Oleh: Hamsina Halik, A. Md, Pegiat Revowriter
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Rasa keadilan di negeri ini kembali dipertanyakan oleh publik. Pasalnya, setelah ditangkapnya pasangan selebritis karena penyalahgunaan narkotika, alih-alih masuk penjara justru mereka mendapatkan persetujuan rehabilitasi melalui asesmen yang diajukan oleh keluarga.
Menurut pengacaranya, mereka itu adalah korban penyalahgunaan narkoba. Sebagai korban, mereka berhak mendapatkan pelayanan rehabilitasi. Sebagaimana dilansir dari okezone.com (10/07/2021), bahwa mereka bakal menjalani rehabilitasi berkaitan dengan kasus yang tengah dihadapinya. Upaya itu dilakukan untuk melepaskan ketergantungan terhadap narkoba berdasarkan asesmen Badan Narkotika Nasional (BNN) tertanggal 9 Juli 2021.
Meski asesmen ini disetujui, pihak Kapolres Jakarta Pusat Hengky Haryadi menampik jika telah mengistimewakan pasangan selebriti tersebut. Menurutnya, proses hukum tetap akan berjalan dan penyelidikan akan dilakukan secara profesional.
Sementara itu, pengacara keduanya memiliki harapan besar meski akan tetap diproses hingga pengadilan agar hakim dapat melihat rekomendasi rehabilitasi tersebut sebagaimana dikutip okezone.com (12/07/2021).
Hukum Ibarat Pisau
Masih segar diingatan seorang ulama yang hanif dijatuhi vonis 4 tahun penjara. Ulama ini hanya melakukan pelanggaran ringan terkait kerumunan namun berujung bui meski telah meminta maaf dan membayar denda.
Namun, di saat yang lain publik dihadapkan pada sebuah pemandangan yang sungguh menyesakkan hati. Seorang jaksa yang terbukti merugikan negara karena telah melakukan tindak korupsi dengan 4 tahun penjara padahal sebelumnya telah diketuk palu 10 tahun oleh pengadilan.
Hal ini dilakukan karena kasihan si pelaku masih memiliki anak kecil yang membutuhkan seorang ibu.
Ini hanya beberapa kasus yang nampak ke permukaan, tentunya masih banyak kasus serupa lainnya di luar sana.
Sungguh penegakan keadilan saat ini sangat memuakkan. Banyak bukti yang menunjukkan seolah hukum ibarat pisau dapur yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Hukum tidak mampu tegak terhadap orang orang tertentu.
Meski terbukti bersalah, namun hukum mudah diubah-ubah agar tersangka bisa dalam posisi benar dan patut untuk dikasihani.
Maka, tak heran beberapa tersangka bisa dengan mudahnya lolos dari hukuman hanya dengan mengandalkan kata ‘kasihan’. Seolah mereka benar-benar dalam keadaan yang sulit dan patut dikasihani.
Dalam sistem demokrasi hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Sah-sah saja hal tersebut terjadi. Sebab, hukum dan segala hal yang ada dibangun atas asas sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan.
Aturan agama hanya sebatas ibadah ritual semata, hubungan manusia dengan tuhannya, yang tak ada sangkut pautnya dalam kehidupan manusia.
Sementara aturan yang mengatur manusia dalam kehidupannya diluar dari ibadah, akan diserahkan kepada akal manusia. Manusialah yang berhak membuat aturan. Sehingga aturan hukum yang dihasilkan darinya sangat mudah diubah-ubah, dihapus dan bersifat subjektif. Tergantung kepada Kepentingan-kepentingan tertentu.
Bagi pemakai narkoba, jika tersangka itu dari golongan rakyat biasa, tentu akan dijatuhi hukuman yang berlipat ganda. Namun, jika berasal dari pihak tertentu sekalipun aturan hukum yang diterapkan pada keduanya sama, tapi hasilnya berbeda.
Dengan kata lain, hukum menjadi tumpul pada mereka. Alhasil, masyarakat pun bisa melihat bagaimana ketidakadilan penerapan hukum saat ini.
Sanksi dalam Islam
Sering kita mendengar bahwa semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law), berhak mendapatkan keadilan yang sama. Namun, faktanya sangat jauh. Teori tak sesuai praktiknya. Seolah keadilan hanya milik kalangan tertentu dan diterapkan berdasarkan kepentingan. Hal ini telah menjadi rahasia umum.
Oleh karena itu, selama manusia hidup dalam sistem demokrasi sekuler, keadilan akan sulit didapatkan. Padahal, keadilan merupakan salah satu bentuk kemuliaan dalam peradaban.
Hal ini telah tercatat dalam tinta emas sejarah peradaban Islam. Sistem sanksi Islam telah diterapkan secara praktis oleh sebuah institusi negara yang menerapkan hukum-hukum Allah secara menyeluruh.
Narkoba dalam islam haram hukumnnya. Bagi pengguna, pengedar dan produsen narkoba akan dikenai sanksi hukum yang bisa berupa sanksi ta’zir yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qadhi (hakim). Misalnya dipenjara, dicambuk, bahkan sampai pada hukuman mati, sesuai kadar kesalahannya. Atau dikenai denda yang jumlahnya pun diserahkan kepada qadhi yang besarnya bisa berbeda-beda.
Selain itu, sanksi dalam Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) sehingga tak akan melakukan kejahatan yang serupa. Juga bersifat jawabir (menghapus dosa di akhirat), yaitu sanksi yang diterapkan akan dapat mengugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti.
Jika dalam sistem sekuler, sanksi hukum tidak memiliki sifat yang konsisten, karena ia akan selalu berubah dan berbeda-beda mengikuti kehendak manusia, situasi, kondisi, waktu dan tempat.
Namun, berbeda dengan sanksi dalam Islam yang sifatnya konsisten. Tak berubah-ubah. Tak memandang dari kalangan mana yang menjadi tersangka. Semua sama di hadapan hukum. Dan inilah kunci utama tegaknya keadilan dan kepercayaan rakyat terhadap penguasa.
Dengan demikian, ini membuktikan kegagalan sisitem buatan manusia dalam penegakkan hukum baik di dalam maupun di luar Indonesia.
Sudah selayaknya manusia kembali berhukum kepada hukum-hukum Allah. Sebab, tak ada hukum yang lebih baik selain dari hukum Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini?” (TQS. al Maidah: 50). Wallahu a’lam.[]
Comment