RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Ancaman dan tantangan “patahan sejarah” kembali menghadang kita. Tak menutup kemungkinan menciptakan kembali situasi “up and down” yang sangat beresiko. Situasi keretakan menuju patahan sejarah ke depan telah berlangsung sekian lama dan memenuhi hampir seluruh syaratnya, menunggu tiupan terompet sangkakala.
Tak bisa dihindari, sejarah pertumbuhan umat manusia sering kali dihadapkan pada fase patahan sejarah, bisa disebabkan oleh siklus bencana alam dalam skala yang sangat luas. Secara sosial dan politik, patahan sejarah sering kali dihentakan oleh dua faktor mendasar: pertama, penemuan teknologi, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama (invention).
Discovery maupun invention di bidang teknologi bagaikan “nabi” kehidupan yang dapat menjadi obor yang merevolusi atau mengubah secara mendasar cara pandang, hubungan sosial dan tatanan ekonomi dan politik di dalam sebuah masyarakat.
Lantaran itu, cukup beralasan jika dikatakan kehidupan umat manusia dimulai setelah terjadinya revolusi industri di Inggris. Menurut T.S. Aston terjadi antara tahun 1760-1830 (wikipedia.com). Bermula dari penemuan teknologi baru, terutama penemuan mesin uap oleh James Watt, berbagai perubahan sosial, dentuman pemikiran, pergolakan dan revolusi politik, perang dunia (I dan II) hingga perang dingin bermula dan makin bekobar pasca revolusi industri.
Salah satu dampak dari revolusi industri tersebut adalah terbitnya matahari ganda di Eropa yang menjadi pertanda berbunyinya terompet sangkakala yang menciptakan berbagai patahan sejarah berikutnya. Matahari muda, kapitalisme, yang terbit di saat feodalisme masih sangat terik, hadir menantang dan menggerus pengaruh dan kekuasaan matahari tua, feodalisme.
Faktor kedua yang menciptakan patahan sejarah adalah hadirnya para nabi atau pejuang kemanusian yang membawa pengetahuan dan nilai-nilai baru, yang meng-anti tesa situasi establish atau “jumud”, beku, yang mengungkung kehidupan sebuah masyarakat.
Teori tentang patahan sejarah sebetulnya telah diulas secara sempurna di dalam seluruh kitab agama samawi, baik Injil maupun al-Qur’an. Kisah umat nabi Nuh dan nabi Luth yang dimusnahkan oleh Tuhan adalah satu contoh patahan sejarah yang ditujukan untuk membentuk “trase baru”, pembatas atau demarkasi antara sejarah kehidupan lama umat manusia yang mengingkari nilai-nilai luhur dengan kehidupan baru umat manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusia, Persatuan, Kebersamaan dan Keadilan.
Demikian juga kisah pertarungan antara Sre Rama dan Hanoman berhadapan dengan sosok raja setan Rahwana atau kisah perang baratayudha antara Pandawa yang dipandu oleh Sre Kresna untuk memusnahkan kekuasaan Kurawa yang mengingkari nilai-nilai luhur adalah cerita dalam sudut pandang tradisi Hindu tentang patahan sejarah.
Jika kita cermati perkembangan ekonomi dan politik global saat ini, maka kita dapat melihat terbentuknya dua prasyarat fundamental yang akan menciptakan terjadinya “patahan sejarah” yang akan membentuk “trase baru” ke depan: Pertama, terbitnya matahari baru dari utara, meminjam istilah Bung Karno New Emerging Forces (NEFO), yang menantang dan menggerus pengaruh matahari tua dari barat atau Old Estabilished Forces (OLDEFO), yang sinarnya masih cukup terik.
“Hukum alam memastikan, jika ada dua matahari, yang bertujuan memperebutkan posisi orbit yang sama, maka pasti terjadi benturan. Pertanda dunia sedang menuju kiamat”.
Hadirnya China dengan cadangan devisa terbesar di dunia, tercatat 3,84 triliun pada Desember 2015, setara dengan 32,98 % dari total cadangan devisa dunia. Dengan cadangan devisa sebesar itu tak bisa dipungkiri telah menempatkan China sebagai calon “bos” baru dunia yang menantang dan bersaing keras menggusur dua bos lama dunia, Amerika dan Inggris yang mewarisi legenda kekuasaan emperium Romawi.
China hadir dengan ambisi akbarnya untuk memimpin, menyatukan, mendominasi atau mengkolonialisasi dunia melalui “legenda jalur sutra”. Awal mulanya adalah ketika Kaisar Han mengutus Zhang Qian mengunjungi kerajaan Dayuan di Asia Tenggara untuk membangun aliansi militer, perjalanan tersebut yang kemudian membentuk rute perdagangan legendaris yang dinamakan jalur sutra.
