KDRT Dalam Tinjauan Hukum Dan Realitas

Opini578 Views

 

 

Oleh : Suriani. S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Topik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kini tengah hangat menjadi perbincangan publik. Tak hanya pasal KDRT, nama publik figur sekaligus pendakwah Oki Setiana Dewi (OSD) ramai disebut-sebut akhir-akhir ini. Pada video ceramahnya yang beredar di masyarakat, OSD menceritakan satu kisah nyata yang terjadi di Jaddah tentang pertengkaran suami istri yang akhirnya membuat si suami sangat marah dan memukul wajah istrinya. Istri tersebut memilih untuk tidak menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada orangtuanya.

OSD lantas menjelaskan pandangannya seolah memuji sikap si istri dalam cerita itu karena memilih untuk menjaga aib rumah tangganya. Ia juga mengatakan dalam ceramahnya tersebut bahwa seorang istri tidak perlu menceritakan perilaku buruk pasangan ke orang lain termasuk jangan menjelek-jelekkannya.

Ceramah OSD tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat. Sejumlah pihak menuduh OSD menormalisasikan atau membolehkan tindak KDRT. OSD lantas angkat bicara dan memberi komentar melalui akun instagramnya sebagaimana dilansir Kompas.com (4/2). OSD mengatakan bahwa video ceramahnya yang tersebar merupakan video potongan. Ia juga menegaskan bahwa dirinya sangat mengharamkan dan menolak KDRT.

Salah satu respon kontra datang dari Ketua Tanfidziyah PBNU, Alissa Wahid yang menyayangkan isi ceramah OSD tersebut. Menurutnya, KDRT tidak boleh dianggap sebagai aib yang harus ditutupi melainkan sebuah tindak kekerasan yang harus diselesaikan. Jika korban tidak mampu menyelesaikannya sendirian, maka korban bisa meminta bantuan pihak lain untuk menyelesaikannya. (TribunNews.com, 5/2/2022)

Memang, pembahasan KDRT cukup sensitif diangkat dan dibincangkan di negeri ini. Sebab hingga hari ini, pemerintah dibantu oleh sejumlah LSM pemerhati perempuan meski telah melakukan banyak regulasi namun kasus KDRT yang terjadi di negeri ini belum juga mampu dihentaskan.

Kompas.com merilis data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tercatat dalam kurun waktu 17 tahun yaitu sepanjang tahun 2004-2021 terdapat 544.452 kasus KDRT. Angka tersebut cukup fantastis dan menempatkan perempuan dalam posisi tidak aman sampai detik ini.

KDRT Dalam Tinjauan Hukum Islam

Tidak ada perbedaan di kalangan Ulama atas kebolehan seorang suami memukul istrinya jika terdapat tanda-tanda nusyuz (ketidaktaatan) kepada suami. Misalnya istri tersebut keluar rumah tanpa izin suami, enggan melayani suami tanpa alasan yang dibenarkan syariat (udzur syar’i) seperti haid, atau sakit, atau tidak amanah dalam menjaga harta suami, dan sebagainya.

Di antara Ulama yang membolehkan tersebut adalah Abdurrahman Al Jaziri, Wahbah Zuhaili, Imam Al Kasani, Imam Nawawi, Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Hazim.

Dalil atas kebolehan tersebut adalah firman Allah SWT: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS An-Nisaa’: 34)

Ayat tersebut menunjukkan berhaknya suami untuk mendidik istrinya yang melakukan nusyuz dengan tiga tahapan secara tertib. Pertama, menasehati istri dengan baik dan lembut, agar mau bertaubat dan kembali taat kepada suaminya sebab mentaati suami adalah kewajiban bagi istri (lihat QS AL-Baqarah: 228).

Kedua, suami memisahkan diri dari tempat tidur istrinya, yaitu tidak menggaulinya dan tidak tidur dengannya (pisah ranjang). Dalam tahap ini, suami tetap harus membangun komunikasi dengan istrinya – terus menasehati dan tidak mendiamkannya. Langkah kedua ini ditempuh jika langkah pertama tidak berhasil.

