Oleh: Desy Purwanti, Aktivis Dakwah Kampus
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dunia maya digegerkan kembali dengan kasus seorang ibu di Brebes yang tega membunuh darah dagingnya sendiri.
Dikutip dari laman republika.co.id, kasus pembunuhan sadis dengan pelaku seorang ibu muda berinisial KU (35 tahun) di Tonjong, Brebes, Jawa Tengah dengan menggorok leher anak kandungnya berusia 6 tahun, dan melukai 2 anak kandung lainnya. Ibu muda yang dikenal pendiam di antara para tetangganya ini, tega menghabisi darah dagingnya sendiri dengan sadis.
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indra Giri Amriel mengimbau, kepada pihak kepolisian untuk memeriksa lebih lanjut kejiwaan pelaku. Walaupun dari berita yang ada, penyebab pelaku melakukan tindakan sadis tersebut kepada anaknya karena alasan ekonomi dan kesulitan hidup.
Menurut keterangan dari polisi, ibu tersebut tidak ingin anaknya merasakan hidup susah. Maka jalan terbaik untuk anaknya adalah dengan mengakhiri hidupnya. Sang ibu juga mengaku tidak sanggup lagi hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Terlebih suaminya sering menganggur.
Kondisi masyarakat seperti ini adalah dampak implementasi sebuah sistem yang rusak yang diberlakukan dalam kehidupan. Sistem tersebut adalah kapitalisme dengan sekulerisme sebagai aqidah yang memisah agama dari kehidupan.
Kebahagiaan dalam sistem kapitalis hanya diukur dari banyaknya materi. Alhasil, manusia yang hidup di dalamnya tidak akan menjadikan agama sebagai solusi masalah mereka.
Kapitalis-sekuler mampu mencerabut fitrah keibuan. Keimanan yang memudar dalam diri serta ketakwaan yang tidak bersemayam pada tingkah laku adalah faktor terbesar penyebab sang ibu kehilangan kewarasan hingga tega membunuh anak-anaknya.
Sistem rusak dan merusak itu menilai bahwa agama hanya berada pada ranah ibadah. Padahal, Allah subhanahu wata’ala telah membekali manusia untuk hidup di dunia berikut seperangkat aturan agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah.
Oleh karenanya, tercerabutnya fitrah seorang ibu sebagai pelindung bagi anak-anaknya dari segala macam bahaya adalah akibat sekularisme yang bercokol terlalu lama. Paham inilah yang menyebabkan seorang ibu meminggirkan peran agama.
Kasus berulang ini tak cukup disolusi dengan perbaikan kejiwaan individu pelakunya.
Problem ini seharusnya mendorong negara untuk menghapus semua faktor (sistemik) yang memicu masalah kejiwaan kaum ibu.
Dalam Islam, persoalan mencari nafkah dan perlindungan terbebankan pada suami atau wali, bukan pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai anak, istri, ataupun ibu. Itu semua agar si ibu bisa optimal menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak. Jika sudah tidak ada suami atau wali, urusan nafkah dan perlindungan terhadap perempuan beralih pada negara.
Islam telah menegaskan kedudukan khalifah kaum muslimin sebagai ra’in (pengembala) yang bertanggung jawab atas ra’iyyah (gembala)-nya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kamu semuanya adalah penanggungjawab atas gembalanya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggung jawab terhadap gembalanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dari Ibn Umar)
Dengan adanya aturan Islam yang diterapkan secara keseluruhan dalam kehidupan, maka kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Kaum ibu akan kembali kepada fitrahnya, yaitu sebagai pelindung bagi anak-anaknya. Wallahu ‘aalam[]
Comment