Aisyah, S. H*: Polemik Poligami, Bersikap Bijaklah, Mak !

Berita447 Views
Aisyah, S. H

RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Pasca Peluncuran wacana  qanun poligami Aceh, pro kontra di tengah masyarakat menimbulkan kegaduhan yang semakin ramai dan meluas.  Yang berkomentar bukan hanya Mak Emak yang langsung panas mledug ketika wacana ini digulirkan. Seperti biasa, lembaga-lembaga semacam Komnas-komnas dan pemerhati perempuan langsung bereaksi keras. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak perlu mengeluarkan peraturan daerah (qanun) yang membahas soal poligami. Wacana qanun poligami Aceh itu dinilai sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (cnnindonesia.com).

Pemerintah Indonesia, pemerintah Aceh dan DPR Aceh didesak untuk meninjau ulang Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh, karena sebagian isi dan implementasinya dianggap bertentangan dengan Konstitusi dan merugikan kaum perempuan. Sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menyatakan hal itu di Jakarta, Minggu (22/10). “Pengaturan yang termuat dalam Qanun Jinayat justru bertentangan dengan Konstitusi dan sejumlah UU, baik substansi maupun dalam proses pembentukannya,” demikian isi pernyataan sejumlah LSM yang dibagikan kepada wartawan, Minggu (22/10) siang di Kantor YLBI, Jakarta. Mereka juga menganggap pengaturan di dalam Perda Syariat Islam di Aceh itu berpotensi pada menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan (bbc.com).

Diskriminasi adalah lagu lama yang akan selalu diputar kembali ketika wacana dengan aroma syariah diajukan. Masyarakat di gempur dengan opini-opini yang bersandar pada logika berpikir kekinian yang berkiblat pada pemikiran Barat untuk menakar sejauh mana konsep Islam bisa dan boleh diaplikasikan. Nah, Mak Emak pun latah mengadopsi buah pikir tersebut dan merepeat kembali dalam berbagai status dan cuitannya di media sosial. Setiap kali wacana poligami bergema, ramailah Mak Emak berkongsi obrolan dengan emosi meletup-letup. Ujung-ujungnya Islam menjadi tertuduh, diskrimininatif, tidak adil dan merendahkan perempuan.

Nanti dulu Mak, Poligami bukan identik dengan Islam. Faktanya poligami telah dipraktikkan jauh sebelum Rasulullah memperoleh wahyu turunnya surat An-Nisa ayat 3 yang membolehkan poligami. Poligami adalah life style semua peradaban di penjuru dunia. Poligami dijalankan dan dijadikan bagian integral dari bentuk kehidupan yang wajar. Poligami bahkan pernah dijalankan dalam bentuk yang sangat mengerikan, dimana seorang lelaki  bisa saja memiliki bukan hanya 4 isteri tapi ratusan isteri.

Dalam kitab  Yahudi perjanjian lama, Daud disebutkan memiliki 300 orang isteri, baik yang menjadi isteri resminya maupun selirnya. (Silahkan baca buku Ruang lingkup Aktivitas Wanita Muslimah, hal. 184 oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi). Dalam Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq dengan mengutip kitab Hak-hak Wanita Dalam Islam karya Ustaz Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan bahwa bila kita runut dalam sejarah, sebenarnya poligami merupakan gaya hidup yang diakui dan berjalan dengan lancar di pusat-pusat peradaban manusia.

Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban manusia (terutama yang maju dan berusia panjang), telah mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa hanya peradaban yang tidak terlalu maju saja dan tidak berusia panjang yang tidak mengenal poligami. Bahkan agama Nasrani sekalipun mengenal dan mengajarkan poligami. Berbeda dengan apa yang sering diungkapkan hari ini, namun Nabi Isa dan para pengikutnya mengajarkan dan mengakui poligami. Kalau pun para pengikut kristiani sekarang ini seolah-olah anti dengan poligami, menurut ahli sejarah, karena saat itu penyebaran Nasrani terjadi di Romawi dan Yunani, sementara kedua peradaban ini memang tidak mengenal poligami, jadilah akhirnya seolah-olah agama Nasrani itu melarang poligami. Sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan sumber asli ajaran mereka sendiri.

