Wacana PPN Bahan Pokok Dan Pendikan, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Opini795 Views

 

 

 

Oleh :Nurul Azimah, Aktivis dakwah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Seperti itu kiranya gambaran yang dialami oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Masyarakat telah terpuruk dengan pandemi yang telah  2 tahun berlangsung kini ditambah lagi dengan wacana pemerintah yang akan menerapkan pajak terhadap bahan pokok.

Dilansir liputan6.com, Kamis (10/6/2021), pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako). Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 th.1963 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.(KUP). Mengacu pasal 4A RUU KUP.

Rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok tetsebut mendapat respon negatif dari pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.

Aseng, salah satu pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, merasa tidak senang lantaran kondisi pembeli juga belum pulih akibat pandemi Covid-19 yang masih berlanjut.

“Dalam pandemi begini,  masa harus ditambah pajak, ya istilahnya kurang sreg lah, ujar Aseng seperti dilansir kompas.com, Kamis (10/6/2021).

Wacana perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako, pendidikan dan penyedia pelayanan kesehatan mengundang polemik di tengah masyarakat.

Rakyat yang sudah semakin sulit  memenuhi kebutuhan hidupnya di masa pandemi, banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja menambah daftar pengangguran di negeri ini. Belum lagi menurunnya daya beli masyarakat juga mengakibatkan turunnya omset bagi para pedagang.

Mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, sungguh menjadi telah menjadi beban berat rakyat. Semakin pelik dengan wacana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok termasuk penyedia layanan kesehatan.

Wacana PPN terhadap kebutuhan pokok tentu sangat meresahkan masyarakat, karena di saat pandemi seperti ini sektor yang masih bisa bergerak secara produktif justru sektor pangan. Jika sektor pangan dikenai pungutan berupa pajak maka akan berdampak kepada harga jual produk pangan tersebut.

Harga akan melambung tinggi dan jika kemampuan masyarakat untuk membeli menurun maka menurun pula daya beli masyarakat. Di sisi lain justru PPN barang-barang mewah diberikan relaksasi dengan alasan untuk menstimulasi konsumsi masyarakat menengah ke atas terhadap barang-barang mewah.

Tampak sekali keberpihakan pemerintah kepada para pemilik modal sementara rakyat kalangan bawah yang membutuhkan perhatian negara dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya justru semakin dibebani dengan pajak-pajak.

Tidaklah mengherankan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis pajak menjadi sumber utama pendapatan negara. Penyelenggaraan negara sangat tergantung dari penerimaan pajak. Bahkan sekarang ini pembangunan negara 82% disokong dari pajak.

Sedangkan di dalam Islam, pajak diberlakukan pada kondisi Baitul Mal tidak ada harta atau uang. Pajak dipungut dari kalangan muslim yang kaya dan tidak bersifat permanen, artinya jika Baitul Mal sudah kembali normal maka pajak pun tidak diberlakukan.

Dalam sitem makro ekonomi syari’ah, pajak tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan utama negara. Negara memiliki Baitul Mal dengan sumber pendapatan dari zakat mal, pengelolaan harta kepemilikan umum dan pengeleloaan harta kepemilikan negara.

Sudah saatnya beralih dari sistem kapitalis yang merusak tatanan keadilan  kepada sistem Islam yang adil terhadap semua manusia.

Karena hanya  Islam yang menjadi solusi dari berbagai macam problematika kehidupan yang ada sekarang ini. Allahu a’lam bishshowab.[]

Comment