Oleh: Hasni Tagili, Aktivis Perempuan Konawe
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di Indonesia, pandemi Covid-19 memasuki gelombang kedua. Situasi yang sudah berlangsung selama satu tahun lebih ini menunjukkan kegagapan pemerintah dalam merespons penanganan kasus positif Covid-19 per harinya.
Betapa tidak, dari data Lembaga Survei Indonesia (LSI) sejak September 2020 menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi semakin merosot dalam menangani Covid-19.
Hal ini terlihat dari kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam upays menangani pandemi dari 56,5 persen merosot menjadi sebesar 43 persen. Artinya, terjadi penurunan sebesar 13,5 persen.
Tak berhenti sampai di situ, November 2020, penurunan meningkat sebesar 14,3 persen. Responden sangat tidak percaya terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi. Kemudian, ketidakpercayaan meningkat menjadi 15,2 persen pada Februari 2021 dan terus meningkat menjadi sebesar 22,6 persen pada Juni 2021 sebagaimana dikutip katadata.co.id, (19 Juli 2021).
Penanganan Covid-19 yang lamban ini disinyalir karena beberapa hal. Pertama, pemerintah kurang memperhatikan perkembangan ke depan dan tak mempersiapkan strategi penanganan.
Ini terlihat jelas dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Tak tampak aturan menyeluruh. Pemerintah terlihat tak memahami situasi yang terjadi dengan subtansi permasalahannya. Yang hadir hanyalah sekadar respons tambal-sulam, pemilihan diksi, bahkan memaksa pemerintah memainkan politik pencitraan.
Jika pemerintah menyatakan bahwa gelombang kedua terjadi akibat pasca lebaran Idulfitri, semestinya pemerintah sudah mempersiapkan tindakan merespons untuk terjadinya gelombang kedua itu. Yang tampak malah ketidakjelasan dalam bersikap. Melarang mudik tetapi mempromosikan masyarakat belanja di mall, membuka rekreasi hiburan, yang pada dasarnya ini bentuk ketidakjelasan tentang larangan berkerumun.
Bahkan, baru-baru ini pemerintah merespons dengan kebijakan pembatasan kedatangan warga negara asing/tenaga kerja asing masuk Indonesia, padahal persoalan keinginan pembatasan orang-orang dari luar telah lama didengungkan masyarakat.
Ketidaksiapan pemerintah semakin terjadi ketika Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Kegaduhan terjadi di ruang publik. Betapa tidak, PPKM sudah mendekati akhir pemberlakuan, tapi bantuan pemerintah baru cair. Bahkan, kebanyakan kasus yang mencuat, pedagang dipaksa menutup warungnya lebih awal dengan cara-cara yang kurang humanis.
Semestinya, ketika kebijakan itu akan dibuat, sosialisasi dimasifkan terlebih dahulu. Perencanaan dibuat dengan baik. Sehingga ketika penerapan itu dilakukan maka masyarakat bisa menerima dengan baik. Ketika terdampak pun masyarakat bisa memaklumi sebagai bentuk kehadiran pemerintah terhadap kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Kegagapan juga terlihat seperti dalam merespons terjadinya kelangkaan atas kebutuhan oksigen, penuhnya keterisian tempat tidur (BOR), kurangnya ketersediaan rumah sakit darurat dan kebutuhan akan sarana masyarakat untuk melakukan isolasi mandiri (isoman), program vaksinasi, dan herd imunity.
Kedua, pola kerja yang bersifat sentralis. Pemerintah menunjukkan kelelahannya. Ya, bekerja sendiri malah menunjukkan kelambanan, kelelahan, dan terhuyung-huyung dalam merespons situasi gelombang kedua dari varian delta ini.
Bulan Juli ini baru terlihat pemerintah mengajak peran serta masyarakat membantu pemerintah mencapai program vaksinasi. Iini diungkapkan oleh Ketua Umum PBNU bahwa pemerintah selama ini main sendiri, tidak mengajak civil society. Baru belakangan ini NU diajak dalam program vaksinasi (Detik.com, 23/7/ 2021).
Pun, PKB mengkritik pemerintah yang bekerja sendiri, one man show. Ya, jika diamati lebih jauh, pemerintah belum sepenuhnya menggerakkan seluruh kekuatan pendukung pemerintah dari elemen partai-partai politik. Terkesan hanya memberikan panggung pada partai tertentu saja.
