Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya (Bagian akhir)

Novel291 Views

 

 

Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel

Karya Athfah Dewi

Bab 15. Aku Cinta

_________

“Khitbah itu artinya, meminang untuk dijadikan istri,” jawab Mbah Uti.

“Apa? Melamar?” tanyaku kaget tidak terkira. Rahman apa-apaan?

Aku melirik Rahman yang sedang membalas tatapan Papa dengan berani, kulirik juga Papa yang sedang menatap Rahman dengan tajam.

“Maksud kamu, kamu mau meminta bayaran mengantar jemput Indhira dengan menikahinya?” tanya Papa dengan rahang yang mulai mengeras.

“Bukan.” Rahman menggeleng. “Tapi, saya ingin menjaga Indhira, Oom.”

“Ya sudah. Tinggal kamu antar jemput saja dia ke kampus, itu sudah cukup. Gak perlu harus menikahinya.”

“Tapi, saya gak bisa. Sebab, kami bukan makhrom. Gak mungkin kami berduaan di sepanjang jalan, setiap hari.”

“Kamu ini ribet. Ya sudah, kalau kamu gak bisa. Kami akan cari orang lain yang mau.”

“Tapi, Oom. Kali ini, saya yang keberatan.”

“Kamu siapa, berani mengatur saya, hah? Mau memanfaatkan situasi ini? Lagian, banyak kok tukang ojek yang bawa penumpang perempuan dan gak ada yang larang. Sudahlah, kamu gak akan bisa memanfaatkan situasi ini.” Papa membuang muka ke samping.

“Kalau tukang ojek, mereka ‘kan memang profesinya begitu, mengantar penumpang ke tempat tujuan. Kalau saya, saya bukan tukang ojek, Oom.”

“Ya sudah. Saya bisa mencari tukang ojek lain yang gak mempermasalahkan hal itu.”

“Tapi, saya keberatan, Oom,” ucap Rahman lagi. “Saya mohon, Oom. Izinkan saya menjaga putri Oom.”

“Kenapa kamu mau menjaga putri saya?” Papa kembali menatap Rahman.

“Karena … saya sayang sama dia,” jawabnya tegas.

Mendengar jawaban Rahman tersebut, sontak aku menatapnya dengan degup jantung yang tidak beraturan. Aku memang menyukainya, tetapi aku juga tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain.

“Rahman! Kamu jangan main-main …,” ucapku.

“Indhira, kamu masuk kamar dulu. Papa ingin bicara sama dia.”

“Tapi, Pa ….”

“Mbah, maaf. Bisa bawa Indhira dulu?” Papa melirik Mbah Uti.

Mbah Uti mengangguk dan menarik tanganku untuk berdiri. Dengan terpaksa, aku mengikutinya masuk kamar.

“Rahman apa-apaan, Mbah? Berani sekali dia,” ucapku kesal.

“Tapi, kamu juga suka, kan?” tanya Mbah Uti sambil tersenyum.

“Kata siapa? Enggak, kok.” Aku memalingkan muka.

“Meski mbah sudah tua, tapi mbah bisa melihatnya, kok.”

“Yaa … aku cuma suka karena dia itu pekerja keras, soleh juga. Lagian, Lela mau dikemanain? Aku bukan perebut kebahagiaan perempuan lain, Mbah ….”

Mendengar jawabanku, tiba-tiba Mbah Uti terkikik.

“Kenapa? Apanya yang lucu?”

“Rahman sama Lela itu gak ada hubungan apa-apa. Mereka kadang bersama karena mereka itu tergabung dalam organisasi pemuda desa. Lagian, Lela sebentar lagi mau nikah, sama dokter di puskesmas kecamatan.”

“Apa iya, Mbah?” Aku menatap Mbah Uti tidak percaya.

“Rahman itu, pemuda yang baik. Gak mungkin berani melamarmu kalau sudah terikat dengan perempuan lain.”

Aku terdiam. Kenapa ada rasa bahagia menelusup ke sela-sela hati? Ternyata dia pun masih sendiri. Berarti tidak akan ada yang tersakiti jika aku meneruskan perasaan ini. Namun ….