Ustaz As-Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa peradaban maju seperti Ibrani yang melahirkan bangsa Yahudi mengenal poligami. Begitu juga dengan peradaban Shaqalibah yang melahirkan bangsa Rusia. Termasuk juga negeri Lituania, Ustunia, Chekoslowakia dan Yugoslavia, semuanya sangat mengenal poligami. Masih ditambah lagi dengan bangsa Jerman, Swis, Saksonia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan tidak terkecuali, Inggris. Jadi pendapat bahwa poligami itu hanya produk hukum Islam adalah tidak benar. Sebab bangsa Arab sebelum masa kedatangan Islam pun mengenal poligami. Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa ada seorang masuk Islam dan masih memiliki 10 orang isteri. Lalu oleh Rasulullah SAW diminta untuk memilih empat saja dan selebihnya diceraikan.

Poligami itu bukan hanya milik peradaban masa lalu dunia, tetapi hari ini masih tetap diakui oleh negeri dengan sistem hukum yang bukan Islam seperti Afrika, India, China dan Jepang. Sehingga jelaslah bahwa poligami adalah produk umat manusia, produk kemanusiaan dan produk peradaban besar dunia. Islam hanyalah salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan batasan dan arahan yang sesuai dengan jiwa manusia. Islam datang dalam kondisi di mana masyarakat dunia telah mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah diakui dalam sistem hukum umat manusia. Justru Islam memberikan aturan agar poligami itu tetap selaras dengan rasa keadilan dan keharmonisan.

Penyebab timbulnya image negatif terhadap praktek poligami yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya adalah kaum Muslimin yang tidak komitmen dengan petunjuk agama dalam menjalankan tanggung jawab. Penolakan para muslimah di sebagian masyarakat Muslim lebih disebabkan karena kaum laki-laki Muslim sendiri jatuh dan tidak bisa memenuhi fungsi keagamaan dan kehilangan karakter kelaki-lakian dan patriarkinya. Ini semua tidak terlepas dari penjajahan pemikiran yang demikian parah melanda kaum muslimin karena mengambil tolak ukur Barat termasuk dalam menjalankan aqidahnya.

Kenyataan bahwa tak ada satu pun ulama tafsir Al-Qur’an yang dikenal nama baiknya sepanjang sejarah Islam pernah menafsirkan ayat poligami dengan negatif, hingga dunia Islam jatuh ke dalam kekuasaan imperialis Eropa. Tidak ada pernyataan dalam kepustakaan Al-Qur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa poligami dikutuk sebagai suatu kejahatan. Sebagai muslim kita harus mampu mengkritisi mengapa paradigma berpikir kaum muslim dipaksakan untuk diselaraskan dengan pemikiran barat. Karena hanya dengan cara seperti itulah mereka dapat terus melanjutkan hegemoninya atas kaum muslimin.

Demikian pula dalam mendudukkan interaksi suami isteri dalam memandang poligami. Dalam peradaban modern, seorang perempuan hanya dihargai sebatas kemampuan mereka berhasil menjalankan fungsi laki-laki, dan pada saat yang sama memperlihatkan kecantikan dan keanggunannya secara maksimal kepada publik. Walhasil, peran kedua jenis dalam masyarakat modern sangat membingungkan. Jika laki-laki dibolehkan poligami maka dalam standar mereka, demi keadilan dan kesetaraan seharusnya perempuanpun diberikan kebebasan berpoliandri.

