Atasi Problem Kedelai Dengan Swasembada Kedelai

Opini509 Views

 

 

Oleh: Ageng Kartika, S.Farm, Pemerhati Sosial

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Keluhan dan rasa putus asa dari pengrajin tahu dan tempe atas kenaikan harga kedelai impor berikut kelangkaan ketersediaan kedelai menambah beban mereka. Berujung pada produksi yang berkurang bahkan hingga berhenti menghasilkan tahu dan tempe di setiap harinya.

Kondisi ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Sudah tiga kali terjadi kelangkaan berikut kenaikan harga, sayangnya belum ada solusi efektif dan nyata dari pemerintah menangani polemik ini.

Dilansir dari media tvonenews.com, Selasa (1/3/2022) di Kabupaten Probolinggo sejumlah pemilik pabrik tahu rumahan mengeluh bahkan terancam gulung tikar akibat mahalnya harga kedelai di pasaran dalam tiga pekan terakhir ini. Harga kedelai saat ini Rp 11.500 per kilogram (1/3), sebelumnya Rp 7.500 per kilogram. Untuk bisa bertahan, para produsen harus mengubah ukuran tahu dan tempe miliknya. Kenaikan ini dikeluhkan juga oleh pembeli di pasar tradisional dan pembeli rumahan.

Kelangkaan kedelai impor menurut Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia, akibat kebutuhan pasokan kedelai sebagai salah satu bahan baku pakan ternak babi diborong oleh China yang sedang melakukan reformasi peternakan babi setelah terimbas wabah demam babi yang menyerang di tahun 2019 di seluruh China.

Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menyatakan selama ini pembelian kedelai untuk tahu tempe Indonesia diambil dari Amerika. Tetapi karena di borong China menyebabkan harga melonjak naik, (cnbcindonesia.com, 26/2/2022).

Petani Kedelai Lokal butuh Swasembada Kedelai

Pemerintah dituntut untuk membuka mata atas kondisi ini. Para perajin tempe tahu menghendaki usaha pemerintah mengendalikan harga kedelai impor di pasaran.

Tidak cukup dengan memberitahu bahwa permintaan kedelai impor yang tinggi menyebabkan nilai jual pun meningkat, di tambah biaya distribusi tinggi karena kondisi pandemi maka proses perjalanan mengalami kendala dan berujung meningkatnya harga distribusi. Seolah pemerintah mengaminkan terjadinya peningkatan harga oleh distributor dan importir.

Pemerintah seperti menutup mata atas kesulitan para produsen memasarkan hasil produksinya dan konsumen pun menjerit tidak mampu membeli produk olahan dari kedelai ini.

Keresahan para produsen berikut konsumen atas ketersediaan kedelai ini harus menjadi perhatian dari pemerintah. Selama ini hasil panen kedelai lokal kalah bersaing dengan hasil impor. Selain waktu panen yang lama, kualitas kedelai yang rendah, dan harga jual yang lebih mahal menjadi faktor-faktor yang memberatkan para petani kedelai lokal.

Sehingga wajar mereka mulai beralih menanam tanaman lain yang lebih menguntungkan. Hal ini menguatkan ketergantungan para produsen dan konsumen terhadap kedelai impor. Karena memang kedelai lokal sulit di dapat dan harga pasarannya pun lebih mahal.

Seharusnya pemerintah mulai menata kinerja para petani kedelai lokal agar kembali meneruskan usahanya dengan mengedukasi secara berkala. Edukasi ini berupa upaya-upaya dalam menghasilkan kualitas yang bagus seperti kedelai impor.

Dibangun juga wadah untuk meregulasi kebutuhan-kebutuhan petani seperti penyediaan bibit unggul, pupuk, obat-obatan, dan sebagainya.

Tentu saja bantuan dana dari pihak terkait untuk meringankan harga-harga kebutuhan dalam menanam kedelai sangat diperlukan para petani kedelai lokal. Karena faktor-faktor pendukung inilah yang membantu proses panen kedelai berhasil. Sayangnya supporting pemerintah berupa swasembada kedelai belum terealisasi.