“Tapi, Mbah ….”

“Kenapa?” Mbah Uti menatapku. “Kamu berhak bahagia, Nduk. Dan sekarang saatnya kamu menata kembali semuanya.”

Aku terdiam. Apa Rahman tahu apa yang sudah menimpaku? Rasanya, mustahil akan ada laki-laki yang mau menerima masa laluku itu. Juga keluarganya. Tidak akan ada orang tua yang dengan suka rela mengizinkan anaknya menikahi perempuan yang pernah hamil di luar nikah. Meski itu bukan maunya.

Setelah beberapa saat, Papa dan istrinya masuk kamar. Terlihat wajah Papa yang sudah lebih tenang dibanding tadi.

Dia duduk di sampingku dan menggenggam tanganku. “Dhira, tentang niat Rahman, bagaimana pendapat kamu?”

Aku tidak langsung menjawab. Karena merasa malu jika harus mengeluarkan isi hati yang sebenarnya.

“Rahman berniat menikahi kamu. Papa lihat, dia pemuda yang baik. Buktinya, dia berani meminta kamu langsung kepada papa. Tidak seperti pemuda lain yang lebih memilih pacar-pacaran.”

“Tapi, apa dia tahu tentang apa yang sudah aku alami?” Aku melirik Papa.

“Dia tahu, dan tidak keberatan.”

“Papa yakin dia gak keberatan?”

“Papa yakin.” Papa mengangguk. “Bagaimana menurut Mbah? Mbah ‘kan kenal dia lebih lama.” Papa melirik Mbah Uti.

“Dia pemuda yang baik dan Insya Allah soleh. Mbah setuju sekali kalau Dhira menikah dengannya.”

“Kata mama juga, Rahman anak yang baik. Mama ‘kan kenal sama ibunya.” Papa pun melirik istrinya.

“Bagaimana kalau orang tuanya gak setuju?” tanyaku.

“Kata Rahman, Insya Allah setuju.”

“Aku gak yakin.” Aku menggeleng. “Papa sendiri, apa gak keberatan punya menantu pemuda desa yang pekerjaannya di kebun.”

“Kamu belum tahu siapa dia?” Papa mengerutkan dahi.

Aku menggeleng pelan.

“Meski dia kerjaannya di kebun, tapi sebenarnya dia bukan petani sembarangan. Dia itu S1 Pertanian dan mempunyai lahan perkebunan yang luas. Bukan hanya di desa ini. Iya, kan, Mbah?” Papa melirik Mbah Uti yang langsung mengangguk pasti.

“Terus, kenapa sering disuruh-suruh petani lain di sini?”

“Bukan disuruh-suruh, tetapi dia itu sering membantu warga di sini supaya hasil panen kami bagus. Salah satu program pemuda desa, yaitu … membantu meningkatkan hasil panen kami. Selain peningkatan kesehatan juga yang dibantu Lela,” terang Mbah Uti.

Aku terdiam. Pantas saja, aku merasa ada yang berbeda dengan Rahman dibanding petani yang lain.

“Jadi bagaimana, Sayang?” Papa kembali menatapku.

“Aku takut ketemu keluarganya. Aku gak mau sakit hati, Pa. Kalau mereka menolak, nanti aku gimana? Jadi, lebih baik aku … tolak saja.”

“Jangan gitu, Sayang.” Papa memelukku. “Apa yang sudah terjadi, itu bukan maumu. Dan itu, gak merubah apapun, kalau kamu ini sangat berharga.”

Aku terdiam. Ingin sekali menjawab, iya. Namun, aku merasa tidak akan sanggup menanggung rasa sakit hati lagi jika ternyata keluarga Rahman menolak.

Tidak ada jaminan mereka tidak akan mempermasalahkan masa laluku. Aku hanya bisa berusaha menjaga hati ini, dengan menghindari semuanya.

Lalu tentang siapa yang akan mengantar jemput aku ke kampus nanti, aku bisa mencari tukang ojek yang lain.