Poligami adalah sebuah kemubahan dalam Islam, bukan kewajiban dan bukan pula keharaman. Ia dibolehkan oleh syariat seluruh nabi. Sebagian besar para nabi beristri lebih dari satu. Sebelum ayat ini diturunkan kepada Nabi saw., beliau telah beristri tiga (Saudah, Aisyah dan Ummu Salamah ra). Sebagian besar sahabat juga berpoligami. Ayat poligami tersebut di atas diturunkan ketika banyak wanita Madinah ditinggal mati suami mereka yang gugur di medan perang Uhud dan banyak pula anak-anak yang sudah tidak berbapak lagi. Dihadapkan pada masalah ini, kaum muslimin diarahkan untuk memecahkannya dengan memanfaatkan lembaga yang telah ada dan lazim, yakni dengan mengawini dua, tiga atau empat wanita di antara janda-janda tersebut. Sebagai akibatnya, janda-janda dan anak-anak yatim tidak terlantar, melainkan terserap ke dalam berbagai keluarga.

Dalam hal Indonesia dianggap menerapkan sistem monogami dalam pernikahan tidak terlepas dari konspirasi Snouck Hurgronje dalam menjebak kaum muslimin sebagai lanjutan dari kristenisasi dan modernisasi (pembaratan) muslim nusantara. Asas monogami sebagai kepanjangan tangan kolonial (penjajah) tidak hanya berhenti pada kesamaan ide Christiaan Snouck Hurgronje maupun cita-cita dalam ordonansi (Undang-undang) pernikahan pada 1937. Ada hal-hal yang lebih penting ikut mendasari asas monogami ini. Diantaranya adalah untuk mengebiri khazanah Islam demi mencapai cita-cita kolonialisme; mencitra burukkan poligami sebagai kebudayaan yang terbelakang dan jauh dari modernisasi; menggambarkan monogami sebagai pernikahan yang wajar, sebab bertujuan menghilangkan kesewenang-wenangan antara suami dan istri akibat posisinya yang tidak setara; selain hal itu, catatan sejarah menuliskan bahwa upaya monogamisasi di Nusantara merupakan upaya kristenisasi secara renik, sebab penjajah memahami bahwa mereka tak bisa menjadikan seluruh umat muslim berpindah agama kepada kristen, maka strategi yang mereka gencarkan adalah menjadikan muslim menginterpretasikan ajaran kristen yang termasuk dalam misi-misi kolonial walaupun secara nonformal.

Jelas poligami adalah sebuah pilihan yang menjadi solusi bagi masalah sosial kemasyarakatan. Kembali kepada suara-suara intelektual liberal yang menolak poligami sebagai bagian dari syariah yang harus diterima dengan ketaatan dan keridhaan. Kita menyaksikan bahwa disatu sisi mereka menolak poligami dengan sejumlah tudingan namun di sisi yang lain ternyata mereka justru mendukung pergaulan bebas. Mereka buta dari fakta bahwa peradaban Barat yang mereka puja justru adalah pendukung poligami yang tidak manusiawi. Moralitas mereka menolak poligami namun membolehkan perzinahan dan LGBT. Bahkan pergaulan bebas dianggap sebagai sebuah kewajaran sebagai bagian dari dinamika kehidupan modern. Pergaulan bebas yang mereka praktikkan terjadi dimana saja, kapan saja,  dan dengan siapa aja tanpa batas bisa dengan puluhan bahkan ratusan orang yang berlainan. Dan semua terjadi begitu saja tanpa pertanggung-jawaban, tanpa ikatan, tanpa konsekwensi dan tanpa pengakuan.

Poligami tidak formal alias seks di luar nikah itu alih-alih dilarang, malah sebaliknya dilindungi dan dihormati sebagai hak asasi. Anehnya, banyak negara yang mengharamkan poligami formal yang mengikat dan menuntut tanggung jawab, sebaliknya seks bebas yang tidak lain merupakan bentuk poligami yang tidak bertanggung jawab malah dibebaskan, dilindungi dan dihormati. Praktik semacam ini justru menelanjangi dampak fatal yang akan terjadi tatkala asas poligami ditolak dan diabaikan dalam ordonansi negara. Pergaulan bebas dan kekacauan nasab seperti apa yang akan menjangkiti humanitas sosial Indonesia? Maka jelaslah, siapapun yang menghendaki penyingkiran poligami dalam tata sosial kemasyarakatan akan menghadapi kerusakan sistem pergaulan yang amat berbahaya.[]

*penulis adalah PNS  di Aceh

Comment