Marital Rape Dalam Pandangan Islam

Opini1377 Views

 

 

 

 

Oleh : Afriani Mustapa, Aktivis Muslimah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Baru-baru ini santer diberitakan, sebuah kasus yang menimpa keluarga seorang publik figur. Dalam kasus ini diduga seorang suami melakukan kekerasan seksual terhadap istrinya. Menurut ahli forensik kepolisian, terdapat bekas-bekas kekerasan yang terdapat pada tubuh istri (korban) sehingga korban mengalami trauma.

Kekerasan semacam itu biasa dikenal dengan istilah “Marital rape”.
Marital rape atau pemerkosaan yang terjadi dalam rumah tangga ialah adanya pemaksaan untuk melakukan kegiatan seksual oleh suami terhadap istri atau sebaliknya dan kebanyakan kasus ini terjadi pada istri sebagai korban (wikipedia.org). Marital rape dilakukan tanpa persetujuan atau konsen dan biasanya dilakukan dengan kekerasan, ancaman, atau intimidasi.

Menurut catatan Komnas Perempuan pada 2018 terdapat 195 kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilaporkan, 100 kasus di tahun 2019 dan turun menjadi 57 kasus di 2020. Akan tetapi, angka di lapangan diprediksi jauh lebih besar.

Dari data yang ada, sebanyak 77% wanita korban marital rape tidak berani melaporkan kasus yang dialaminya. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap bahwa kasus perkosaan itu terjadi di luar jalur pernikahan bukan dalam ikatan pernikahan itu sendiri. Juga anggapan bahwa laki-laki (suami) pencari nafkah, kuat, dan agresif. Sedangkan perempuan (istri) itu tugasnya mengurus rumah termasuk melayani hubungan seksual (narasi.newsroom).

Selain itu, menurut Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, kaum perempuan seringkali dinasehati dengan alasan agama dan kemungkinan resiko sosial yang bisa dihadapi korban jika ingin melaporkan kasusnya, sehingga jika terjadi marital rape dalam rumah tangga dan si korban melapor, dianggap sesuatu yang ganjil atau tidak etis untuk dibicarakan.

Di indonesia sendiri hukum positif bagi pelaku marital rape didasari oleh UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Definisi legalistik bagi marital rape dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 8 UU PKDRT yang membagi jenis kekerasan seksual dalam rumah tangga ke dalam dua pola dan yang pertama adalah perbuatan -dalam rumah tangga- yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai (red:marital rape). Pelakunya diancam sebagaimana pada pasal 46 UU PKDRT yang menyebutkan, ”Setiap orang  yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana di maksud dalam pasal 8 huruf a, dipidana penjara paling lama 12 tahun, atau denda paling banyak 36.000.000 ”.

Sejalan dengan pandangan Komnas Perempuan, dalam pandangan feminisme Barat, kekerasan seksual pada umumnya merupakan salah satu bentuk dampak dari kesenjangan kekuasaan laki-laki dan perempuan dalam persoalan seksual.

Meminjam ucapan MacKinnon, ketika membicarakan tentang kesetaraan dalam seks (sex equality), hal ini amat sulit dijelaskan, sebab kesetaraan adalah suatu persamaan (equivalence), sedangkan seks itu sendiri merupakan perbedaan (distinction).

Grossi mengutip pernyataan MacKinnon yang menyebutkan bahwa seks merupakan bentuk dominasi nyata laki-laki terhadap perempuan (male dominance and female subordination).

Tak jauh berbeda dengan pandangan di atas, Patricia Mahoney –sebagaimana dikutip Milda Marlia dari Siti Aisyah- memaparkan bahwa penyebab marital rape secara garis besar sebagai berikut: Reinforce power, dominance and control.

Pemaksaan hubungan seksual tidak selalu digerakkan motif hasrat seksual semata, namun sering kali dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan, dominasi dan kendali suami terhadap istri.

Ekpresi kemarahan dan pemaksaan hubungan seksual dilakukan sebagai bentuk kemarahan ketika istri tidak memenuhi permintaan (perintah) suaminya. Sterotype atau pelabelan tentang bagaimana seorang istri atau perempuan bersikap. Misalnya: melayani suami dalam hubungan seksual adalah kewajiban istri, perempuan dianggap menikmati hubungan seksual yang dipaksakan, perempuan berkata tidak padahal hatinya mengiyakan, dan sebagainya.

Dalam ranah diskursus gender, menurut Hannah, lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya marital rape. Situasi semacam ini pula yang membuat perempuan acap kali bungkam melaporkan peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.

Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki mempunyai hak otonom di dalam keluarga sehingga membuat laki-laki merasa berhak melakukan apa saja terhadap perempuan.

Parahnya, -menurut Hannah- kebanyakan dari kaum laki-laki menganggap pernikahan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya terhadap kaum perempuan.