**

Keesokan harinya, aku sedang duduk di teras sendirian. Mbah Uti dan istri Papa sedang di dapur. Sedangkan Papa sedang menyelesaikan pekerjaannya di kamar.

Tiba-tiba, ada seorang perempuan seusia istri Papa datang. Dia mengucapkan salam dan aku menjawabnya.

“Ini Indhira?” tanyanya sambil tersenyum dan meraih tanganku.

Aku mengangguk. “Iya, Tante.”

“Cantik,” ucapnya masih sambil tersenyum.

“Terima kasih, Tan.” Aku mengangguk malu. “Tante mau ketemu Mbah Uti? Silakan masuk, biar saya panggilkan.”

“Tante mau ketemu semuanya di sini.”

“Oh. Mari, masuk.” Aku mempersilakannya lagi untuk masuk.

Setelah tamu tersebut duduk, aku ke belakang memanggil Mbah Uti dan istri Papa.

“Ayu, Masha Allah … apa kabar?” tanya istri Papa.

“Alhamdulillah, baik, Ros,” jawab perempuan yang ternyata bernama Ayu itu. “Kamu apa kabar? Mbah juga, sehat-sehat ‘kan semua?”

“Alhamdulillah kami baik, Yu.”

Mbah Uti dan istri Papa pun duduk, lalu mereka melanjutkan perbincangan. Sedangkan aku, langsung ke belakang untuk mengambilkan air minum.

Ketika aku ke depan lagi untuk menyimpan air minum, Mbah Uti, istri Papa dan tamu itu sedang berbicara serius dan mereka menyebut-nyebut namaku.

Sebenarnya, siapa perempuan itu?

“Mama kamu ini, sering ngobrolin kamu, lho, Dhira. Dan ternyata apa yang diomonginnya bener. Kamu cantik dan baik,” ucap tamu itu.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Kali ini, aku pun merasa agak tidak percaya. Apa iya, istri Papa sering membicarakanku yang baik-baik kepada orang lain?

“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari luar.

Kami menjawabnya serentak.

Ternyata, yang datang adalah Rahman.

“Tadi kami ke sini sama-sama. Cuma, Rahman ada keperluan dulu ke kebun,” ucap Ibu Ayu itu.

“Dhira, kamu sudah tahu belum kalau Bu Ayu ini ibunya Rahman?” tanya Mbah Uti.

Aku menggeleng pelan.

“Wah, tadi ibu lupa memperkenalkan diri, ya?” Bu Ayu melirikku. Dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

“Ya sudah, panggil suamimu, Ros. Biar kita ngobrolnya tuntas,” ucap Mbah Uti.

Aku pun berdiri dan berniat untuk ke belakang. Namun, Mbah Uti melarang dan memintaku untuk tetap duduk.

Setelah Papa datang, ibunya Rahman pun memulai lagi pembicaraan.

“Kami mohon maaf, hanya datang terdua dan mendadak juga. Sebenarnya, Rahman sudah lama mengutarakan niatnya. Tapi, saya juga tidak menyangka akan secepat ini. Hanya saja, ini niat baik, saya pikir juga, untuk apa ditunda-tunda,” terang Bu Ayu. “Jadi, Pak, Ross, Mbah … kedatangan kami ke sini untuk meng-khitbah Indhira secara resmi.”

“Apa?” Aku melirik semua yang berada di ruangan ini. Jadi, apa yang dikatakan Rahman kemarin tidak main-main?

“Iya, Bu. Kemarin Rahman sudah mengutarakan niatnya. Dan, hal itu cukup membuat kami terkejut. Tapi, setelah saya bicara dengannya, saya pribadi setuju. Hanya saja, semuanya tetap saya serahkan kepada Indhira. Karena, saya tidak mau memaksanya,” jawab Papa.

“Iya, Yu. Saya juga senang kalau mereka bisa bersama. Tapi, karena mereka yang akan menjalaninya, jadi kita serahkan kepada mereka saja,” timbrung istri Papa. “Oh, iya. Kami juga minta maaf kalau gak bisa menyambut kalian lebih. Karena semuanya serba mendadak gini. Kamu juga gak bilang kalau mau ke sini.”

