Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bukan yang pertama, tetapi hati saya tak pernah rela. Harus menyaksikan kerusakan generasi berulang kali. Novia Widyasari adalah bukti betapa kejamnya kehidupan tanpa Islam. Seorang mahasiswi dari kampus bergengsi harus meregang nyawa akibat putus cinta.
Setelah menjalin pacaran dengan kekasihnya, ia melakukan hubungan terlarang hingga membuatnya hamil di luar nikah. Tragisnya sang pacar lempar batu sembunyi tangan. Menjadi lelaki pecundang yang tak berani bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan.
Jika ditilik dari latar belakang pendidikan mereka berdua tidak main-main. Novia memilih Universitas Brawijaya untuk jadi tempat menimba ilmu. Siapa yang tidak kenal Universitas Brawijaya (UB) Malang? Kampus yang telah banyak melahirkan generasi pemimpin masa depan.
Sementara pacarnya adalah seorang oknum polisi yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom rakyat, akan tapi justru berlaku bejat.
Berawal dari kenalan, tukar nomor handphone, lanjut jalan, nonton bareng akhirnya pacaran. Atas nama kebebasan dan saling cinta mereka berani menabrak norma agama dengan seks bebas, aborsi dan bunuh diri.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga, kasus yang menimpa Novia Widyasari termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence. Novia terpaksa menenggak racun karena sang kekasih Bripda Randy Bagus memaksanya melakukan aborsi. Dan setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM (detikNews.com).
Tekanan akibat cinta terlarang ini menururt Bintang berakibat fatal. Kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan hak secara sewenang-wenang kepada seseorang.
Kasus yang viral di media sosial dan menghebohkan ini cukup menarik perhatian masyarakat hingga pejabat tinggi. Banyak yang mengecam dan meminta kasus ini diusut tuntas dan pelaku diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hanya saja kasus semacam ini rasanya tidak cukup dengan pengawalan dan penangkapan pacar korban semata. Semestinya jika ingin kasus serupa tidak terulang kembali, maka haruslah terdapat sinergi antara upaya preventif dan kuratif. Selama ini kita hanya berfokus pada penanganan korban dan menyiapkan hukuman setelah kejadian.
Pertanyaannya, bagaimana agar kejadian amoral itu tidak sampai terjadi? Di sinilah kita bicara upaya preventif atau pencegahan. Semisal menutup seluruh pintu dan celah yang merangsang kebebasan sehingga mampu menghilangkan segala akses yang berpotensi ke arah seks bebas.
Agar solusinya nyata, pertama kita wajib mencari apa penyebab maraknya pergaulan bebas ini. Tentu kita sepakat bahwa pergaulan bebas ini semakin menggelinding bagai bola salju karena asas kehidupan yang sangat sekuler dan liberal telah begitu kental dalam tata cara pergaulan.
Nah ketika sudah menemukan akar persoalan, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan solusinya. Cabut asas kehidupan sekuler liberal dan ganti dengan Islam.
Dari kasus ini, maka dapat diambil plajaran untuk mempertimbangkan kembali permendikbud No 30 untuk dianulir. Jangan sampai kasus ini justru memberpesar dukungan terhadap Permendikbud Ristek PPKS yang bernafas sangat liberal dengan frase “persetujuan korban”.
Selain upaya preventif, Islam juga menyiapkan upaya kuratif. Jika sudah dijaga sedemikian rupa melalui mekanisme preventif tetapi pelaku masih saja nekat, maka tidak ada pilihan lain kecuali Islam akan menurunkan hukuman yang membuatnya jera. Jika masih single maka dicambuk 100 kali, sebaliknya jika sudah menikah dirajam hingga mati.
Rasul SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan Muslim, “Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya rajam.”
Sebagai seorang Muslim sudah barang tentu kembali kepada Islam adalah sebuah kewajiban. Kita harus berpegang pada sebuah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terlahir dari syariat Islam itu pasti baik. Allah tidak akan menyengsarakan manusia. Implementasi hukum Allah pasti mendatangkan rasa aman, nyaman, adil dan sejshtera.
Dalam konteks kekerasan seksual, sistem pergaulan Islam menjadi sebuah keniscayaan. Terlebih Islam telah memberikan teladan kesuksesan kepemimpinan.
Dunia Barat dan Eropa terkagum-kagum dan mengakui keberhasilan Islam memimpin hingga mencapai 2/3 dunia dengan kemuliaan. Wallahu’alam bi ash-showab.[]
Comment