Oleh: Bunda Nurul Husna, Aktifis Muslimah Jawa Barat, Peminat Persoalan Perempuan, Keluarga dan Generasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sungguh tak bermoral. Mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang oknum pengajar terhadap sejumlah santrinya. Sebagaimana yang dilansir oleh portal berita radar cirebon bahwa pencabulan tersebut telah dilakukan oleh pimpinan sekaligus pengajar sebuah pondok pesantren di Kabupaten Kuningan terhadap 8 orang santri yang berusia antara 13 sampai 15 tahun.
Fakta ini telah menambah panjang deretan kasus pencabulan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkup pendidikan dan pesantren.
Menjelang akhir tahun 2021 lalu saja, terungkap adanya kasus kejahatan seksual di institusi pendidikan keagamaan, baik di Bandung, Tasikmalaya dan Cilacap dan kini terjadi juga di Kuningan.
Sungguh miris, institusi keagamaan seperti pondok pesantren semestinya menjadi tempat melahirkan para ulama pewaris para nabi yang akan melanjutkan tugas penyebaran Islam serta mengedukasi demi pencerdasan umat dan bangsa ini.
Para pengajarnya pun idealnya menjadi panutan serta sumber ilmu bagi santri. Menjadi teladan dalam berbagai kebaikan dan contoh terbaik dalam ketinggian akhlak.
Namun berbagai kasus kejahatan seksual yang terjadi di beberapa pesantren sungguh telah mencoreng nama baik pesantren. Menodai kebesaran serta fungsi agung pesantren sebagai institusi pencetak ulama faqih fiddin, pewaris para nabi sebagai penyebar Islam rahmatan lil alamin.
Mesk masih banyak pesantren yang lurus dan bisa diandalkan, tetap saja kejadian tersebut membuat hati pilu dan menorehkan tanya di benak, apa yang sesungguhnya tengah terjadi? Mengapa kasus kejahatan seksual tersebut terus berulang di negeri ini? Mengapa kemaksyiatan tersebut justru terjadi di institusi keagamaan yang identik dengan suasana religius?
Kehidupan Liberal Sumber Kejahatan dan Kemaksiatan
Harus kita akui bahwa kehidupan negeri ini makin bebas (liberal), akibat pola hidup sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi warna dominan di masyarakat. Agama dipinggirkan. Tidak mendapat tempat untuk mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Mirisnya, proses sekulerisasi ini pun tampak mulai menyasar institusi pendidikan keagamaan dan dunia pesantren. Mulai dari perubahan kurikulum yang makin sekuler, arahan dunia pesantren untuk membangun kemandiriannya secara ekonomi, hingga upaya intervensi lebih jauh terhadap pesantren melalui peraturan perundang-undangan.
Jika hal ini dibiarkan, akan dapat melemahkan fungsi utama pesantren sebagai wadah pencetak calon ulama hanif yang akan melanjutkan penyebaran risalah Islam rahmatan lil alamin.
Dengan kata lain, sistem sekuler yang melahirkan perilaku liberal inilah yang terus menggerus iman seseorang. Akibatnya bisa kehilangan rasa takut untuk berbuat jahat dan bermaksiat. Sebagaimana pengakuan sang pelaku pencabulan santri tersebut, bahwa sesungguhnya ia menyadari perbuatannya salah tapi ia mengaku khilaf dan punya ketertarikan pada sesama jenis, meski ia sudah berkeluarga. Artinya pengaruh gaya hidup sekuler telah sedemikian jauh mempengaruhi masyarakat.
Ditambah lagi lemahnya pengaturan dan kendali dari penguasa terhadap media. Sehingga masyarakat sangat mudah mengakses berbagai konten pornografi yang dapat membangkitkan nafsu syahwat secara bebas. Ini tentu sangat berbahaya bagi kesucian kehidupan sosial masyarakat.
Berbagai kampanye yang seruannya menolak kekerasan dan kejahatan seksual, termasuk pada anak, sebenarnya telah dilakukan sejak lama. Demikian juga regulasi terkait perlindungan anak telah dibuatkan undang-undangnya. Sebut saja Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak pada 2014, Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) pada 2016, serta UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bahkan telah direvisi dua kali.
Namun itu semua ternyata tidak mampu menghentikan berulangnya kasus-kasus kejahatan seksual, termasuk yang terjadi di institusi pendidikan keagamaan.
Kondisi ini pun menjadi indikasi bahwa ada yang salah dalam pola interaksi di masyarakat, juga pola interaksi antara guru dan santrinya. Seandainya mereka menerapkan aturan syariat Islam dalam berinteraksi, niscaya kebersihan dan kesucian masyarakat akan terjaga. Masyarakat pun terhindar dari berbagai kajahatan seksual dan kemaksiatan lainnya.
Hanya Islam Yang Mampu Melindungi Generasi
Sebagai sebuah pandangan hidup, Islam memiliki serangkaian hukum syariat lengkap yang lahir dari akidah Islam. Aturan-aturan Islam tersebut sebagai solusi terhadap seluruh persoalan manusia di berbagai bidang, termasuk persoalan maraknya kejahatan seksual di institusi pendidikan keagamaan.
Islam menjadikan keimanan yang kokoh pada individu sebagai self control dan menjadikan individu tersebut merasa diawasi oleh Allah swt, sehingga melahirkan rasa takut bermaksyiat. Keluarga pun menjadi kontrol yang saling menguatkan kesabaran dalam ketaatan pada semua anggota keluarga dengan membudayakan amar makruf nahi munkar.
Sementara di lingkungan masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan, dibangun pola interaksi sesuai aturan syariat Islam. Masyarakat dipahamkan bagaimana pola interaksi dan adab-adab bergaul sesama jenis, dengan lawan jenis, dengan mahram atau yang bukan mahram, dengan yang lebih muda, yang lebih tua, kepada orang tua, guru, kerabat, tetangga dan sebagainya.
Negara pun benar-benar mengawasi dan mengendalikan media. Negara terus memberikan arahan dan pemahaman pada rakyatnya tentang cara dan adab bermedia. Negara memastikan konten media tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Negara pun tidak segan menjatuhkan sanksi bagi para pelaku kemaksyiatan sesuai tuntunan syariat. Negara pun memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok individu rakyatnya (sandang, pangan dan papan) serta kebutuhan pokok rakyat secara kolektif (kesehatan, pendidikan dan keamanan), sehingga rakyat tidak mudah terdorong melakukan maksyiat karena alasan tekanan hidup atau iming-iming materi.
Semua ini hanya bisa terwujud dalam masyarakat Islami dengan menerapkan Islam secara komprehensif (Kaffah) dan negara selalu hadir menjadi perisai (junnah) bagi keamanan seluruh rakyatnya, termasuk perlindungan keamanan bagi anak dan generasi umat.[]
Comment