Berselang beberapa abad kemudian, China kembali mengajak negara-negara di sekelilingnya untuk membangun aliansi ekonomi multinasional melalui sebuah projek yang dinamakan Silk Road Economic Belt (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra). Projek tersebut yang kemudian ditindaklanjuti dengan inisiatif Satu Sabuk Satu Jalur, One Belt One Road (OBOR).
“OBOR dapat dikatakan sebagai sebuah projek raksasa pembangunan infrastruktur, menyusuri darat maupun laut, untuk tujuan menghubungkan dan menyatukan seluruh negeri negeri di Asia Tengah, Asia Tenggara, Afrika, Eropa dan Arab, dengan menempatkan Beijing dan Shanghai sebagai pusat ekonomi, keuangan dan politik dunia, menggeser London dan New York”.
Untuk menjamin terwujudnya projek OBOR, China lalu membentuk skema pendanaan melalui Asia Infrastructur Invesment Bank (AIIB) dan New Silk Road Fund. Projek One Belt One Road (OBOR) oleh banyak pengamat dikatakan persis dengan Marshall Plan, sebuah rencana program ekonomi skala besar pada tahun 1947-1951 yang digerakan oleh Amerika usai perang dunia. Demikian juga, pembentukan Asia Infrastructur Invesment Bank (AIIB) dapat dianggap sebagai saingannya Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Sebelumnya, ambisi univikasi dan integrasi dunia telah berhasil dilakukan oleh kapitalisme barat dengan konsep One Goverment One System, yaitu cita-cita mewujudkan dunia dalam satu pemerintahan dan satu sistem dunia, yaitu sistem ekonomi liberalisme dan demokrasi liberal, dengan sebuah pemerintahan yang dikendalikan melalui IMF, WB, WTO dan PBB.
Kedua, patahan sejarah ke depan, meminjam pandangan Burhan Rosyidi (pemerhati masalah sosial dan spiritual), bisa juga disebabkan oleh terjadinya gesekan antara dua rezim di dalam tubuh kapitalisme, yaitu gesekan antara rezim kapitalisme SDA berhadapan dengan rezim kapitalisme teknologi.
Saat ini memang sedang terjadi pergeseran kekuatan dan kekuasaan, dari kekuasaan rezim kapitalisme sumber daya alam kepada rezim kapitalisme teknologi. Sekian abad lamanya, rezim kapitalisme sumber daya alam yang berwujud kolonialisme dan imperialisme, dalam bentuk yang lama maupun dalam wujud yang baru, telah mengusai dan menjajah dunia.
“Ketergantungan pada sumber daya alam yang disertai terbatasnya penemuan teknologi eksplorasi energi telah mengubah dunia menjadi lautan penjajahan, penindasan dan perbudakaan. Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah telah menjadi lautan darah dan air mata justru karena dianugerahi sumber daya alam yang melimpah”.
Tercatat mulai dari era kekuasaan “predator” VOC yang selama ratusan tahun menjajah bangsa Indonesia, hingga “predator” The Seven Sister, yaitu tujuh perusahaan raksasa kartel minyak, Exxon, Shell, British Petroleum (BP), Gulf, Texaco, Mobil dan Chevron atau Socal, yang telah sekian lama menjajah dan mengendalikan arah dunia sebagai pemerintahan bayangan (shadow goverment).
Kini para “predator” sumber daya alam tersebut sedang meratap bangkrut, tengkurap, lantaran telah ditemukannya berbagai teknologi baru untuk mengeksplorasi berbagai jenis energi yang disediakan Tuhan di hamparan alam semesta. “Sesungguhnya tak ada yang namanya krisis energi seperti yang digembar gemborkan selama ini, yang tepat adalah belum ditemukannya teknologi baru yang efisien untuk menggali energi yang terhampar”.
Menyusul tengkurapnya predator kapitalisme sumber daya alam, kini mulai berkibar “nabi” baru, “nabi” yang dilahirkan oleh revolusi teknologi informasi dan digital. Steve Jobs (Apple), Bill Gates (Microsoft), Andrew Rubin (Android OS), Larry Page (Google), Mark Zuckerberg (Facebook), Jan Koum (Whatsapp), Jack Ma (Alibaba), dll. adalah diantara “nabi” baru tersebut.
Mereka Para “nabi” baru tersebut adalah kekuatan baru yang mempunyai pengaruh besar di dunia karena memegang kendali hard ware dan soft ware informasi, dalam berbagai survey juga telah menempatkan mereka sebagai orang terkaya, menggeser orang-orang yang kaya dari minyak. [Nicholas]
Comment