Permasalahan ini menjadikan para petani kedelai lokal berangsur meninggalkan menanam kedelai, beralih ke komoditas lain yang lebih menjanjikan.

Kondisi ini jangan membuat pemerintah tidak mengoptimalkan pemberdayaan petani lokal untuk kembali menanam kedelai. Ataupun bisa dilakukan dengan mencari solusi pengganti kedelai yang memiliki kualitas rasa dan bahan yang setara. Sehingga Indonesia secara berkala mampu melepaskan diri dari ketergantungan impor kedelai dalam jumlah besar untuk mendukung produksi bahan baku kedelai.

Upayakan dengan optimal para produsen terlepas dari kedelai impor karena selama ini kenaikan harga kedelai impor tidak mampu diantisipasi dan diatur, dan membuat kesulitan yang tidak berkesudahan bagi produsen dalam mengelola dan mengatur produksinya. Begitu pun dengan konsumen sebagai penikmat hasil produk kedelai karena harga yang terus merangkak.

Bagaimanapun sistem kapitalisme yang bernaung telah menghalalkan kondisi ini terjadi. Negara hanya bertindak sebagai regulator saja. Tidak berperan dalam pengelolaan dan fasilitator yang mampu mendongkrak swasembada pangan, salah satunya swasembada kedelai ini terwujud demi kesejahteraan para petani lokal dan masyarakat sebagai konsumennya. Kapitalisme telah memberi andil bagi para importir dan distributor memperoleh keuntungan sesuai yang mereka inginkan.

Swasembada Kedelai dalam Islam

Sistem pemerintahan Islam, Khilafah memiliki kebijakan pangan yang berpijak pada independensi. Politik pertanian terkait erat dengan politik ekonomi Islam, yakni menjamin terpenuhinya pemenuhan semua kebutuhan dasar rakyat.

Sedangkan politik pertaniannya mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan keadilan distribusi pangan dalam rangka mencapai tujuan politik ekonomi Islam. Negara akan mendorong dan menciptakan swasembada pangan yang berkelanjutan sehingga terwujud ketahanan pangan.

Swasembada pangan dalam hal ini kedelai dilakukan oleh negara dalam sistem Islam dengan meningkatkan produksi kedelai melalui tiga mekanisme, yakni:

Pertama, menghentikan kebijakan impor dan memberdayakan sektor pertanian. Untuk kedelai ini maka segala aktivitas impor segera diregulasi agar terhenti, dan dilanjutkan dengan pemberdayaan kedelai.

Kedua, menggalakkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, dalam hal ini kedelai, meliputi antara lain;

Intensifikasi, dengan meningkatkan sarana produksi kedelai yang lebih baik. Khilafah menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi kedelai. Biro subsidi (diwan ‘atha) dalam baitulmal mampu menjamin dengan mengoptimalkan pengeluaran baitulmal kebutuhan-kebutuhan para petani kedelai.

Para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas pendukung seperti modal, peralatan, benih, teknologi, pemasaran, informasi, dan sebagainya. Baik secara langsung atau pun seperti bantuan subsidi. Maka seluruh lahan yang tersedia akan produktif.

Ekstensifikasi kedelai dengan meningkatkan luasan lahan tanam kedelai. Menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan kedelai dengan jaminan negara atas kepemilikan lahan melalui menghidupkan lahan mati, memberikan pengolahan lahan kapada petani kedelai yang siap siaga dan mampu mengelola lahan.

Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga pasar. Sehingga menjaga kestabilan harga pangan, begitu pun kedelai di pasar. Negara memastikan tidak adanya kelangkaan bahan pangan.

Inilah bentuk swasembada pangan dalam Islam yang mampu menciptakan ketahanan pangan. Tidak ada represi harga pangan dari negara lain karena menghentikan produk impor.

Kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan baik petani lokal maupun masyarakat dapat terlaksana dengan baik. Semua ini dapat terwujud dalam sistem Islam. Wallahu’alam bishawab.[]

Comment