Oleh : Dian Sefianingrum, Mahasiswi
__________
RADARNESIANEWS.COM, JAKARTA –Permendikbud No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi kini menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. (Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam, mengatakan tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan. Peraturan ini muncul atas keresahan mahasiswa hingga dosen terkait kekerasan seksual yang kasusnya semakin meningkat di perguruan tinggi.
Sebelumnya, Peraturan Mendikbudristek 30/2021 tentang PPKS ini mendapatkan sorotan dari Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lincolin Arsyad menafsirkan salah satu pasal yang dinilai telah melegalkan perzinahan atau seks bebas di lingkungan kampus.
Namun, hal ini dibantah oleh pelakasana tugas (Plt) Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam yang menyatakan bahwa fokus Permen PPKS ini adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual, sehingga definisi dan peraturan tersebut dikhususkan untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual. (Antaranews.com, 08/10/2021)
Disamping itu juga membantu pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil tindakan lebih lanjut dan mencegah kembalinya kekerasan sesksual secara berulang yang menimpa sivitas akademika.
Islam Menjaga Kehormatan Kampus
Makna kekerasan seksual sebagai tindakan tanpa persetujuan korban dalam Permen PPKS tersebut terlanjur menuai beragam kontra. Tidak sedikit dari guru besar di sejumlah perguruan tinggi dan di kalangan anggota dewan termasuk ormas Islam mendatangkan kritik.
Permen ini menimbulkan kontroversi dan bermuatan liberal apabila sejumlah pasalnya tidak mengalami revisi atau pencabutan dapat membahayakan masa depan generasi muda. Kata consent, kesepakatan, persetujuan yang ada di pasal-pasalnya menunjukkan bahwa pasal, nalar dan framework-nya bernilai liberal.
Seharusnya, kampus menjadi tempat lahirnya manusia pembuat perbaikan bukan justru difasilitasi dengan kebijakan yang menyempurnakan liberalisasi seksual yang sudah mengepung pemuda dari berbagai arah.
Namun, inilah realitas negara yang menerapkan sistem sekuler-kapitalis. Sekulerisme akan membuat aturan agama dijauhkan dari aturan kehidupan termasuk dalam perguruan tinggi. Oleh karena itu, meski terdapat aturan yang dibuat mencegah kekerasan seksual di kampus aturan ini dibuat karena dipandang merugikan secara materi bukan karena dipandang kekerasan seksual diharamkan dalam agama Islam.
Sekulerisme justru memastikan terealisasinya perilaku liberal di tengah-tengan masyarakat. Berbeda dengan Islam yang melawan segala bentuk kejahatan seksual. Harus dipahami bahwa kejahatan seksual bisa berbentuk memiliki perzinaan, L6BT, prostitusi, pencabulan dan perkosaan promiskuitas atau hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan baik dilakukan atas keinginan sendiri maupun dipaksa. Dalam pandangan Islam semua perbuatan ini termasuk jarimah .
Jarimah secara bahasa artinya perbuatan dosa, perbuatan salah, atau kejahatan. Menurut istilah para ulama fikih, yang dinamakan jarimah adalah larangan-larangan syariat yaitu melakukan yang dilarang atau meninggalkan hal yang diwajibkan yang diancam dengan hukuman had (hudud) takzir.
Islam memiliki mekanisme yang mencegah hingga memberikan solusi kasus kejahatan seksual, antara lain sebagai berikut :
1. Menerapkan sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat.
Islam memerintahkan untuk menutup aurat atau segala sesuatu yang merangsang sensualitas karena umumnya kejahatan seksual itu dipicu rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi naluri seksual atau garizah nawu. Islam pun membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan kecuali aktifitas yang membutuhkan interaksi tersebut seperti, pendidikan di sekolah, ekonomi yakni perdagangan pasar, dan kesehatan seperti di klinik, rumah sakit, dan lain-lain.
2. Adanya sistem kontrol sosial berupa perintah amar makruf nahi mungkar.
Saling menasihati dalam kebaikan dan ketaqwaan dapat mencegah segala bentuk kemaksiatan dilakukan dengan cara yang baik.
3. Adanya sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual.
Contohnya : pelaku tindak perkosaan berupa had zina yaitu dirajam atau dilempari batu hingga mati jika pelakunya sudah menikah dan dijilid atau dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya belum menikah.
Rasulullah Saw. bersabda : “Dengarkanlah aku, Allah telah menetapkan hokum bagi mereka itu, perawan dan perjaka yang berzina maka dikenakan hokum cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan pria yang sudah tidak perjaka dan perempuan yang sudah tidak perawan (yang keduanya pernah bersetubuh dalam status kawin), maka akan dijatuhi hukuman cambuk dan dirajam.” (HR Muslim)
Demikian pula bagi pelaku pelecehan seksual dalam bentuk melucuti pakaian perempuan sehingga nampak auratnya, mencium perempuan yang bukan mahramnya, dan sebagainya dihukumi sebagai perbuatan jarimah (kriminal).
Sanksinya berupa takzir yang akan ditetapkan oleh qadhi. Semua bentuk sanksi Islam ditegakkan sebagai penebus dosa pelaku kemaksiatan di akhirat (jawabir) dan sebagai pencegah untuk orang lain melakukan pelanggaran serupa agar jera (zawajir). Semua ini adalah bentuk penjagaan Islam yang paripurna terhadap generasi masyarakat.
Ketiga mekanisme ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh yaitu Khilafah Islamiyah bukan institusi sekuler-liberal yang malah melanggengkan kemaksiatan.
Comment