Fenomena KPI: Hilangnya Fungsi Strategis Institusi Pengelola Informasi

Opini670 Views

 

 

Oleh; Sarah Adilah, Founder Starup

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dilansir dari Republika, baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan kasus perundungan dan pelecehan seksual kepada salah satu staff Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang melibatkan pula tujuh pegawainya. Kabarnya, peristiwa ini telah berlangsung selama rentang waktu tahun 2011-2020.

Awal mula kasus yang ramai diperbincangkan terjadi karena unggahan korban yang ditulis ke publik di sejumlah media nasional di Jakarta. Korban sendiri mengaku trauma dan stress pasca perlakuan sesama rekan kerjanya.

Sebelumnya, korban sempat melaporkan kasus ini ke beberapa tempat, seperti komnas HAM, kepolisian, bahkan kepada atasan di KPI Pusat, namun hasilnya nihil dan malah membuat perundungan kepada dirinya gencar dilakukan.

Setelah viralnya kasus ini, KPI Pusat baru dapat memberikan suara dan mendukung proses hukum yang berjalan. KPI pusat juga memberikan perlindungan dan pendampingan hukum kepada korban selama masa pemulihan.

Pada saat bersamaan KPI kian ramai menjadi buah bibir lantaran penyiaran konten di media yang melibatkan seorang mantan narapidana kekerasan seksual di bawah umur.

Konten kontroversial ini sontak membuat geger warga Indonesia karena sambutan pembebasan eks narapida yang meriah bak seorang pahlawan seperti yang dilaporkan oleh Investing.

Kabar yang beredar juga menyatakan bahwa mantan narapidana tersebut telah mendapat banyak tawaran job bahkan jauh sebelum dirinya resmi keluar dari penjara.

Hal inilah yang membuat masyarakat pun ramai melakukan seruan aksi boikot, dikutip dari Riau24.

Ramainya sorotan masyarakat terhadap KPI melalui dua kasus yang berbeda semakin memperlihatkan lemahnya kontrol negara terhadap keamanan dan kenyamanan penerimaan informasi di masyarakat.

Institusi yang seharusnya menjadi tempat pertama konten edukatif dan informatif bagi masyarakat bahkan menjadi tempat dari konten kekerasan itu sendiri. Hal ini juga sangat kontras dengan tagline KPI pusat sebagai tempat dari kampanye anti kekerasan seksual.

Pada satu sisi, tempat yang seharusnya menciptakan rasa aman dan nyaman untuk memproduksi ide-ide baru, malah menjadi tempat yang paling tidak aman baik secara mental dan fisik. Terlebih dampak secara mental yang tidak bisa sembuh seperti sedia kala menyebabkan kejadian traumatis yang melekat dapat menjadi bayang-bayang seumur hidup.

Di sisi lain, semakin canggihnya dunia teknologi hari ini membuat arus informasi mudah diperoleh tanpa batas. Terlebih saat ini berkembang platform yang beragam yang dapat disaksikan oleh siapapun.

Sisi lain dari keberadaan informasi yang meluas juga berdampak kepada pembentukan persepsi individu yang melihatnya. Nyatanya tidak semua orang yang menjadi penikmat media mampu menyaring informasi yang tersaji.

Oleh karenanya regulasi arus informasi menjadi penting untuk diperhatikan. Sayangnya, hal ini yang tidak ditemukan dalam sistem kapitalisme hari ini.

Regulasi informasi hari ini semakin memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan cara islam mengatur. Dalam islam, terdapat institusi yang dinamakan dengan Departemen Penerangan yang memiliki fungsi strategis dalam dua faktor, yaitu faktor internal dengan tugasnya membina pemikiran masyarakat melalui konten yang disajikan serta faktor eksternal sebagai salah satu sarana untuk menyebarluaskan dakwah.

Keberadaan Departemen Penerangan juga sejalan dengan firman Allah dalam Terjemah Quran surat An-nisa ayat 83:

“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)”.

Secara teknis, berita yang disiarkan harus mendapatkan izin dari kepala negara dan adapula yang dapat langsung disiarkan tanpa izin selama tetap memperhatikan unsur-unsur akidah dan sesuai dengan nilai-nilai syara’.

Adapun berita yang harus mendapat izin meliputi informasi militer, propaganda, perjanjian, kesepakatan, dan diplomasi politik. Informasi yang masuk juga hendaknya diatur dan dibuat regulasinya bukan berdasarkan kacamata hukum positif manusia ataupun nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, namun harus senantiasa berkaitan dengan pandangan Allah sebagai pengatur kehidupan manusia dengan merujuk kepada apa yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran dan As-sunah. Sehingga unsur-unsur kepentingan sejumlah pihak akan diminimalisir.

Adapun negara juga harus meregulasi tempat kerja yang dapat memperhatikan sisi kemanusiaan bagi setiap anggota yang bekerja.

Sistem islam yang diterapkan juga akan menjadi lingkungan yang baik dan positif bagi seluruh individu karena setiap perilaku individu akan didasarkan pada nilai-nilai ketaqwaan sehingga muncul sikap kehati-hatian dalam berucap dan bertingkah laku yang bisa mendzalimi diri dan orang lain.

Individu akan dihadapkan pada pemikiran bahwa setiap ucapan dan perilaku akan dimintai pertanggung-jawaban di mata Allah.[]

Comment