Oleh. Rosmita, Praktisi Pendidikan
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Wacana penundaan Pemilu 2024 oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketum PAN Zulkifli Hasan dan didukung oleh Ketum Golkar Airlangga Hartarto.
Alasan penundaan Pemilu adalah agar pemerintah fokus kepada perbaikan ekonomi pasca pandemi. Ekonomi Indonesia dalam keadaan terpuruk, sedangkan Pemilu butuh dana yang banyak untuk penyelenggaraannya.
Ketua Komisi ll DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan persiapan Pemilu Pilpres dan Pilkada serentak 2024 sangat mahal. Penyelenggara Pemilu telah mengajukan permohonan anggaran sekitar Rp140 triliun.
Namun, benarkah penundaan Pemilu demi kepentingan rakyat atau demi kepentingan sekelompok golongan saja? Banyak pengamat menilai bahwa wacana tersebut digulirkan bukan demi kemaslahatan rakyat, melainkan demi memperpanjang masa jabatan yang menguntungkan mereka.
Apalagi kondisi negeri ini yang tidak baik-baik saja, membuat mereka kehilangan rasa percaya diri untuk mempertahankan jabatannya. Selain itu, penundaan Pemilu juga bertujuan agar mereka punya waktu untuk mempersiapkan diri mengikuti kontestasi Pemilu berikutnya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, partai-partai yang mendukung ide tersebut sudah merasa nyaman atas pembagian kekuasaan selama pemerintahan Jokowi berlangsung.
Menurutnya, situasi itu justru akan merusak keberlangsungan demokrasi dan akan memberikan dampak negatif bukan hanya kepada partai-partai nonkoalisi saja, tetapi juga kepada masyarakat karena mereka akan kehilangan haknya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Sementara dari pihak oposisi jelas menolak wacana tersebut, karena tidak ingin kehilangan kesempatan meraih kekusaan.
Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan bahwa penundaan Pemilu merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan.
Inilah watak asli sistem demokrasi yang mencetak para elit politik yang minim empati. Tidak peduli dengan penderitaan rakyat dan hanya mementingkan keuntungan diri dan kelompoknya saja. Terbukti, dari kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan selalu berpihak kepada para penguasa dan pengusaha.
Sedangkan kemaslahatan rakyat tidak pernah jadi prioritas. Janji-janji manis yang mereka ucapkan saat Pemilu lima tahun yang lalu hanya sebagai pemanis bibir dan tidak pernah diwujudkan.
Sistem Kapitalisme juga melahirkan pejabat yang tamak, wacana penundaan Pemilu adalah bukti bahwa mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka miliki. Mereka ingin terus berkuasa dan menambah pundi-pundi kekayaan.
Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya manusia itu diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa mengahalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Penerima taubat siapa saja yang mau bertaubat.” (HR. Al Bukhari)
Inilah gambaran tentang orang yang selalu merasa kurang dan tidak pernah bersyukur dengan apa yang telah mereka miliki sehingga mereka berambisi untuk terus meraih harta dan kekuasaan. Karena mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu hingga mereka menjadi orang yang tamak lagi serakah.
Sistem Islam Melahirkan Pemimpin yang Amanah
Sistem Islam menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Kepemimpinan dalam Islam bernilai ukhrawi, yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak. Selain itu, pemilihan pemimpin dalam Islam dilakukan dengan cara berbaiat sehingga tidak memerlukan biaya banyak seperti dalam sistem demokrasi.
Pemimpin yang dipilih pun harus yang memenuhi syarat sebagai pemimpin. Sehingga lahirlah pemimpin yang amanah, bertanggung jawab dan zuhud terhadap dunia.
Salah satunya adalah Umar bin Khattab. Meskipun beliau seorang khalifah yang kekuasaannya meliputi 2/3 bagian dunia tidak membuat beliau hidup bergelimpang harta. Sebaliknya, kehidupan beliau sangat sederhana, tidak ada istana megah dan mobil mewah.
Bahkan ia hanya memakan roti kering dan minyak zaitun untuk mengganjal perutnya. Ia takut memakan makanan yang enak sementara ada rakyatnya yang menderita kelaparan.
Beliau juga memanggul sendiri karung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan anaknya yang kelaparan. Sulit rasanya memiliki pemimpin yang memiliki empati yang tinggi saat ini. Karena pemimpin yang baik hanya akan lahir dari sistem yang baik pula.
Wallahu’alam bishshawab.[]
Comment