Ketiga, memukul istri. Langkah ini ditempuh jika langkah pertama dan kedua tidak berhasil membuat istri meninggalkan perbuatan nusyuz-nya. Meski Islam membolehkan suami memukul istrinya, bukan berarti suami boleh memukul dengan sesuka hatinya. Islam pun mengatur bagaimana pukulan itu diberikan.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Ijtima’ (sistem pergaulan dalam Islam) menjelaskan bahwa pukulan dalam hal ini wajib berupa pukulan yang ringan atau bukan pukulan yang keras, yaitu pukulan yang tidak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).

Tidak boleh juga pukulan tersebut mengakibatkan luka, tidak boleh sampai mematahkan tulang atau sampai merusak daging tubuh seperti memar atau tersayat. Tidak boleh pula dengan pukulan yang menyakitkan dan harus dilakukan di bagian tubuh yang aman seperti bahu, bukan pada daerah yang membahayakan seperti perut.

Kalau pemukulan itu menggunakan alat, maka tidak boleh dengan alat yang besar seperti cambuk atau tongkat. Yang dibolehkan adalah menggunakan siwak (kayu untuk menyikat gigi) atau semisalnya. Diharamkan juga memukul istri di area wajahnya seperti menampar.

Nabi Saw pernah ditanya oleh seorang laki-laki, ‘Apakah hak seorang istri atas suaminya?’ Nabi Saw menjawab: “kamu beri dia makan jika kamu makan, kamu beri dia pakaian jika kamu berpakaian, jangan kamu pukul wajahnya, jangan kamu menjelek-jelekkan dia, jangan kamu menjauhkan diri darinya kecuali masih di dalam rumah.” (HR. Ahmad).

Jika dalam kasus istri mendapat perlakuan zalim dari suaminya yang mengakibatkan hubungan suami istri bermasalah bahkan mengancam keutuhan rumah tangga maka istri berhak memilih, apakah bersabar dan memaafkan suaminya sembari terus menyampaikan nasehat yang baik agar suaminya meninggalkan kezalimannya ataukah menyerahkan masalah ini kepada pihak lain untuk membantu keduanya menyelesaikannya.

Pihak lain tersebut adalah seorang hakam atau juru damai dari keluarga suami dan juga hakam dari keluarga istri. Hakam tersebut adalah orang yang ditetapkan oleh hakim (qadhi) dalam peradilan Islam. Syarat hakam tersebut adalah laki-laki, adil, memahami dan mampu menjalankan tugasnya sebagai hakam.

Jika keberadaan hakam tersebut mampu mendamaikan keduanya maka itulah yang diharapkan, namun jika keberadaan hakam belum juga mampu menyelesaikan masalah yang ada, maka hakim berhak mengambil keputusan untuk memisahkan keduanya (menceraikan).

Bisa disimpulkan, perintah Allah Swt di atas yang membolehkan suami memukul istrinya dalam rangka memberi pendidikan atas kesalahannya. Bukan sebagai tindakan KDRT sebagaimana yang dituduhkan kaum liberal selama ini yang mengklaim bahwa Islam membolehkan bahkan memerintahkan KDRT.

Sebab pada kenyataannya, kebolehan memukul tersebut dilakukan karena istri melakukan kesalahan yaitu tidak mentaati suaminya. Selain itu, perintah memukul tersebut bukanlah tahap pertama, melainkan tahap ketiga andai saja tahap lainnya gagal.

Dengan kata lain, Islam tetap melarang tindakan memukul istri jika dua tahap sebelumnya belum dilakukan. Tentu saja aturan tersebut dibarengi dengan pelaksanaan aturan-aturan Islam lainnya yang mencegah terjadinya tindak KDRT. Seperti perintah Allah bagi para suami untuk menjadi pemimpin (qawwam) atas istrinya.

Dengan posisi itu, suami diwajibkan untuk memberi nafkah atas istrinya, perlindungan, kasih sayang, pendidikan, perhatian, perlakuan baik dan kebahagiaan. Sementara istri diwajibkan untuk mentaati suaminya, melayani, mengurus rumah dan anak, menjaga kehormatan diri dan menjaga amanat suami.

Tak hanya pengaturan atas suami dan istri, Islam juga mengatur agar dalam masyarakat tercipta suasana keimanan dan ketaatan. Pergaulan bebas tidak akan dibiarkan. Lebih utama lagi adalah peran serta pemerintahan Islam dalam melindungi rakyatnya dari berbagai macam pengaruh yang dapat memicu terjadinya keretakan dalam rumah tangga kaum muslimin.