“Dia yang tiba-tiba.” Bu Ayu melirik putranya yang sejak tadi hanya menunduk. “Jadi, bagaimana Dhira? Kamu mau menerimanya?” Kemudian dia pun melirikku, dan hal itu membuatku gugup seketika.

Beberapa saat aku hanya terdiam, dengan degup jantung yang tidak beraturan. Rasanya, aku seperti sedang didakwa. Semua orang menatapku penasaran.

“Boleh saya bicara berdua dulu dengan Mas Rahman?” tanyaku pelan.

“Tentu boleh,” jawab Bu Ayu. “Man, ayok. Ajak Indhira ke depan.”

Rahman mengangguk, lalu dia berjalan lebih dulu ke luar. Aku pun segera menyusulnya.

“Mau bicara apa, Mbak?” tanyanya.

“Kamu sejak kapan kaya gini?”

“Kaya gini gimana?”

“Punya niat kaya gini?”

“Dari pertama kali bertemu. Tapi, sempat mengubur niat itu dalam-dalam.”

“Kenapa?”

“Karena tahu Mbak sedang hamil. Cuma, begitu tahu yang sebenarnya, keinginan itu kembali muncul. Bahkan lebih kuat.”

“Kamu tahu apa yang sudah menimpaku?”

Rahman mengangguk.

“Kamu gak keberatan?”

“Tentu saja tidak. Karena itu musibah.”

“Terus, ibumu gimana?”

“Ibu juga gak keberatan. Apalagi, setelah tahu kalau Mbak ini putrina Tante Rossi.”

“Memang kenapa kalau aku putrinya dia?”

“Ibu dan Tante Rossi itu sahabatan sejak lama. Ibu percaya sama Tante Rossi. Sebab, mamamu itu sering cerita tentang kamu dan Arini.”

“Cerita apa?”

“Saya gak tahu persis. Cuma yang pasti, yang diceritain adalah hal-hal baik.”

“Iya gitu?” Aku mengerutkan dahi.

“Makanya, Mbak ini salah karena sudah berburuk sangka sama Tante Rossi. Dia, meski hanya mama sambung, tapi sayang sama Mbak. Sama kaya ke Arini.”

“Kamu ngomong kaya gini, gak disuruh sama dia, kan?”

“Astaghfirullah … baru saja dibilangin kalau jangan suudzon. Eh, udah dilakuin lagi.”

“Iya, iya, maaf ….”

“Saya maafin,” jawab Rahman. “Terus, apa yang membuat Mbak ragu? Apa karena saya orang kampung, hanya petani?”

“Kali ini, kamu yang suuzdon, Mas.”

“Astaghfirullah, maaf ….”

“Aku cuma gak percaya diri, Mas. Karena kejadian itu, aku merasa tidak pantas untuk siapapun.”

“Jangan gitu. Mbak, gak boleh ngerasa seperti itu. Buktinya, di mata saya, Mbak Indhira ini seorang perempuan yang suci dan baik hati. Yang saya harapkan bisa membersamai saya sampai kelak. Insya Allah.”

“Aku gak mau sakit hati lagi.”

“Insya Allah, saya akan berusaha untuk selalu membahagiakan Mbak. Kalaupun suatu saat saya berbuat salah, jangan ragu, tegur saja.”

Aku tidak menjawab, karena masih merasa bingung dengan yang sedang terjadi.

Rahman pun terdiam. Sepertinya, dia sedang memberiku kesempatan untuk berpikir.

“Kalau kamu bener udah suka sama aku dari awal, kenapa gak kelihatan? Malah, pas awal-awal, galak banget.”

“Karena, perasaan saja tidak akan membawa kita kepada kebenaran.”

“Maksudnya?” Aku mengerutkan dahi. Teringat kalimat yang sama yang pernah dia ucapkan dulu.

“Iya, perasaan saja tidak akan membawa kita kepada kebenaran. Ada aturan agama yang harus diutamakan. Itu penting,” terangnya.

