Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi, Tim KCII
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hingga detik ini polemik hukuman mati bagi terdakwa kasus pelecehan seksual yang dilakukan HW masih terus bergulir. Asep N, Mulyana selaku Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat mengungkap bahwa tuntutan hukuman mati yang dialamatkan kepada HW selaku pemilik dan pengasuh Madani Boarding School yang telah melakukan perbuatan keji memperkosa 13 santriwati sebagai komitmen untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Selain itu jaksa juga menambahkan sanksi berupa denda Rp 500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp 331 juta (Tirto.id).
Hal senada diungkap oleh Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto yang mendukung sikap jaksa menuntut berat HW. Ia berharap hakim mengabulkan tuntutan jaksa agar memberikan efek jera terhadap pelaku.
Sementara barisan pihak yang kontra terhadap tuntutan hukuman mati datang dari Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi yang berpandangan bahwa hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual.
Hukuman mati juga dinilai tidak tepat oleh Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. Menurutnya hukuman mati tidak selaras dengan pasal 67 KUHP yang berbunyi: Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Pernyataan menarik dari Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid turut mewarnai polemik hukuman mati yang berkepanjangan. Ia mengkritisi pernyataan Ketua Komnas HAM yang tidak setuju pemberlakuan hukuman mati terhadap HW.
Kritikan ini mengkomparasikan pernyataan Komnas HAM dan pihak-pihak yang ngotot agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, tetapi menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Pembahasan hukuman mati kemudian juga dikaitkan dengan kejahatan tingkat berat lainnya selain kekerasan seksual yakni kasus korupsi. Direktur Indonesia Judicial Research Sosiety (IJRS), Dio Ashar Wicaksana, menilai secara prinsip dan yuridis positivis, tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus ASABRI, Heru Hidayat oleh JPU tidak memberikan efek jera (Jawapost.com).
Kemunculan berbagai polemik ini menandakan bahwa kasus tingkat berat baik berupa kekerasan seksual maupun korupsi belum mendapatkan hukuman yang mampu membuat jera pelaku, terlebih tren kasusnya senantiasa naik dari tahun ke tahun.
Kementrian PPPA menyebut berdasarkan pengumpulan data didapat kasus yang cukup mencengangkan. Pada tahun 2019 kekerasan anak mencapai 11.057 kasus, 11.279 di tahun 2020 dan 12.566 hingga November 2021.
Lembaga Swadaya Masyarakat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester 1 2021. Kasus korupsi selama enam bulan awal tahun 2021 mencapai 209 kasus. Jumlah itu naik dibanding periode sebelumnya, 169 kasu (Tempo.co).
Data ini cukup menjadi bukti betapa cacatnya sistem demokrasi-sekuler yang diterapkan hari ini. Sistem ini telah secara nyata membuang agama dari kehidupan. Aturan yang lahir dari cara pandang manusia ini tentu sangat subjektif, berbeda-beda dan sangat mungkin menimbulkan pro kontra dan perselisihan.
Solusi yang ditawarkan pun bergantung pada sanksi atau hukuman semata. Sementara di sisi lain sistem demokrasi-sekuler tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung agar kejahatan seksual tidak merajalela. Semestinya negara memiliki dua langkah sinergis, baik preventif (pencegahan) maupun kuratif.
Sistem yang ada hari ini belum mampu menghadirkan kehidupan yang nyaman dan sejuk. Upaya preventif absen dilakukan. Justru yang ada kita disuguhi tontonan yang tidak mendidik.
Masyarakat dihantui kecemasan dan ketakutan akan berbagai ancaman tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Belum lagi ketika berbicara korupsi, harta negara dirampok secara paksa oleh para koruptor, rakyat gigit jari dan kembali menjadi korban lagi.
Pertanyaannya, akankah sistem seperti ini akan terus dipertahankan? Tentu jawabannya adalah tidak. Karena kita butuh sistem kehidupan yang adil dan menjamin kehidupan yang mampu mengayomi seluruh masyarakat dari berbagai marabahaya.
Sistem itu tiada lain adalah sistem yang lahir dari pemilik alam jagad raya yang menggenggam seluruh jiwa mahklukNya, yang berkuasa menghidupkan dan mematikan. Serta Dzat yang memiliki kesempurnaan tanpa kecacatan. Sistem itu adalah sistem Islam yang mengintegrasikan seluruh sistem kehidupan dalam satu kepemimpinan Islam. Wallahu’alam bi ash-showab.[]
Comment