Konflik Agraria, Rakyat Terus Jadi Tumbal Kapitalis

Opini828 Views

 

Oleh : Luthfiah Jufri, S.Si, M.Pd, Pemerhati Sosial

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hingga saat ini Fakta sengketa keperdataan kepemilikan hak (konflik agraria) masih terus terjadi. Kebutuhan Tanah yang terus meningkat berdampak pada terjadinya konflik di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun horizontal. Antara perseorangan (warga masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau swasta).

Di Bengkulu misalnya yang saat ini santer diberitakan telah terjadi penangkapan paksa 40 petani oleh sejumlah anggota Brimob pada 12 Mei 2022, anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.

Para petani ditangkap karena melakukan aktivitas memanen buah sawit di lahan yang mereka garap. Lahan tersebut saat ini masih dalam upaya penyelesaian konflik dengan perusahaan PT Daria Dharma Pratama (DDP) seperti dikutip kabar.trenggalek.com (15/05/2022).

Penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap anggota PPPBS merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat, yang secara jelas melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945.

Di Mukomuko, konflik berawal dari kepemilikan lahan yang semula ditanami para petani dengan berbagai hasil bumi seperti jengkol, padi, kopi, dan lainnya, yang diambil oleh sebuah perusahaan seluas 1.889 hektar pada 1995 lalu. Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditas kakao seluas 350 hektar. Setelahnya, terjadi penelantaran lahan berstatus hak guna usaha (HGU) itu sejak 1997 atau selama 25 tahun hingga sekarang.

Warga yang mengaku tidak mendapatkan ganti rugi berinisiatif untuk kembali menanami lahan sisa dan terlantar yang masih produktif itu.

Berkaitan dengan latar belakang sejarah ini, maka tidak sepantasnya 40 petani ini harus ditangkap. Mereka sedang berupaya untuk meminta hak mereka guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Satrio Manggala bahwa penangkapan 40 petani ini merupakan cermin tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria. Negara terus-menerus menggunakan pendekatan keamanan daripada penyelesaian konflik. (Kompas.com.18/5/2022).

Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2021, sedikitnya 207 konflik agraria dilaporkan terjadi di berbagai penjuru negeri. Dari jumlah itu, konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan, yakni 74 kasus. Lebih rinci lagi, 59 kasus atau 80 persen kasus tersebut terjadi di sektor perkebunan sawit dengan luas mencapai 255.006 hektare.

Konflik Agraria berupa penggusuran dan kriminalisasi petani masih akan terus terjadi jika pemerintah terus memberikan izin usaha perkebunan melalui izin lokasi dan HGU.

Pemerintah tidak melihat situasi di lapangan yang menyebabkan tumpang tindih perkebunan dengan wilayah hidup masyarakat dan diperparah oleh tertutupnya informasi mengenai HGU. Utamanya HGU-HGU yang bermasalah dengan warga.

Dalam Islam, tanah merupakan salah satu kekayaan yang harus mendapat perhatian penting karena tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Islam menetapkan tanah dalam konteks kepemilikan menjadi tiga macam yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan Negara.

Tanah-tanah milik umum meliputi hutan, padang rumput, sungai,danau, terusan, selat, pantai, lautan, tanah-tanah tambang yang memiliki deposit yang sangat besar, jalan-jalan umum dan lain sebagainya.

Seseorang tidak boleh melarang orang lain mengakses dan memanfaatkan tanah milik umum secara alami, negara membiarkan hal itu berlangsung secara alami dan wajar.

Padang rumput dan sungai yang sudah biasa dimanfaatkan masyarakat tanpa menimbulkan masalah bagi yang lain, misalnya dibiarkan berlangsung apa adanya.

Namun, jika pemanfaatan tanah-tanah milik umum oleh seseorang atau sekelompok orang menimbulkan persoalan dan kesulitan bagi yang lain, negara wajib melakukan pengaturan hingga setiap orang memiliki akses dan hak yang sama pada tanah-tanah milik umum.

Di antara hukum syariat yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas tanah adalah menghidupkan tanah mati. Rasulullah saw bersabda :

“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu adalah miliknya.” (HR.Al Bukhari).

Tanah mati yang dimaksud adalah tanah terlantar yang tidak digarap selama tiga tahun. Penggarapannya boleh dengan bercocok tanam, ditanami pohon, diberi batas pagar, didirikan bangunan diatasnya atau pemanfaatan-pemanfaatan lain.

Islam juga senantiasa mendorong ketaqwaan individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan aturan Allah swt. Individu akan didorong untuk bekerja keras menghidupi diri dan keluarganya sesuai kebutuhannya.

Mereka akan menggarap lahan sesuai kemampuannya, selalu menghadirkan rasa takut kepada Allah agar tidak menggambil hak orang lain apalagi mencuri tanah aktif yang miliknya.
Pemberian wewenang kepada perusahaan-perusahaan swasta sebagai akibat dari kebijakan privatisasi.

Ini merupakan tindakan zalim yang hanya menguntungkan segelintir orang. Atas dasar itu, hak yang sudah terlanjur diberikan kepada perusahaan swasta harus dicabut.

Negara wajib mengelola dan mengusahakan tanah garapan tersebut demi kepentingan seluruh rakyat. Tidak menghalangi individu untuk mengelolanya. Rasulullah saw bersabda:

“Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: Air, padang rumput dan Api.(HR. Abu Dawud).

Jadi, sudah seharusnya negara menjaga keutuhan integritas wilayah agar masyarakatnya bisa menjalankan aktivitas di atas tanah mereka sendiri. Negara tidak boleh membiarkan perusahaan swasta menguasai tanah mereka. Hal itu hanya bisa terwujud ketika Islam dijadikan sebagai landasan Negara. Wa’allahu’alam bii showab.[]

Comment