RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – “Suatu ketika seorang Kepala Bidang Penjualan dari perusahaan pembuat kopi berkeluh kesah kepada koleganya yang merupakan Kepala Bidang Pemasaran di perusahaan yang sama. Kepala Bidang Penjualan tersebut bercerita bahwa penjualannya cenderung lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya. Setelah berdiskusi cukup lama, Kepala Bidang Penjualan dan Kepala Bidang Pemasaran menyimpulkan bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara karena pengetahuan (awareness) dari konsumen terhadap merek mereka berkurang.
Kemudian mereka memutuskan melakukan program pemasaran besar-besaran untuk menaikkan penjualan. Namun ternyata, penjualan tidak banyak berubah. Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata bukan pengetahuan dari konsumen terhadap merek mereka yang berkurang, tetapi terjadi perubahan kebiasaan konsumen dalam cara menikmati kopi. Mereka lebih memilih menikmati kopi di gerai-gerai yang sedang menjamur, bukan karena pengetahuan atau minat minum kopi yang menurun”
Ilustrasi itu sering saya gunakan ketika mengajar pada pelatihan strategi bisnis dan inovasi, yaitu pada bagian yang menjelaskan mengenai bagaimana perilaku pelanggan bisa mempengaruhi lanskap pasar produk kita dan tentu saja strategi bisnis kita. Terlepas bahwa cerita tersebut aktual atau sekedar fiktif, namun ilustrasi tersebut dapat membuka wawasan peserta pelatihan bahwa perubahan perilaku pelanggan bisa terjadi dan berpengaruh terhadap bisnis.
Beberapa hari yang lalu seorang teman mengirimkan sebuah tautan internet yang isinya adalah Dunkin Donuts akan bekerjasama dengan Coca-cola untuk memproduksi dan menjual kopi kemasan siap minum (KKSM, atau ready-to-drink coffee, RTD coffee), yang akan dijual di gerainya dan di supermarket-supermarket. Dalam mewujudkan visinya tersebut, Dunkin Donuts akan bekerjasama dengan Coca-cola dalam hal produksi dan distribusi kopi kemasan.
Hal ini menarik, karena dapat dijadikan studi kasus untuk menjelaskan relasi strategi dan inovasi, mengingat pada beberapa referensi mengenai inovasi, tidak dijelaskan secara jelas korelasi strategi termasuk kondisi industri serta kondisi perusahaan sehingga muncul strategi yang dipilih berikut inovasi yang dilakukan.
Strategi yang dimaksud di sini adalah rangkaian kegiatan yang terkoordinasi dan terintegrasi yang dirancang untuk mendayagunakan kemampuan utama suatu organisasi untuk meningkatkan daya saing. Strategi merupakan jawaban atas pertanyaan yang disebutkan dalam strategy diamonds seperti disebutkan oleh Donald C. Hambrick dan James W. Fredrickson dalam artikelnya “Are you sure you have a strategy?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:
(1) pasar atau arena mana yang akan dilayani sebuah produk, jasa, atau perusahaan (arenas),
(2) apa diferensiasi dari produk atau jasa yang ditawarkan (differentiator),
(3) bagaimana caranya atau media (vechicle) apa yang digunakan untuk bisa mengeksekusi strategi tersebut
(4) bagaimana tahapan pelaksanaannya (staging), dan
(5) bagaimana kelayakan secara ekonomi dari strategi tersebut (economy logic).
Artikel ini hanya akan membahas sebagian besar dari pertanyaan-pertanyaan pada strategy diamonds tersebut, tetapi tidak akan membahas pertanyaan ke-5.
Sementara untuk inovasi, inovasi yang dimaksud di sini tidak terbatas pada penggunaan teknologi baru atau teknologi tinggi (invensi), namun lebih pada definisi yang disebutkan oleh Mathew E May pada buku The Elegant Solution, Toyota’s Formula for Mastering Innovation, yaitu usaha untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik. Terkait dengan jenis inovasi, terlepas dari banyaknya tipologi dari inovasi, dalam artikel ini, kategorisasi inovasi akan menggunakan tulisan Larry Keeley dan kawan-kawan dalam buku Ten Types of Innovation, yaitu:
(1) inovasi pada model penghasil pendapatan atau keuntungan (profit model innovation),
(2) inovasi pada jaringan bisnis (network innovation),
(3) inovasi pada struktur (structure innovation),
(4) inovasi pada inovasi pada proses (process Innovation),
(5) inovasi pada kinerja produk (product performance innovation),
(6) inovasi pada sistem produk (product system innovation),
(7) inovasi pada layanan (service innovation),
(8) inovasi pada jaringan distribusi (channel innovation),
(9) merek (brand innovation), dan
(10) inovasi pada kepuasan (atau keterikatan) pelanggan (customer engagement innovation).
