Moderasi Beragama, Upaya Stigmatisasi Terhadap Islam?

Opini940 Views

 

 

Oleh: Novita Darmawan Dewi, Pegiat Komunitas Ibu Ideologis

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Menarik untuk dikritisi pernyataan asisten Deputi Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Thomas Ardian Siregar yang menjelaskan bahwa kalangan milenial memiliki peran penting sebagai agen moderasi beragama.

Hal itu disampaikan Thomas Siregar saat bertindak sebagai narasumber dalam kegiatan Workshop Moderasi Beragama bagi Kalangan Millennial di Bandung, Jawa Barat pada Kamis (10/06).

‘Milenial dapat mensosialisasikan muatan moderasi beragama di kalangan masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis, damai dan rukun.” Ujar Thomas.

Thomas menjelaskan, moderasi dalam beragama dapat terlihat melalui 4 indikator di antaranya adanya komitmen kebangsaan yang kuat, sikap toleransi terhadap sesama, tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan baik secara fisik maupun verbal serta menghargai tradisi dan budaya lokal masyarakat Indonesia yang sangat beragam.

Islam Sebagai Objek ‘Tuduhan’

Jika kita terjemahkan secara bebas tanpa melepaskan pada kegiatan apa pidato tersebut disampaikan, terdapat dugaan bahwa pernyataan ini secara satire tertuju pada mereka yang meyakini nilai-nilai agama secara fundamental. Lebih spesifik lagi, pernyataan itu tertuju pada kaum muslimin yang meyakini syariat Islam secara utuh dan menyeluruh (kaaffah). Adakah kemungkinan ide moderasi beragama ini lahir atas asumsi bahwa identitas agama menjadi dasar fundamentalisme?

Sikap ini pada akhirnya menafikan nilai-nilai kebenaran dari kelompok lain. Alhasil, muncullah ide pluralisme sebagai paham yang dipandang mampu menjembatani perbedaan ajaran agama. Kemunculan ide pluralisme agama ini berdasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan  truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstremisme, radikalisme agama, perang atas nama agama, serta penindasan antarumat agama.

Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar alias lenyapnya truth claim. Atas dasar inilah proyek moderasi digalakkan.

Agar terkesan urgen, diwacanakanlah pentingnya menjaga persatuan antarumat beragama, memelihara persaudaraan sebangsa dan setanah air, serta mengembangkan persaudaraan kemanusiaan.

Moderasi Agama Menjamin Perbaikan Generasi?

Moderasi agama dinilai sebagai program jitu untuk menangkal radikalisme di dunia. Pertanyaannya, apakah dengan moderasi agama akan menjamin perbaikan generasi?

Moderasi sendiri sejatinya adalah paham Barat juga. Berkompromi dengan moderasi sama halnya memberi jalan paham-paham Barat lainnya seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme tumbuh subur. Boleh jadi dengan moderasi, generasi tidak “radikal”, tetapi justru mereka akan menjadi generasi plinplan. Benar dan salah tergantung penilaian manusia.

Nilai-nilai Barat tak lagi dianggap ancaman yang menyesatkan pemikiran umat. Tidak cukupkah Islam berdiri sendiri tanpa harus diembeli dengan moderasi? Seakan Islam itu belum sempurna hingga harus dikompromikan dengan paham lainnya.

Berislam Kaaffah Tanpa Ide Moderasi Beragama

Sejatinya, baik radikalisme dan moderasi agama adalah proyek ciptaan Barat untuk menghalau kebangkitan pemikiran Islam. Radikalisme diaruskan dengan dalih peristiwa 9/11 tahun 2001 silam. Tujuannya, untuk membuat umat fobia dengan agamanya sendiri.

Sementara, moderasi agama diprogramkan untuk menangkal radikalisme. Islam moderat menjadi role model bagi muslim pilihan Barat untuk menangkal gerakan yang mereka anggap radikal. Moderat yang berarti menerima nilai-nilai dan pemikiran produk Barat sembari muslim boleh beribadah dalam ranah individu saja.

Selain itu, tidak mengambil bagian dalam politik apalagi mendirikan negara adalah ide yang selalu digaungkan dalam moderasi beragama. Benang merah keduanya adalah sama-sama ingin menghambat lahirnya generasi Islam yang berkualitas, cerdas, dan kritis.

Tidak salah bila narasi radikalisme terus saja disuarakan di lembaga pendidikan. Program moderasi juga turut menjadi program prioritas dalam dunia pendidikan. Semuanya memiliki tujuan yang satu, yakni agar tidak lahir bibit-bibit generasi terbaik abad ini. Islam adalah halangan terbesar atas eksistensi ideologi kapitalisme sekularisme.

Orang-orang kafir akan senantiasa mencari jalan agar umat ini tetap terlelap dengan ide-ide mereka. Menghalau stigma radikal kepada Islam memang harus dilakukan, tetapi bukan berarti menjadi pengusung moderasi.

Umat Islam harus punya agenda sendiri. Yakni berdakwah memberi kesadaran pemahaman yang benar kepada umat; menjelaskan kerusakan ide-ide yang bertentangan dengan Islam; mengkaji Islam secara kafah agar tidak terjebak pada pemikiran yang salah; serta menguatkan ikatan akidah dan ukhuwah agar tidak mudah dipecah belah oleh musuh Islam. Islam sudah sempurna dengan penjelasan yang berdasar Al-Qur’an dan Sunah.

Tidak perlu mencari tafsiran lain selain dari keduanya. Apa yang disampaikan Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag, Syamsul Bahri, memang benar. Ia mengatakan Islam itu harus dipahami secara kafah (menyeluruh), tidak boleh sepotong-sepotong memahaminya.

Begitulah semestinya sikap seorang muslim. Berislam jangan nanggung. Harus utuh dan menyeluruh. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al-Baqarah: 208). Wallahu’alam.[]

Comment