Wacana Penundaan Pemilu, Untuk Siapa?

Opini539 Views

 

 

Oleh : Sriyama, Pemerhati Sosial

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tak ada angin tak ada hujan. Ketua parpol PKB tiba-tiba mengusulkan penundaan pemilihan umum 2024 dengan dalih guna mengantisipasi hilangnya momentum perbaikan ekonomi rakyat. Benarkah demikian?

Dilansir Republika. co.id, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) menegaskan penundaan pemilihan umum  merupakan pelanggaran konstitusi. Ia memandang bahwa wacana penundaan tersebut digulirkan oleh pihak – pihak yang takut kehilangan kekuasan Dan ingin melanggengkan kekuasaanya. Lalu Negeri kita mau dibawa ke arah mana kalau diisi, diawaki dan dipimpin oleh orang- orang seperti itu ?

Penundaan pemilhan umum tentu banyak menuai kritik dari berbagai kalangan, misalnya pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai partai – partai koalisi seperti Golkar, PAN dan PKB yang mendukung usulan itu sudah terasa nyaman atas pembagian kekuasan selama pemerintahan Jokowi berlangsung. Ini disampaikannya dalam diskusi bertajuk tolak penundaan pemilihan umum (pemilu) secara daring sabtu (26/02/2022).

Selain itu, pengamat politik Tamil Selvan memiliki pandangan tersendiri, hal itu justru membentuk absolutisme kekuasaan dengan berdalih masalah covid. Bukankah di luar negeri tetap melakukan pemilihan? Pilkada kemarin  bisa kita laksanakan.

Menurutnya bahwa hal ini mencari – cari pembenaran bagi kelompok yang berkuasa untuk membentuk absolutisme kekuasaan dan nepotisme gaya baru juga memperpanjang kekuasaan serta mempersiapkan konstestan ke depan, ucapnya seperti dikutip warta ekonomi – jaringan suara com, Sabtu, (26/02/2022).

Jika kita amati penggiringan opini penundaan pemilihan umum 2024 terus diupayakan karena selama di dalam lingkaran kekuasaan merasa enak dan diuntungkan. Selain itu pula takut kehilangan jabatan serta memperpanjang masa jabatan dipemerintahan.

Ini dilakukan meski harus melanggar konstitusi dan berbohong dengan mengatasnamakan rakyat. Mereka mengklaim usulan penundaan pemilu adalah merupakan aspirasi rakyat. Juga berdalih bahwa penundaan pemilu guna mengantisipasi perbaikan perekonomian rakyat akibat covid 19.

Kebohongan dalam sistem demokrasi merupakan hal yang biasa karena pada dasarnya sistem demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat itu adalah suatu utopis. Fakta menunjukan bahwa yang merasakan pesta demokrasi setiap lima tahun bukan lah rakyat tapi para politisi dan para pengusaha serta para investor asing.

Di saat kampanye, rakyat dijanji – janji seakan memperjuangkan aspirasi di parlemen demi kemaslahatan rakyat. Nyatanya semua dilakukan tidak lebih demi meraup suara rakyat saja.

Lagi – lagi yang diuntungkan adalah para politisi yang berambisi menduduki jabatan publik dan kekuasaan untuk meraih jabatan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Melalui proses pesta demokrasi inilah terbentuknya oligarki kekuasaan. Yakni terjadinya kerja sama antara politisi dan para pemilik modal.

Maka wajar jika lahir sebuah undang – undang atau kebijakan yang menguntungkan dirinya, para pemilik modal dan pendukungnya. Artinya kedua kelompok memiliki kepentingan yang sama, yakni melanggengkan kekuasaan.

Di sisi lain, para politisi tidak ingin partainya kalah dalam kontestan pemilu 2024. Otomatis akan mengancam kedudukannya dalam tampuk kekuasaan. Maka bagi partai yang elektabilitasnya rendah akan berusaha mencari zona aman dengan cara menggiring opini penundaan pemilu 2024.

Para pemilik modal pun takut dan tidak ingin kekuasaannya buyar sebab dalam sistem demokrasi aturan dan kebijakan sering berganti dan berpotensi berubah – ubah termasuk melanggar konstitusi pemerintahan itu hal yang biasa.

Dalam sistem demokrasi inkonsisten sering terjadi meski awalnya mengatakan bahwa pemilu diadakan lima tahun sekali. Jika para politisi berkoalisi dan pemilik modal mampu mengendalikan penguasa, maka itu bisa berubah dengan berbagai alasan yang diada – adakan seperti kas negara defisit, perbaikan ekonomi rakyat akibat covid, biaya pemilu mahal dan lain sebagainya. Padahal di balik semua itu ada kepentingan oligarki yang menggurita di negeri ini.

Lagi – lagi rakyat menelan pil pahit selama lima tahun ke depan. Harapan rakyat ingin mendapatkan secercah kebaikan, hanyalah sebatas angan. Justru rakyat dirongrong dengan berbagai macam kebutuhan pokok yang  melangit harganya seperti sembako, kesehatan, pendidikan, bbm, listrik, iuran BPJS ditambah pajak yang mencekik.

Sungguh miris nasib rakyat.
Semua ini disebabkan karena negara penganut sistem kapitalis sekuler, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Fatalnya lagi, sistem demokrasi menjadikan kedaulatan berada di tangan rakyat serta diberi kuasa untuk membuat hukum yang diwakilkan kepada parlemen atau elit politik.

Maka wajar aturan dan kebijakan yang dibuat tidak menguntungkan rakyat justru menimbulkan pertentangan perselisihan dan permusuhan karena bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas serta mengikuti hawa nafsunya dan mementingkan dirinya sendiri dan para oligarki.

Inilah wajah buruk sistem demokrasi buatan manusia yang tidak mampu menyelesaikan problematika rakyat. Justru sebaliknya derita panjang yang dirasakan rakyat tak kunjung selesai.

Berbeda dengan sistem yang berasal dari Allah SWT mampu memberi solusi yang solutif. Maka sudah saatnya mencampakkan sistem buatan manusia beralih pada sistem Islam.

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul Saw sekaligus memiliki seperangkat aturan untuk mengatur manusia di dunia. Dalam Islam kedaulatan berada di tangan syara’. Artinya yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT. Itu merupakan hak prerogatif sebagaimana dalam firmannya (QS Al n’am (5) : 57.)

Dalam Islam tidak mengenal kebebasan, setiap perbuatan terikat hukum syara’. Allah telah memberikan aturan yang sempurna bagi makhluk-Nya mencakup semua aspek kehidupan yang diterapkan dalam negara.

Oleh sebab itu negara dalam Islam mewajibkan seorang pemimpin mengatur urusan rakyatnya dengan hukum Allah serta mewajibkan setiap muslim memiliki aqidah yang kuat dan kokoh agar memiliki ketakwaan kepada Allah sehingga memiliki kesadaran melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta mendapatkan ridho-Nya.

Kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Oleh karena itu para sahabat ketika menerima amanah sebagai pemimpin negara bukan eforia seperti kondisi hari ini. Justru sedih dan yang terucap dari lisannya adalah innalilahi wa Inna ilaihi roji’un. Sungguh sangat ketakutan jika tidak bisa menjalankan amanah yang dibebankan di pundaknya.

Demokrasi sekuler bertabrakan dengan fitrah manusia. Maka tidak layak untuk dipertahankan. Saatnya beralih dan berjuang untuk menerapkan sistem yang berasal dari Sang Pencipta Yang Maha Sempurna. Wallahu Alambhisowab.[]

Comment