Oleh : Sriyama, Relawan Opini
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sungguh malang nasib petani garam saat ini. Pemerintah kembali memutuskan untuk mengimpor 3 juta ton garam industri di tahun 2021. Padahal pemerintah telah mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan untuk mencintai produk lokal.
Faktanya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan pemerintah telah memutuskan membuka keran impor garam pada tahun ini sebanyak 3.07 juta ton. Menurutnya, impor garam terpaksa dilakukan pemerintah.
Pasalnya seperti dilansir merdeka.com, 19/03/2021, kebutuhan garam mencapai 4,6 juta ton di tahun 2021, sementara stok yang ada di petani garam lokal tidak memenuhi kebutuhan industri. Di sisi lain kualitas garam lokal tidak sesuai dengan standar garam industri.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (IMPG) Muhammad Hasan melalui laman detikcom, Rabu (29/09/2021), mengatakan bahwa kebijakan pemerintah impor garam sebanyak 3.07 juta ton dinilai berlebihan. Hal ini mengakibatkan stok garam menumpuk dan penyerapannya tidak maksimal sehingga berdampak pada harga pasaran anjlok dan tidak berdasarkan data kebutuhan nasional.
Indonesia adalah negeri maritim yang memiliki bibir pantai yang terbentang luas. Kemudian dari segi Sumber Daya Manusia (SDM), Indonesia memiliki intelektual yang mempunyai keahlian. Sungguh ironi, bila untuk memenuhi kebutuhan garam saja Indonesia masih harus mengimpor dan bergantung pada negara-negara asing.
Sungguh miris. Kebijakan impor sering kali ditempuh pemerintah ketika dihadapkan pada kelangkaan produksi. Alih-alih berpikir untuk mencari solusi dengan memfasilitasi para petani garam lokal dengan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan garam, pmerintah justeru sebaliknya menempuh jalan impor yang sangat merugikan petani.
Padahal dengan memperbaiki sektor industri ini, Indonesia tidak butuh impor garam lagi. Indonesia akan mampu memenuhi kebutuhan garam dengan kualitas yang dapat bersaing di pasaran. Tentunya impor pun akan berakhir.
Dengan melihat kondisi ini, tidak salah jika terdapat penilaian beberapa kalangan bahwa pemerintah lebih cenderung menuruti jalane pintas kapitalis. Selalu memandang maslahat dan keuntungan materi Jangka pendek, bukan lagi sebagai pelindung rakyat. Pemerintah seolah tidak hadir membersamai, mengurusi rakyat dan melindungi rakyat.
Dalam konteks keislaman, para pemimpin yang diamanahi beban jawab atas umatnya, untuk betul-betul memberi pelayanan kepada umatnya. termasuk dalam hal pemenuhan pangan masyarakat. Karena fungsi pemimpin dalam Islam sebagai periayah dan pelayan umat.
Islam mengharamkan umat Islam dikuasai oleh orang-orang kafir apalagi kafir harbi fi’lan (kafir yang memerangi secara nyata). Ketika menggantungkan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan pangan pada impor, maka sama saja telah menyerahkan diri untuk dikuasai oleh orang kafir. Kondisi ini tentu mengancam kedaulatan negara.
Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’ [4]: 141)
Meski kebijakan ekspor dan impor dibolehkan dalam Islam, namun tidak dalam sektor strategis yang berpotensi untuk melemahkan negara.
Negara dalam Islam hadir memaksimalkan potensi yang ada dalam upaya mengatasi setiap permasalahan. Oleh karena itu sebuah kewajaran, jika umat Islam sangat merindukan penerapan Islam secara total. Wallahu a’lam bisshowab.[]
Comment