Kapitalisasi Rekonstruksi Penyebab Infrastruktur Mangkrak

Opini801 Views

 

 

Oleh:  Bazlina Adani, Mahasiswi UMN AW Medan

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Jalan raya sebagai infrastruktur pembangunan merupakan salah satu kebutuhan publik sebagai rute alternatif yang mendorong berjalannya aktivitas masyarakat. Ruas jalan raya yang baik dan berkualitas akan berpengaruh terhadap kelancaran mobilitas masyarakat. Begitupun sebaliknya, kondisi jalan yang rusak akan mengakibatkan kerugian bahkan bisa sampai merenggut korban jiwa.

Dilansir sumut.inews.id (28/10/2021), Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menyebut sekira 60 persen jalan di Sumut dalam kondisi rusak. Kondisi itu terjadi akibat minimnya anggaran pengelolaan jalan yang mereka miliki. Menurut Edy, panjang jalan di Sumut saat ini mencapai 3.050 kilometer. Namun anggaran yang dimiliki untuk mengelola jalan hanya Rp400 miliar setahun.

Pembangunan infrastruktur memang membutuhkan gelontoran dana yang tidak sedikit, sehingga harus mampu mencari terobosan untuk memberikan solusi pada persoalan ini.

Seringkali kita temui, permasalahan anggaran lagi-lagi menjadi salah satu kendala dalam pembangunan infrastruktur.

Hal ini justru tak sepadan dengan kekayaan sumber daya alam di Indonesia yang melimpah ruah, namun kekayaannya tidak bisa dinikmati oleh publik. Karena pada realitanya, dana APBN maupun APBD tak cukup menutupi proyek pembangunan.

Maka tidak heran dengan apa yang terjadi selama ini, pemerintah tidak mampu mengandalkan kas negara sehingga menarik pihak swasta sudah menjadi jalan ninja bagi pemerintah dalam pembangunan proyek infrastruktur.

Ajang bisnis menjadi peluang besar yang sangat menggiurkan di tengah kondisi buruk dan terbatasnya akses jalan umum.

Apalagi dalam sistem kapitalisme-demokrasi, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu roda penggerak ekonomi negara. Bahkan disebutkan, jika kondisi infrastrukturnya memadai, maka akan berpengaruh pada kekuatan level pertumbuhan ekonomi dalam sebuah negara. Kondisi ini semakin nyata terlihat bahwa proyek infrastruktur yang dibangun kerap dijadikan alat komersialisasi.

Ketika pembangunan proyek ini menggaiet badan usaha dan mitra swasta (kapitalis), pada saat yang sama mitra juga akan memanfaatkan keuntungan yang dihasilkan dari proyek tersebut.

Sebagai contoh proyek infrastruktur jalan tol yang berpotensi membuka ladang investasi. Dalam hal ini swasta diberi ruang lebar untuk menanamkan modal dalam proses pembangunan, sehingga ketika proyek siap dioperasikan, swasta turut mendulang keuntungan yang fantastis dari adanya tarif tol yang dipungut.

Terkadang pemerintah pun acapkali terlihat melancarkan rekontruksi proyek infrastruktur pada daerah-daerah tertentu yang dianggap sebagai posisi strategis yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian.

Adapun daerah-daerah yang termasuk 3T (terpencil, tertinggal dan terluar) kurang mendapatkan perhatian. Bahkan ketika disorot menjadi akses jalan yang rusak, pengelolaannya malah terkendala oleh biaya.

Beginilah potret sistem kapitalisme yang gagal menangani pembangunan infrastruktur. Kondisi buruk ini disebabkan karena penerapan asas sekulerisme sebagai landasan dalam bernegara.

Pasalnya sistem ini dalam praktiknya meniscayakan manfaat serta untung-rugi semata. Pemerintah berdiri sebatas regulator yang hanya menyelenggarakan berjalannya pemerintahan dalam melakukan pembangunan. Sehingga pembangunan tidak lagi diperuntukkan bagi kemashlahatan publik tetapi hanya untuk keuntungan pihak swasta sebagai partnership.

Pada saat yang sama, di saat publik memendam keresahan lantaran tak bisa menikmati fasilitas umum yang memadai sebagai kebutuhan, pemerintah justru lepas tangan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat dan sibuk melayani mitranya. Rakyat selama ini tak pernah dijadikan prioritas. Bahkan dampak dari potret buruk ini semakin menguatkan pihak kapitalis terhadap kebutuhan hidup rakyat.

Maka satu-satunya jalan keluar dari kondisi pelik ini adalah dengan kembali ke dalam naungan sistem Islam.

Di dalam Islam, pembangunan infrastruktur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemenuhan hajat hidup rakyat. Sehingga proyek ini akan menjadi pembangunan prioritas jika kondisinya memang sangat diperlukan.

Setiap pembangunan sarana publik seperti jalan raya, jalan tol, dan sarana publik lainnya dilakukan dalam rangka melayani kemashlahatan publik. Negara berkewajiban menyediakan sarana jalan tersebut sesuai kebutuhan riil ditengah-tengah masyarakat dengan kualitas terbaik dan gratis tanpa ada pungutan biaya apapun.

Pembangunan proyek infrastruktur di dalam Islam tidak hanya dipandang sekedar percepatan ekonomi, namun sebagai sarana memudahkan mobilitas masyarakat mengakses jalan. Baik untuk kepentingan ekonomi, menuntut ilmu, silaturahmi, rekreasi, maupun hal-hal lain yang membuat semua aktivitas masyarakat berjalan lancar, aman dan nyaman.

Jadi daerah-daerah yang masuk dalam kategori 3T (terpencil, tertinggal, dan terluar) yang dinilai kurang ekonomis, tetap dilakukan pembangunan maupun perbaikan jalan.

Maka dalam proses pendanaannya pun, negara memanfaatkan kas baitul mal untuk membiayai berbagai jasa dan fasilitas umum yang sudah direncanakan.

Jika kas negara tidak memiliki cukup dana, sementara pembangunan sangat dibutuhkan, maka pajak bisa dipungut dari warganegara yang mampu (kaya) untuk membantu menutupi pengeluaran tersebut.

Dalam hal ini, kemitraan terhadap pihak asing tidak boleh dilakukan demi mencegah pengaruh cengkeraman asing terhadap negara Islam.

Gambaran inilah yang kemudian harus meningkatkan keyakinan dalam diri kita, bahwa sistem Islam memiliki aturan yang komprehensif terhadap persoalan ummat.

Dengan penerapan Islam secara kaffah penyediaan infrastruktur dengan kualitas terbaik dan gratis merupakan sebuah keniscayaan bagi negara.

Pengelolaan harta negara dan milik umum dengan sistem ekonomi Islam, semua itu dapat terwujud. Sejatinya hal ini mendorong kita bersegera kembali ke dalam sistem Islam. Wallahu a’lam.[]

Comment