi hukuman bagi orang murtad tersebut. Salah satu Imam Mazhab, Imam Syafi’I dalam kitab Al-Umm berkata bahwa, seseorang yang berpindah meninggalkan kemusyirikan menuju keimanan, kemudian ia berpindah lagi dari keimanan menuju kemusyrikan, maka jika ia orang dewasa (laki-laki maupun perempuan), ia diminta untuk bertobat. Jika ia bertobat, tobatnya itu diterima. Namun, jika ia tidak bertobat, ia harus dihukum mati. Hal ini ditegaskan di dalam sabda Rasulullah saw.
“Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka bunuhlah dia” (H.R Bukhari dan Ibnu Abbas). Hukuman mati atas orang murtad ini harus dilakukan penguasa kaum muslim (imam/khalifah dengan berbagai ketentuan.
Solusi atas semua permasalah umat adalah kembali pada Islam. Tegasnya sistem Islam memberlakukan siapapun muslim yang mengganti agamanya dengan mendapat sanksi yang sangat berat. Sangat berbeda dengan sistem sekuler yang diadopsi sekarang ini, terbukti tidak mampu menjaga akidah umat. Viralnya pemikiran tentang ‘agama tentatif’ di tengah umat jelas bertentangan dengan Islam. Karena itu semakin membuka mata kita untuk terus memegang erat keimanan dan senantiasa taat pada semua aturan dan hukum Allah swt.
Hanya kembali kepada Islam manusia akan mendapatkan kebahagiaan tidak hanya di dunia namun juga di akhirat kelak.[]
Comment