Padahal, kegiatan memilih tanpa membangun kebersamaan dengan seluruh elemen masyarakat, hanya akan membuat pemerintah semakin lama mengatasi pandemi.
Ketiga, pemerintah tampak mengesankan hanya memilih kata saja tanpa memahami substansi permasalahan. Ini ditunjukkan dengan situasi yang memilih diksi semata dari PSBB, PPKM Mikro, menjadi PPKM Darurat, selanjutnya PPKM berlevel. Tetapi substansi permasalahan tak bisa ditangani dengan serius.
Langkah blusukan maupun sidak yang dilakukan Presiden Jokowi boleh dianggap langkah baik, tetapi temuan di lapangan tersebut semestinya secara tidak langsung menjadi bahan introspeksi diri. Ketika terjadi kelangkaan obat-obatan karena kosongnya stok, pemerintah seyogianya berupaya membantu mengadakan.
Sayangnya, pemerintah tidak memberikan respons baik, malah mengesankan politik pencitraan. Ketika melakukan komunikasi dengan telepon seluler kepada Menteri Kesehatan, dan berujung seperti sedang beriklan menjelaskan Anda bisa mengecek ketersediaan obat dan vitamin itu melalui situs https:farmaplus.kemkes.go.id/, dan situasi ini mencakup lebih dari 2.100 apotik di seluruh Indonesia.
Sehingga, menimbulkan pertanyaan dibenak publik. Untuk mengatasi kelangkaan ini, apakah pemerintah akan melakukan pendistribusian menyeluruh, atau menyuruh masyarakat mengecek lalu melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan obat.
Keempat, pemerintah tidak maksimal dalam menjalankan program 3T yaitu testing, tracing, dan treatment. Padahal, selain protokol kesehatan dan vaksinasi, 3T merupakan upaya mendasar untuk mengatasi penyebaran pandemi . Jika langkah tresting dan tracing dikendurkan, kemudian ditingkatkan, wajar akhirnya terjadi penolakan di masyarakat seperti di Suramadu menolak tes swab.
Bahkan, akhirnya yang terjadi asumsi di publik, peningkatan dan penurunan kasus positif tergantung kebutuhan pemerintah kapan saja dibutuhkan, misal, saat menjelang pembukaan sekolah tahun ajaran baru, maupun menjelang hari-hari raya keagamaan.
Sungguh, solusi untuk mengakhiri pandemi ini benar-benar harus dipikirkan secara serius dan mendalam. Sebagaimana, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika terjadi wabah.
Pertama, melakukan lockdown atau karantina wilayah. Rasulullah saw. seperti dalam hadis yang diriwayatkan Abdurrahman bin Auf, melarang orang mendekati atau meninggalkan suatu wilayah yang sedang dilanda wabah penyakit.
“Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya, kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.”
Sejak awal, khalifah akan memisahkan antara orang yang sakit dan orang yang sehat (test and tracing), menentukan di mana pusat wabah dan berupaya keras agar penyakit yang berada di wilayah sumber awal tidak meluas ke wilayah lain. Selain itu, sarana dan prasarana kesehatan juga harus memadai. Pun, keamanan nakes harus jadi prioritas negara.
Merekalah yang paling berperan di garda terdepan. Semua itu dilakukan sejalan dengan salah satu tujuan syariah yaitu menjaga jiwa. Rasulullah saw. bersabda,
“Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq.” (HR. An Nasa’i dan Tirmidzi).
Di samping itu, penting bagi negara untuk memiliki peta yang jelas, mana daerah merah, kuning, dan hijau. Pada daerah yang diisolasi, seluruh aktivitas harus diminimalkan sampai batas serendah-rendahnya. Daerah lain yang tidak terkena wabah tetap dijaga produktivitasnya di berbagai sektor.
Kedua, negara menyokong kebutuhan pokok masyarakat selama lockdown. Sumber pendapatan negara akan dikelola sebaik-baiknya guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Terpenting, proses distribusi bantuan pangan selama pandemi akan dimaksimalkan. Wilayah di zona hijau akan men-supply pangan di wilayah zona merah. Dengan demikian, pandemi bisa ditekan sejak awal kemunculannya. Wallahu ‘alam.[]
Comment