Oleh: Dina D.N, Kontributor Media
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pandemi telah memporakporandakan banyak aspek, politik, ekonomi, sosial, budaya, keluraga dan juga pendidikan.
Perekonomian keluarga merupakan area yang sangat besar terimbas oleh peristiwa ini hingga berdampak turunnya pendapatan keluarga. Kondisi ini memaksa para orang tua kewalahan membiayai pendidikan putra putri mereka di bangku kuliah bahkan terpaksa putus kuliah.
Biaya kuliah yang mahal sejak sebelum pandemi semakin tak terjangkau hingga membuat mahasiswa memilih tak meneruskan studinya.
Dari data Kemendikbudristek menunjukkan bahwa angka putus kuliah mahasiswa perguruan tinggi pada akhir 2020 naik 50%. Padahal sebelum pandemi, rata-rata angka putus kuliah hanya sekitar 18%. Kebanyakan kasus putus kuliah terjadi di perguruan tinggi swasta. (voaindonesia.com, 5/8/2021)
Kepala Lembaga Beasiswa Baznas, Sri Nur Hidayah, menyatakan bahwa data dari Kemendikbudristek sebanyak 602.208 mahasiswa mengalami putus kuliah. Krisis pandemi Covid-19 menyebabkan angka putus kuliah menjadi sangat meningkat. (jawapos.com, 16/8/2021)
Karena Pandemi, Kuliah Terhenti?
Pandemi Covid-19 amat dahsyat menerpa. Dampaknya menimpa seluruh rakyat. PHK terjadi di mana-mana karena perusahaan gulung tikar. Banyak tempat usaha yang mengibarkan bendera putih karena kebijakan pembatasan. Pengangguran dan kemiskinan pun meningkat.
Perekonomian makin sulit. Beban hidup bertambah berat kala pandemi melanda. Penghasilan yang pas-pasan membuat kepala pusing mencari bagaimana cara untuk menutupi seluruh kebutuhan keluarga. Pendapatan terus menurun, bahkan menghilang seiring tiadanya pekerjaan.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan hidup seperti pangan dan kesehatan. Sedangkan biaya untuk pendidikan terpaksa harus dipotong, bahkan ditiadakan. Boro-boro memikirkan sekolah atau kuliah, untuk makan sehari-hari saja susah. Bagaimana bisa fokus pada pendidikan bila perut keroncongan?
Biaya kuliah yang tetap tinggi di masa pandemi menjadikan kesempatan mengenyam pendidikan kian menipis. Meski ada keringanan membayar biaya kuliah, namun tetap saja menyulitkan di tengah kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu.
Pasalnya, bukan hanya uang kuliah yang harus dibayarkan, tetapi juga biaya untuk perkuliahan secara daring, tugas-tugas kuliah, akomodasi dan lain-lainnya. Kenapa tidak digratiskan saja bila sungguh ingin membantu?
Adanya Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) juga tak mampu menjangkau semua karena jumlahnya terbatas, yakni untuk 200 ribu mahasiswa saja. Hanya mereka yang tercatat miskin dan berprestasi saja yang bisa mengikutinya. Bagaimana dengan yang lainnya?
Sistem Bermasalah
Krisis ekonomi yang terjadi tak bisa dilepaskan dari kebijakan penanganan pandemi dan sistem kehidupan secara keseluruhan. Kebijakan untuk mengatasi pandemi selama ini tak menyentuh akar persoalan.
Sistem kapitalisme yang sudah salah dari akarnya kian memperburuk keadaan. Sistem yang mementingkan materi ini melibas siapa pun yang tak punya uang. Hanya mereka yang kuat (bermodal) saja yang bisa bertahan.
Berbagai bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat tak bisa menyelesaikan permasalahan rakyat secara tuntas. Justru program-program bantuan sosial semacam ini rentan menjadi lahan basah korupsi.
Masih segar dalam ingatan bagaimana dana bansos untuk rakyat dikorupsi oleh pejabat negara kala itu. Perilaku korup yang telah menjalar ke seluruh sistem ini dengan kejamnya membiarkan rakyat menderita dan semakin menderita.