Aku masih terdiam sambil berpikir.

“Saya sayang sama Mbak. Dan itu saja tidak cukup, sebab … ada aturan agama kita yang mengatur bagaimana cara kita berintetaksi dengan sesama. Terutama yang bukan makhrom. Makanya, saya berniat untuk menikahi Mbak. Supaya perasaan saya ini menjadi halal dan Allah ridhai.”

“Oh, ya … ya. Aku mulai mengerti.”

“Begitu juga tentang perasaan Mbak kepada yang lainnya. Kepada papa, mama, Mbah Uti, dan Arini.”

“Maksudnya?” Aku mengerutkan dahi.

“Prasangka Mbak kepada mereka, yang menurut Mbak mereka jahat. Terutama Tante Rossi. Kenyataannya, mereka sayang kepada Mbak. Mbak lupa, ada perintah Allah untuk kita selalu husnudzon. Mbak lupa, kalau harus menghargai orang tua,” terangnya. “Maaf, lho, Mbak. Kok, saya jadi ceramahin Mbak.

“Gak apa-apa.”

“Dan satu lagi. Tidak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Karena, dengan alasan apapun, laki-laki dan perempuan bukan makhrom tidak boleh terlalu dekat apalagi sampai berduaan.”

Rahman sepertinya benar. Aku terlalu menuruti perasaan. Rasa benci kepada istri Papa dan Arini, rasa kecewa kepada Papa, dan rasa percaya kepada Dhimas. Semuanya menyeretku kepada kondisi yang membuatku hancur.

Aku terlalu mengagungkan perasaan sendiri. Sampai lupa, bahwa Papa pun punya alasan kenapa menikah lagi dan itu tidak berarti kalau dia sudah mengkhianati Mama. Bahwa istrinya dan Arini pun, sering menunjukkan sikap baik, tetapi semuanya terhalang rasa benci yang sudah merasuki jiwa.

Belum lagi Dhimas, aku merasa dia adalah orang yang paling bisa mengerti aku. Padahal justru dia yang sudah tega menghancurkan hidupku.

“Ada lagi yang mau ditanyakan?”

Aku menggeleng.

“Kalau begitu, ayok kita masuk. Orang tua kita sedang menunggu.” Rahman bangkit dan masuk rumah.

Aku menyusulnya.

“Jadi, bagaimana, Sayang?” tanya Papa setelah aku duduk.

Semua mata menatapku penasaran. Aku masih merasa gugup, tetapi tidak separah tadi. Pelan, aku pun mengangguk.

“Kamu menerimanya?” tanya Papa lagi.

Aku mengangguk lagi.

“Alhamdulillah …,” ucap semuanya dengan raut wajah bahagia.

Kemudian, mereka merundingkan tentang tanggal pernikahan. Awalnya, aku protes. Pikirku, kenapa harus secepat itu?

“Proses ta’aruf itu, paling lama satu bulan. Gak boleh lama-lama,” terang ibunya Rahman.

Aku hanya bisa pasrah. Lagipula, bukankah aku juga sejak dulu sudah menyukai Rahman? Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda semuanya.

**

Tiga minggu kemudian, sebuah pesta sederhana digelar di rumah Mbah Uti. Hari ini, Rahman mengucapkan janjinya untuk menjadi imamku di hadapan Papa.

Bahagia? Tentu saja. Rasa bahagia yang dulu tidak pernah terpikirkan bisa aku alami. Kebahagiaan, yang melengkapi kehidupanku.

Papa, Mama Rossi, Mbah Uti, Arini, Ibu Ayu, Rahman dan almarhum Mama … aku cinta kepada kalian semua. Cinta yang tak hanya sekadar sebuah perasaan. Melainkan, cinta yang didasari karena Allah. Cinta yang tidak menyalahi dari aturan-Nya. Insya Allah

Selesai.

______

Alhamdulillah, terima kasih buat yang sudah membaca sampai akhir. Semoga menghibur dan ada hal baik yang bisa diambil sebagai pelajaran. Mohon maaf untuk semua kekurangan.

Comment