Oleh : Anggraeni S.E, Instruktur Sekolah Alam
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Menteri BUMN Eric Thohir sedang dihadapkan pada kondisi terpuruknya keuangan beberapa bidang BUMN. Laporan keuangan yang dirilis perusahaan konstruksi BUMN, PT Waskita Karya (Persero) mengalami kerugian hingga Rp7,3 triliun.
Begitupun PT PLN (Persero) tidak luput dari jerat hutang sebesar Rp 500 Triliun. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) bahkan terancam bangkrut karena terlilit hutang yang mencapai Rp 70 Triliun. (https://ekbis.sindonews.com/read/447836)
Pengamat ekonomi menilai kerugian yang dialami BUMN ini dikarenakan banyak faktor. Semisal kerugian yang dialami badan usaha sektor konstruksi disebabkan karena penugasan pemerintah yang dibarengi dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak sesuai. Terlebih dengan adanya pandemi covid-19 yang berdampak pertumbuhan ekonomi dikuartal III 2020 minus 2,07 persen. SSebelumterjadinya pandemi juga sudah banyak kerugian dialami BUMN.
Hal tersebut dikarenakan rekayasa laporan dan tidak adanya kontrol atas BUMN sebelumnya. Sedangkan PT Garuda menanggung utang dikarenakan ketidakefisienan, banyak rute penerbangan yang tidak menghasilkan keuntungan. (https://finance.detik.com/bursa-dan-valas).
Fakta terpuruknya BUMN dikarenakan jerat hutang semakin membuktikan ada yang salah dalam tata kelola BUMN. Indikasinya, BUMN merugi dan utang terus bertambah. Dari pelaksanaan hingga pengawasan bermasalah.
Lebih dari itu, terdapat paradigma yang salah kaprah terkait BUMN yang disamakan dengan perusahaan yang tujuan utamanya memperoleh keuntungan.
Tata kelolanya dilaksanakan orang-orang bermental kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Pengawasan pun lemah karena negara hanya berperan sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis.
Tidak hanya itu, privatisasi BUMN semakin nyata. Berdasarkan Undang-Undang, negara cukup memiliki 51 persen saham perusahan bisa dikatakan BUMN. Sisanya swasta bisa menanamkan modal hingga 49 persen di dalamnya.
BUMN dituntut dengan proyek strategis nasional, untuk memperoleh keuntungan besar. Padahal, keberadaan BUMN sangat penting dalam mengurus kebutuhan rakyat, semisal Pertamina dan PLN.
Tata kelola yang salah dan paradigma pengurusan rakyat yang berkiblat pada ideologi kapitalisme membuat BUMN tersungkur.
Islam mengklasifikasikan harta publik menjadi kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum meliputi sektor yang memenuhi hajat hidup publik dan harta SDA yang tidak terbatas (air, infrastruktur jalan, energi, hutan, tambang minerba) tidak boleh dikelola selain oleh negara sendiri.
Keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah/kontak. Maka terlarang ada kontrak karya ataupun penanaman modal dalam BUMN yang mengelola kepemilikan umum. Negara tidak boleh mengambil untung dari harta milik rakyat ini.
Sumber daya alam, khususnya tambang-tambang yang besar, dikelola negara dan ditingkatkan nilai tambahnya, kemudian sebagian hasilnya dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, yang selanjutnya dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat secara gratis. Jika negara mengambil harga atas barang kepemilikan umum hanya untuk menutupi biaya operasional dalam pengelolaan kepemilikan umum tersebut.
Sedangkan kepemilikan negara berupa pengelolaan bangunan, tanah, dan perkebunan bisa diberikan kepada rakyat atau dikelola oleh BUMN yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan tidak berperan sebagai pebisnis ketika berhadapan dengan kemaslahatan publik.
Di samping itu, negara tidak memungut biaya kepada rakyat terhadap pemanfaatan fasilitas umum, karena pada hakikatnya fasilitas umum tersebut adalah milik rakyat, bukan milik negara.
Industri yang bergerak di sektor kepemilikan umum yaitu BUMN, harus bebas dari privatisasi. Privatisasi berarti akan meniadakan hak-hak publik menggunakan dan mengonsumsinya.
Negara dan BUMN harus bersinergi agar hak-hak publik atas kekayaan alam bisa dinikmati secara adil dan bijaksana. Sehingga dalam pandangan islam tidak ada istilah untung rugi dalam BUMN yang mengelola kepemilikan umum.
Namun paradigma yang benar adalah memaksimalkan pengelolaan dan pendistribusi yang merata kepada rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan paradigma kapitalis yang ikut masuk dalam BUMN saat ini. Negara akan bersuka cita saat BUMN mampu menghasilkan laba yang besar, namun pusing tujuh keliling saat BUMN mengalami kerugian. Dan setengah hati jika harus menyuntikan dana demi menyelamatkan BUMN.
Semua itu hanya bisa diterapkan manakala paradigma dan pengelolaan SDA berpijak pada sistem Islam dan negara yang menerapkan sistem islam. Dengan hal tersebut maka kesejahteraan akan dirasakan seluruh rakyat. Wallohu’alam bishowab.[]
Comment