Muhammad Syukur Mandar, Ketua Gerakan Golkar Baru
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Golkar sudah waktunya melakukan transformasi politik, tentunya dalam terminologi sebagai partai politik yang modern. Dalam sejarahnya, Golkar memang enggan mengambil peran-peran oposisi dalam suatu pemerintahan.
Golkar selalu ada dalam kekuatan politik pendukung pemerintah, meskipun faktanya pada saat pemilu Golkar kalah menjadi rival dengan Capres pemenang pemilu. Tipologi politik Golkar ini dalam kacamata politik dapat dikategorikan partai penganut paham opurtunis.
Golkar sangat terlatih dan telaten melayani pemerintah. Sikap loyal Golkar pada pemerintah diterjemahkan kaku, lebih parah lagi oleh AH dalam kepemimpinannya. Akibatnya Golkar lupa mengasah jati dirinya sebagai sebuah partai politik yang modern, di mana salah satu fungsinya adalah mengagregasi kepentingan rakyat.
Gaya politik Golkar diera kepemimpinan AH ini, kembali lagi membawa Golkar menyerupai hidup di zaman Orde Baru. Kebiasaan Golkar sebagai anak mas rezim, dimana Golkar terbiasa menang pemilu karena campur tangan kekuasaan faktanya hari ini dihidupkan oleh AH. Padahal dalam kekuasaan saat ini, Golkar itu anak tiri bukan anak kandung kekuasaan.
Sulit dipungkiri bahwa pada kenyataannya Kepemimpinan AH ini, kembali menyeret Golkar pada Gaya politik otoriter dan anti demokrasi. Padahal sejak 2004 Golkar menangkan pemilu, karena Akbar Tandjung mampu menjual platform baru Golkar sebagai Partai terbuka, modern dan demokratis, hal ini ditunjukan Akbar Tandjung dengan menggelar konvensi Capres.
Sudah waktu Golkar harus ditransformasi gaya politik dan sistem kerja partai. Gaya politik yang dibangun AH dalam kurun waktu memasuki 4 tahun ini, sangat menyita waktu Golkar. Golkar hilang kesempatan berbenah dan mereformasi diri. Posisi politik Golkar sebagai partai pendukung pemerintahpun tak memiliki nilai bargaining kuat. Bahkan nampak Golkar sekedar ada dan melengkapi.
Tipologi politik Golkar ini hanya akan sehat pada ekosistem politik yang otoriter, totaliter, dan pemilu yang dikendalikan rezim. Tak usah kita belajar jauh jauh ke bangsa lain, di Indonesia, PDIP berhasil menangkan pemilu sejak 2014 s/d 2019, bahkan masih unggul survei dengan dari semua partai.
Salah satu variabel pendukungnya adalah kemampuan PDIP membangun sikap oposisinya di era pemerintahan Presiden SBY dan saat ini PDIP-pun nampak kiritis meskipun garda utama pendukung Jokowi.
Partai Golkar memiliki doktrin politik, selalu dan akan tetap berada didalam struktur kekuasaan, meskipun kalah dan atau tak ikut menangkan presiden dipemilu. Tradisi Golkar ini sesungguhnya tidak lagi tepat dan bukan lagi zamannya. Sebab, pertama, pemilu saat ini tidak bisa lagi diatur sesuai kehendak kekuasaan seperti orde baru. meskipun sepenuhnya pemilu kita belum jujur dalam pelaksanaannya.
Pemilu kita sudah mulai terbuka, tingkat pengawasan masyarakatnya cukup baik, dan pemilihnyapun sudah kritis, memilih partai dengan melihat rekam jejaknya. Itulah mengapa partai yang oposisi dan atau pendukung pemerintah tetapi tetap kritis pada kepentingan rakyat selalu mendapat insentif dari pemilih. Maka jangan heran jika survei belakangan ini, PDIP terus meningkat, mendapat insentif dari pemilih pro pemerintah dan kadernya semakin loyal.
Pada sisi lain, PKS dan Demokrat, juga mendapatkan hal yang sama dari pemilih yang kontra dengan pemerintah dan para kadernya semakin loyal. Sementara Golkar, mengalami erosi dukungan kader, tidak mendapatkan insentif pemilih baik pro maupun kontra pemerintah. Tidak hanya itu, Golkar juga mulai diserang kader kadernya karena sikapnya yang opurtunis.[]
Comment