Seperti mengatur pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, meniadakan segala bacaan dan tontonan yang merusak dan memicu perselingkuhan dan perzinahan yang dapat merusak tatanan rumah tangga. Termasuk menjamin terpenuhi kebutuhan rakyat dengan penerapan ekonomi Islam, sebab tak sedikit kasus perceraian dan KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Pemimpin dalam pemerintahan Islam yakni khalifah akan membantu setiap kepala keluarga untuk mendapatkan pekerjaan guna menghidupi keluarganya.

Dalam pelaksanaan pendidikan, seluruh hukum-hukum Islam wajib dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, termasuk pambahasan tentang rumah tangga. Sehingga setiap muslim menikah tak sekedar mau tapi mampu secara ilmu dan siap menanggung tanggung jawab dalam keluarga.

Dengan penerapan hukum-hukum Islam yang sempurna tersebut sangat kecil kemungkinan konflik keluarga akan terjadi, sehingga rumah tangga kaum muslimin akan berjalan bahagia penuh keharmonisan.

Berbeda dengan yang dilakukan oleh kapitalisme, melalui ide kesetaraan gender yang selama ini diemban oleh kaum feminis kehancuran rumah tangga terjadi. Para istri tak lagi mau taat pada suami, bahkan banyak istri yang membangkang akibat paham gender yang menganggap bahwa laki-laki dan perempuan posisinya sama, sehingga suami tidak boleh memerintah dan mengatur istri.

Kaum feminis juga mengemban ide kebebasan, di mana istri berhak atas dirinya dan boleh menolak segala bentuk intimidasi atas tubuh. Dengan kata lain, bagi feminis, istri boleh menolak jika suami meminta dilayani termasuk berhak menolak jika tidak ingin hamil dan menyusui. Ide sesat tersebutlah yang justru menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Istri berani membangkang dan hal itu dapat memicu amarah suami hingga melakukan tindakan fisik.

Di sisi pemerintah sendiri, gagal dalam menciptakan kondisi masyarakat yang ideal. Bahkan melalui paham kebebasan yang dijunjung tinggi dalam demokrasi, masyarakat kian tergerus. Rangsangan syahwat di mana-mana, dibiarkan tanpa aturan. Alhasil perilaku menyimpang seperti perselingkuhan dan zina marak terjadi. Keutuhan rumah tangga pun terkorbankan.

Belum lagi akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang mengakibatkan kemiskinan meningkat karena distribusi kekayaan yang tidak merata. Biaya hidup yang kian mahal tidak sejalan dengan penghasilan rakyat yang sedikit. Belum lagi persoalan kelangkaan lapangan pekerjaan kian menambah deretan krisis ekonomi keluarga. Fakta menunjukkan, latar belakang dari perceraian dan KDRT adalah persoalan ekonomi.

Karenanya, tuduhan bahwa Islam membenarkan tindak KDRT jelas tidak beralasan. Fitnah keji tersebut berasal dari musuh-musuh Islam yang ingin mendistorsi ajaran Islam dengan tujuan agar umat Islam meragukan bahkan meninggalkan agamanya.

Sejatinya yang membiarkan tindak KDRT terjadi bukanlah Islam, melainkan ideologi kapitalisme dengan paham liberal atau kebebasannya. Agar keluarga-keluarga muslim hancur hingga tak tersisa lagi benteng yang akan melindungi generasi dari kehancuran.

Olehnya itu, umat Islam tidak boleh mengambil sikap defensive apologetic atau merasa diri salah dan menerima ditempatkan pada posisi tertuduh. Tetapi yang umat harus dilakukan umat Islam  adalah menunjukkan seluruh pemikiran-pemikiran rusak seperti liberalisme, sekularisme dan kapitalisme serta melawan segala tuduhan yang dialamatkan kepada Islam dengan menjelaskan ajaran Islam secara benar dan terperinci.

Dengan begitu, umat akan memahami Islam secara utuh dan tidak muda diracuni oleh pemikiran bathil di luar Islam dan tidak gampang diadu domba dengan sesama umat Islam. Sekaligus memahami bahwa tidak ada model aturan yang mampu menyelesaikan segala persoalan yang terjadi kecuali aturan Islam.[]

Comment