Marital Rape Antara Sekularisme Dan  Keluarga Muslim

Opini590 Views

 

 

 

Oleh:  Lulu Nugroho, Muslimah Revowriter

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-28 diperingati setiap tanggal 29 Juni sebagai pengingat bahwa keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat memiliki peran penting menjaga kesatuan bangsa dan  memperkuat ketahanan nasional.

Namun begitu, mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara mudah. Seperti yang baru-baru ini terjadi, tatkala keluarga di tanah air menghadapi babak baru dengan adanya pasal kontroversi pada RUU KUHP yang disinyalir akan mengancam keutuhan keluarga.

Pada pasal 417 dan 418 menyatakan bahwa suatu kasus disebut sebagai perzinaan jika dilakukan oleh orang yang sudah menikah, dan terdapat delik oleh pasangan sah, anak atau orang tua. Sebaliknya jika tidak ada pelaporan, maka tidak akan dibawa ke ranah hukum. Terdapat kelonggaran dari pasal ini, sehingga rawan terjadi perselingkuhan.

Karena melakukan hubungan seksual tanpa paksaan dengan siapapun, asalkan suka sama suka, tidak akan diperkarakan selama tidak ada pengaduan. Alhasil nilai budaya bangsa dengan adab ketimurannya, perlahan namun pasti akan terkikis sedikit demi sedikit, digiring ke arah pergaulan bebas.

Pasal kontroversi lainnya adalah 479 ayat 2 poin a Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mengatur tentang tindak pemerkosaan atau rudapaksa yang dilakukan suami terhadap istri, maupun sebaliknya, yang disebut dengan marital rape.

Secara terminologi, marital rape berarti pemerkosaan dalam pernikahan. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), marital rape dalam perspektif korban merupakan kekerasan terhadap istri dalam bentuk persetubuhan paksa dengan cara tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan.

Maka tak ayal hal ini mulai menuai polemik di masyarakat. Rumah tangga tanpa pijakan pondasi iman dan ilmu, akan oleng dengan adanya pasal-pasal ini. Sebab ketika istri merasa diperkosa, maka ia bisa melaporkan suaminya. Dan mirisnya, ternyata kasus semacam ini sudah mulai mendapat perhatian dan beberapa berani melapor.

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini seperti dilansir detik.com (16/6/2021) menyatakan, “Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan.”

Meski demikian, konsep marital rape sendiri masih belum populer di kalangan masyarakat. Antara ada dan tiada. Boleh jadi bahkan tidak terlalu dianggap, jika saja media tidak menyebarkannya. Akan tetapi dengan melenggangnya RUU KUHP beserta pasal-pasal kontroversinya menuju prolegnas, menjadikannya seolah dipaksakan masuk dalam kultur masyarakat.

Kersti Yllö, MA, PhD, seorang Profesor Sosiologi di Wheaton College (MA), menulis dalam buku Marital Rape: Consent, Marriage, and Social Change in Global Context : Pemerkosaan dalam pernikahan adalah masalah global yang mempengaruhi jutaan wanita. Hal ini masih legal di banyak negara dan hanya dikriminalisasi di semua negara bagian AS pada tahun 1993.

Aroma feminisme terasa sangat kental. Dengan dalih bahwa perempuan memiliki otoritas pada tubuhnya, maka tidak boleh menjadi subordinat di bawah kontrol suami. Karenanya pasal-pasal ini menjadi angin segar pada pegiat gender. Tapi tidak, bagi keluarga muslim yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini.

Lebih jauh lagi ide kebebasan selalu menyasar syariat, dengan asumsi bahwa Islam memberi peluang terjadinya dominasi suami terhadap istri. Melihat fakta yang demikian, maka tampak betapa besar bahayanya jika keluarga muslim diatur oleh hukum yang bukan berasal dari Allah. Bangunan keluarga akan goyah atau bisa jadi hancur.

Rumah Tangga dalam Islam

Sementara rumah tangga dalam Islam tidak hanya berkenaan dengan hak dan kewajiban yang dikaitkan dengan dorongan ketaatan kepada Allah. Namun di sana terdapat ruang untuk berkasih sayang. Pergaulan antara suami dan istri adalah hubungan kemitraan yang indah dengan jalinan penuh kasih sayang.

Keluarga menjadikan gerak suami dan istri, seia sekata. Bahkan mampu menyatukan visi dan misi membangun peradaban Islam. Maka ketika terjadi konflik, akan dikembalikan pada hukum syara’. Innil hukmu ila lillah, tidak ada keputusan yang baik kecuali hukum Allah. Tidak dengan saling menganiaya atau menyakiti fisik dan psikis pasangannya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَـكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَاۤ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّاۤ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَا حِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَا شِرُوْهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِ نْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰۤى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـئًـا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 19).

Kasus kekerasan dalam rumah tangga justru disebabkan karena pernikahan itu berdiri di atas pondasi yang rapuh, yakni sekularisme. Tidak melibatkan Allah dalam persoalan rumah tangga.

Maka wajar jika berbagai kerusakan muncul akibat berhukum dengan aturan buatan manusia yang sangat sekularistik. Jika solusi pun tidak berasal dari Allah, maka dipastikan rumah tangga tersebut sulit tegak menggapai kebahagiaan hakiki.

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah menjaga nasab dan kehormatan manusia. Karenanya tidak bisa dilakukan oleh individu. Negara memiliki peran krusial dengan segala pengaturannya, serta sistem yang apik demi menjaga keluarga dan seluruh kemaslahatan yang akan lahir di sana. Maka kembali pada aturan Islam adalah sebaik-baik perkara.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ۙ فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقٰى

“…Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(QS. Ta-Ha 20: Ayat 123).[]

Comment