Bagaimana bisa membawa perbaikan bila sistemnya saja memberi celah terjadinya penyelewengan kekuasaan? Bagaimana mungkin kepentingan rakyat banyak menjadi fokus utama bila perangkat yang ada memiliki mental bekerja demi keuntungan materi belaka? Rakyat menjadi bulan-bulanan akibat dan dampak kebijakan yang pro pada pemilik modal.
Jelas sudah kegagalan sistem kapitalisme sekuler dalam menghadapi badai pandemi. Tak akan pernah ditemukan solusi yang tepat dalam sistem yang bermasalah ini.
Pendidikan di Bawah Kendali Kapitalis
Pendidikan yang menjadi hak rakyat telah dikuasai oleh korporasi. Kebijakan ekonomi yang kapitalis liberal berpengaruh buruk pada bidang pendidikan. Mindset yang berpokok pada materi membuat dunia pendidikan bergeser dari peningkatan SDM menjadi ajang bisnis menangguk keuntungan.
Pendidikan yang semakin mahal tak lepas dari kebijakan yang liberal. Sejak GATS (General Agreement on Trade in Service) menetapkan pendidikan sebagai salah satu dari jasa yang diperdagangkan, maka dimulailah komersalisasinya. GATS merupakan kategori liberalisasi perdagangan yang dilakukan oleh WTO, di mana Indonesia menjadi anggotanya.
Indonesia sendiri telah meratifikasi WTO melalui UU no. 7/1994 sehingga harus ikut apa pun agenda yang dilakukan oleh organisasi perdagangan dunia ini. Salah satunya menjadikan pendidikan sebagai jasa yang diperdagangkan. Artinya, jual beli jasa dalam bidang pendidikan dilindungi hukum dan legal menurut aturan WTO.
Berdasarkan aturan tersebut, mentransfer ilmu kepada yang memerlukan merupakan bentuk jasa yang dikompensasikan dengan sejumlah uang.
Berapa pun harganya dan siapa pun yang memperdagangkannya, diperbolehkan sesuai kesepakatan yang dibuat. Dunia pendidikan dirancang agar semakin terbuka dan bisa dinikmati secara global. Siapa saja boleh berpartisipasi di dalam menyediakan atau menggunakan jasa pendidikan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Arus liberalisasi sekulerisme yang semakin deras membuat pendidikan tunduk di bawah kendali kepentingan kapitalis dengan orientasi profitnya. Perguruan Tinggi berubah menjadi badan usaha yang memiliki kewenangan sendiri dalam menentukan kebijakannya.
Tak ubahnya pebisnis, Perguruan Tinggi (PT) bebas mencari dan mengumpulkan modal, kemudian mengembangkannya dengan membuat program atau kebijakan demi mampu bersaing dengan yang lainnya.
Sistem akreditasi yang ditetapkan, membuat PT harus berupaya mencapai standar tersebut. Bila ingin mendapatkan penilaian bagus, maka kampus harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Berbagai pembangunan, fisik dan non fisik dilakukan guna meningkatkan kualitas kampus. Ini jelas membutuhkan dana amat besar yang kemudian dibebankan kepada para mahasiswa dalam bentuk uang kuliah yang tinggi. Pembangunan tersebut diharapkan mampu menaikkan reputasi kampus sehingga bisa menarik calon mahasiswa, investor atau para pemilik modal lainnya.
Liberalisasi pendidikan telah membuka pintu bagi pemilik modal untuk ikut mengatur arah pendidikan Indonesia. Dengan adanya kendali para pemilik modal yang dominan, membuat pendidikan berfokus pada pencapaian profit sebesar-besarnya. Materi menjadi standar baku keberhasilan pendidikan, bukan dari pemahaman dan pembentukan karakter manusia secara utuh.
Negara memfasilitasi liberalisasi dengan membuat aturan yang menjadikan dunia pendidikan sebagai mesin pencetak tenaga kerja/buruh. Para peserta didik dipersiapkan untuk menjadi pekerja dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh para pemilik modal.
Mindset belajar atau sekolah untuk bisa mendapat pekerjaan yang layak tertancap kuat di benak masyarakat. Pada akhirnya, belajar tak lagi untuk bisa memahami kehidupan, berbagai permasalahan dan mencari solusinya dengan tepat.Wallahu a’lam bish-shawwab.[]
Comment