Oleh: Safia Syahira, Aktivis Muslimah, Buton
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Selama ini barat menganggap problem mendasar ekonomi yang dialami umat manusia adalah keterbatasan barang/jasa (Alat Pemuas). Artinya, dalam kaca mata ekonomi barat, problem ekonomi akan selalu berputar putar di seputar bagaimana meningkatkan produksi barang/jasa (Alat Pemuas) yang terus menerus intuk memenuhi kebutuhan manusia yang diasumsikan tidak terbatas, dalam konteks makroekonomi, pertumbuhan menjadi fokus y ekonomi, bukan pemerataan.
Akibatnya, keberhasilan ekonomi di ukur oleh kemakmuran ekonomi secara kolektif bukan kemakmuran orang perorang.
Asumsi di atas jelas keliru. Mengapa? Sebab, barang/jasa sebagai sarana pemuas kebutuhan manusia sesungguhnya sangat berlimpah secara alami.B ahkan ahli ekonomi yang menyatakan kemampuan di dunia ini memberikan penghidupan bagi manusia adalah sepuluh kali lipatnya. Karena Itu, produksi barang/jasa tidak akan menyebabkan masalah mendasar dalam memenuhi kebutuhan.
Bahkan adanya kebutuhan justru mendorong kegiatan produksi.
Kesalahan asumsi barat ini lebih di sebabkan oleh karena tidak adanya pemisahan ilmu dan sistem ekonomi. Masalah kelangkaan barang dan jasa secara akumulatif dianggap sebagai problem dasar ekonomi yang solusinya adalah produksi atau pertumbuhan. Sebaliknya, problem sebenarnya, yaitu masalah distribusi harta, justru dibiarkan dan di serahkan kepada mekanisme harga dan teori tricle down effect.
Sebaliknya, Islam memandang problem mendasar ekonomi yang dialami umat manusia adalah distribusi barang/jasa(alat pemuas). Karena itulah dalam konteks ekonomi, nash-nash Al Qur’an maupun As Sunnah lebih banyak berbicara tentang Pengaturan distribusi barang/jasa (harta),dan sedikit sekali berbicara tentang produksinya. Ini karena Islam membedakan ilmu ekonomi (yang fokusnya adalah produksi) dengan sistem ekonomi (yang fokusnya adalah distribusi).
Islam lebih memfokuskan perhatiannya pada aspek pemerataan (baca: produksi), Islam cukup mendorong pertumbuhanya, menyerahkan masalah cara dan sarananya kepada manusia, serta hanya memberikan kententuan umum dan tidak menentukan cara dan sarana tertentu. Ini termasuk ke dalam sabda Nabi Saw: Antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih memahami urusan duniawi kalian).
Pilar Sistem Ekonomi Islam (SEI)
Sistem ekonomi Islam dibangun dengan tiga pilar:(1) Kepemilikan harta (milkiyyah Al mal);(2) pengelolaan harta (tasbaruf Al mal;)3 distribusi kekayaan (tawzi tas tsarwab).
1.Kepemilikan Harta
Sistem ekonomi Indonesia mengklarifikasi kepemilikan (milkiyyah) mmenjadi : kepemilikan individu; (b) kepemilikan umum; (c)dan kepemilikan negara.
Dalam hal kepemilikan individu, SEI menentukan tata cara pemilikan yang diizinkan dan yang tidak diizinkan. Sebab milkiyyah adalah izin Asy-syari’untuk dimanfaatkan harta. Secra Ffaktual, tata cara yang tidak diizinkan itu berakibat buruk bagi kehidupan masyarakat, menyebabkan eksploitasi orang lain dan penyerangan hak milik orang lain.
2. Pengelolaan Harta
SEI memerintahkan pemanfaatan yang Ssyar’i dengan mengutamakan pembelajaran wajib, kemudian sunnah, dan baru yang mubah. Sebaliknya,SEI melarang pemanfaatan harta yang tidak syar’i dan negara harus memberikan sanksi ta’zir atasnya, seperti pemanfaatan untuk yang haram.
3.Distribusi Harta.
Penyimpangan manusia terhadap Ssyari’ah atau penerapan sistem yang kurang baik oleh negara, dapat menyebabkan buruknya distribusi kekayaan. Akibatnya kekayaan hanya beredar pada sebagian kalangan atau ada sebagian orang terhalang untuk bisa memperoleh kekayaan.
SEI menetapkan hukum hukum yang mengatasi hal itu sekaligus menjamin pendistribusian kekayaan secara adil.
Politik ekonomi Islam lebih menekankan pada pemenuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kemakmuran sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang untuk menikmati kemamuran tersebut.
Sistem ekonomi Islam berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam (muslim dan Non-muslim) secara menyeluruh. Barang barang berupa pangan, sandang dan papan (Perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut.(lihat:Qs Al-Baqarah [2];233;Qs At-thalaq [65]:6).
Keamanan, kesehatan, pendidikan juga merupakan kebutuhan jasa asasi dan Harus di kecap oleh manusia dalam hidupnya.
Sistem Ekonomi Islam: Sistem Ekonomi Real
Berbeda dengan sistem kapitalis yang berbasis sektor non-Real (moneter) yang terbukti menimbulkan kekacauan, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi real, dalam arti, jauh dari kegiatan kegiatan ekonomi non-real. Dalam hal ini, Islam telah menetapkan sejumlah hukum/aturan dalam bidang ekonomi.
1. Hukum hukum mata Uang.
Islam menetapkan mata uang Khilafah adalah emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang logamnya atau mata uang kertas yang diback up dengan emas dan perak senilai uang kertas yang dikeluarkan (uang kertas substitusi).
2. Pengharaman Riba
Riba sangat berbahaya bagi ekonomi internasional, kesejahteraan masyarakat luas dan individu, serta ekonomi secara umum. Bahaya riba antara lain menghasilkan sekelompok orang hidup di atas penderitaan orang lain.
Riba juga menjadikan sekelompok orang berkuasa dari segi usaha, harga maupun kebijakan. Lembaga ribawi hanya akan memberikan kredit kepada lembaga atau individu yang dipercaya mampu mengembalikan kredit atau yang memiliki sejumlah harta yang dia gunakan.
Dengan demikian hanya kaum the haves yang dapat memanfaatkan kredit, dan lebih lanjut hanya merekalah yang layak memiliki usaha.
3. Pengharaman Transaksi spekulatif, kotor dan menjijikkan
Allah SWT berfirman, “Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya minum khamar, berjudi, (Berkurban untuk.) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat Keberuntungan.(Qs a -Maidah[5]:90).
4. Larangan atas transaksi perdagangan maupun keuangan yang mengandung dharar (Mengandung kemadaratan), baik bagi Individu maupun bagi masyarakat.
5. Larangan Al-Ghasy, yaitu transaksi yang mengandung penipuan, penghianatan, rekayasa, dan manipulasi; termasuk di dalamnya transaksi ghubn al-fahisy, menyembunyikan cacat/kekurangan, tidak sesuai antara penjelasan (Keterangan tertulis) dengan zat dan sejenisnya.
Rasulullah saw.bersabda, “Tidak halal seorang muslim menjual barang yang diketahuinya mengandung cacat kecuali ia memberitahukannya.(HR.Al Bukhari). Allahu alam bisawab.[]
Comment