Dunkin’ Ready-to-Drink Coffee
Dalam diskusi dengan teman, sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, ia kemudian bertanya kira-kira apa yang menjadi dasar keputusan Dunkin Donuts tersebut. Apabila dalam ilustrasi di atas disebutkan bahwa pelanggan beralih dari sebelumnya menikmati kopi yang diseduh sendiri di rumah atau kantor menjadi di gerai kopi, akhir-akhir ini yang terjadi di Amerika sedikit berbeda, pelanggan mulai beralih ke kopi kemasan siap minum. Hal ini sepertinya membuat adagium, “Office is the next coffee shop” menjadi benar karena pelanggan lebih memilih untuk menikmati kopi di tempat di mana mereka beraktivitas, seperti di kantor misalnya.
Fenomena itu sudah jamak terjadi. Forbes menyebutkan bahwa pasar kopi kemasan di Amerika Serikat tumbuh dua digit sejak 2011. Menurut Beverage Marketing Corporation, penjualan kopi kemasan di Amerika Serikat tumbuh sekitar 10.7% di 2014. Pada tahun 2015 pertumbuhan pangsa pasar kopi kemasan tumbuh paling besar di antara jenis minuman lain, yaitu sebesar 19.1%, sedangkan minuman bersoda justru turun 0.9% (marketrealist.com).
Masih menurut Forbes, diperkirakan kopi kemasan akan terus tumbuh sampai pasarnya mendekati USD 3.6 miliar pada tahun 2020. Hal ini yang menjadi alasan pertama kenapa Dunkin Donuts memutuskan untuk menjual kopi kemasan, yaitu adanya permintaan yang cukup besar.
Perubahan kebiasaan mengonsumsi kopi ini tidak terjadi begitu saja. Tren sebelumnya yang terjadi adalah pelanggan kopi di kedai kopi mulai beralih ke kopi yang disajikan secara dingin (cold-brew coffee, CBC). Menurut marketrealist.com, CBC diminati karena dengan disajikan secara dingin, membuat kopi lebih kaya rasa dan menjadi terasa manis secara alami. Sementara Bloomberg menyebutkan bahwa CBC memberikan efek kafein yang lebih tajam daripada kopi yang disajikan secara tradisional. Kemudahan untuk dibawa serta kenikmatan yang bertahan lama menjadikan CBC terutama kopi kemasan siap saji semakin diminati.
Informasi yang diperoleh dari fortune.com menyebutkan Starbucks memperkenalkan CBC pada menu utamanya pada 2015. Masih menurut fortune.com, berdasarkan The Street, Starbucks segera menjual CBC di supermarket-supermarket setelah peluncuran lini produk CBC. Saat ini, kopi kemasan Starbucks dapat ditemui di supermarket-supermarket tertentu di Indonesia. Dengan memulai lebih awal, maka Starbucks memperoleh first mover advantage, yaitu keuntungan yang diperoleh karena pertama kali memasuki sebuah industri atau pasar alias pionir atau sang pemula. Sehingga tak heran pada tahun 2016, Starbucks menguasai 97% pangsa kopi kemasan di Ameriksa Serikat (fortune.com).
Hal ini yang menjadi pertimbangan kedua Dunkin masuk ke pasar kopi kemasan, yaitu adanya dominasi oleh satu pemain dominan, yaitu Starbucks. Ketika terdapat produk dengan dominasi yang sangat tinggi, maka ada peluang untuk bisa masuk ke pasar tersebut, karena kemungkinan produk yang ditawarkan oleh penguasa pasar tersebut sudah overpriced atau dibanderol dengan harga terlalu tinggi. Salah satu cara memasuki pasar yang demikian adalah dengan menawarkan produk dengan kualitas mirip, namun dengan harga lebih murah. Dalam konteks Dunkin’s RTD coffee, Dunkin bisa jadi akan mematok harga lebih murah dari harga Starbuck’s RTD coffee.
Dua hal yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor yang berasal dari eksternal Dunkin Donuts, sementara dari sisi internal Dunkin Donuts sendiri, dapat dipastikan terdapat faktor-faktor yang menjadi dasar keputusan untuk masuk ke pasar kopi kemasan. Faktor-faktor tersebut kemungkinan adalah pertama, Dunkin mempunyai kemampuan membuat resep kopi yang nikmat. Hal ini dibuktikan dengan popularitas kopi Dunkin sudah cukup tinggi, sehingga, seperti dikutip dari forbes.com, Dunkin menjadi pemain kedua dengan pangsa pasar terbesar di Amerika Serikat, yaitu 25%, sementara Starbucks menguasai 42% pasar kopi yang dijual melalui gerai kopi.
Faktor kedua adalah merek yang kuat. Sejak awal didirikan di tahun 1950, Dunkin sudah dikenal cukup lama baik di Amerika Serikat maupun secara global, hal ini membuat Dunkin lebih mudah untuk memperkenalkan dan sukses dengan lini produk yang baru (trefis.com).*[Tirto]
Comment