Lalu bagaimanakah kasus marital rape ini dalam pandangan Islam? Dalam terminologi Arab, istilah  marital rape disebut sebagai al-ightishâb al-zauji Dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ dan juga al-Mawrid disebutkan bahwa kata al-ightishâb merupakan terjemahan dari kata “rape” dalam bahasa Inggris yang berarti memperkosa seorang wanita, atau berzina dengannya secara paksa . Sementara kata “al-zaujiy‟ merupakan bentuk nisbat (adjektive) dari kata al-zauj yang berarti pasangan (suami atau istri), kata “al-zaujiy‟ umumnya diterjemahkan sebagai “marital‟ yang berarti perkawinan.

Tidak mudah menemukan nomenklatur al-ightishâb al-zauji ini –dan juga definisinya- dalam referensi-referensi Arab, bahkan dalam literatur-literatur kontemporer sekalipun, apatah lagi dalam khazanah kitab-kitab fikih klasik, sebab secara mendasar istilah impor ini berseberangan dengan sosiologi dan ideologi masyarakat Islam pada umumnya.

Berangkat dari fakta di atas, di antara banyaknya dalil tentang hubungan intim suami istri adalah hadist riwayat Abu Hurairah r.a. Seperti dikutip dari Riyadhu as-Shalihin (Juz 3. halaman 138).

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, Rasulullah bersabda: Ketika suami mengajak istri untuk berhubungan intim, lalu istri enggan untuk melakukannya, sebab itu suami marah. Maka istri akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi hari”.( HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadist lain mengatakan, ”Diriwayatkan dari Talq bin Ali, beliau berkata: Rasulullah bersabda: ketika suami mengajak istrinya untuk berhubungan intim, maka lakukanlah sekalipun waktu masak”( HR. At-Tarmidzi).

Dari hadist-hadist di atas, isteri seakan tidak boleh atau wajib ikut ajakan suami jika ingin melakukan hubungan intim. Namun ketika ditelisik baik-baik hadist tersebut menyerukan kewajiban istri dalam melayani suaminya.

Di sisi lain Islam mengajarkan tentang adab seorang suami terhadap istrinya.  Dalam kitab Al-fiqh Al-Islam wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Zuhaili dijelaskan bahwa:

“Bagi istri wajib taat kepada suami, ketika suami mengajak untuk berhubungan intim sekalipun istri dalam keadaan masak atau berada diatas pelana kuda. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Wajib taatnya tersebut selama istri tidak dalam kewajiban yang lain atauakan menimbulkan bahaya karena kondisi membahayakan tidak termasuk dalam kategori hubungan intim suami istri yang baik. Dan kewajiban istri kepada suami berdasarkan Firman Allah SWT. “ Dan para wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang benar.”

Ibn Al-Jauzi dalam Kasyfu Al-Musykil’ala hadist As-Shahihayn mengungkapkan,  tidak selayaknya suami dan istri berhubungan intim kecuali dengan kondisi terbaik agar rasa kasih sayang menjadi kekal. Terlihatnya beberapa aib akan menghilangkan rasa kasih sayang. Hendaknya keduanya tidur berdekatan.

Ibn Abbas berkata, “Saya sangat senang berhias untuk istri selayaknya istri berhias untuk saya. Seorang perempuan badui berkata kepada putrinya tatkala melangsungkan resepsi perkawinan “Orang-orang tidak melihat sedikitpun kejelekan dirimu dan tidak mencium bau kecuali harum.”

Jadi Islam tidak menekankan kepada satu pihak saja, tapi kepada kedua pihak hingga terbina keharmonisan dalam rumah tangga. Islam tidak membenarkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, apalagi terkait hubungan suami isteri saat senggama. Selayaknya seorang suami mendatangi istrinya dengan cara yang benar yang di perbolehkan agama. Tidak ada unsur paksaan yang akan membahayakan istri.

Jika terjadi kekerasan atau pemaksaan hubungan intim maka itu tentu bertentangan dengan Islam dan tidak pernah disyariatkan dalam Islam.

Namun, Islam juga menolak istilah perkosaan/perzinahan yang dialamatkan pada sebuah perkawinan atau marital rape sebagaimana dalam pandangan kaum feminis yang berdiri di atas landasan kesetaraan gender.

Karena Islam memandang bahwa sebuah tali pernikahan atau hubungan perkawinan antara suami dan istri telah menempatkan pria dan wanita pada fitrahnya masing-masing, Islam telah menetapkan kepada kaum pria dan wanita hak dan kewajiban-kewajiban masing- masing.

Dengan demikian, tentu berbeda pula bagaimana Islam menerapkan hukuman atau penyelesaian masalah sebagaimana kaum feminis memandangnya. Karena Islam berdiri di atas landasan keyakinan/aqidah yang bersumber dari wahyu bukan akal semata. Wallahu a’lam.[]

Comment