Utang Luar Negeri dan Buruknya Sistem Ekonomi Kapitalisme

Opini759 Views

 

 

Oleh: Firda Umayah, S.Pd*

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Indonesia masih dijerat utang. Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020.

Tak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu (replubika.co.id/27/12/2020).

Pada dasarnya, suatu negara melakukan utang luar negeri lantaran mengalami defisit. Sehingga negara tersebut membutuhkan modal untuk menutup defisit tersebut.

Defisit terjadi lantaran anggaran negara tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pemasukan negara diambil dari pemasukan dalam negeri dan pemasukan pembangunan.

Pemasukan dalam negeri diambil dari pajak dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Sedangkan pemasukan pembangunan diambil dari utang luar negeri dan juga hasil kerjasama dengan sejumlah investor dalam pemabangunan.

Dalam sistem ekonomi pula, negara dibebaskan untuk melakukan segala upaya untuk menutupi defisit. Fakta menunjukkan bahwa jeratan utang luar negeri akibat defisit tidak hanya menimpa negara berkembang tapi juga negara besar seperti Arab Saudi dan Amerika Serikat. Negara-negara ini mengalami defisit besar khususnya sesaat setelah pandemi Covid-19 menyebar keseluruh wilayah dunia.

Kementerian Keuangan Arab Saudi memproyeksikan defisit anggaran 2020 melonjak menjadi sekitar US$ 79 miliar (Rp 1,1 kuadriliun, asumsi Rp 14.148/US$) (cnbcindonesia.com/16/12/2020).

Sementara itu, hasil perhitungan akhir anggaran pemerintah AS menyebutkan negara Paman Sam tersebut mengalami defisit anggaran hingga USD 3,13 triliun atau sekitar Rp 46.212 triliun (asumsi kurs Rp 14.764) di tahun fiskal 2020 (liputan6.com/18/10/2020)

Hal yang pasti dalam ekonomi kapitalisme, utang luar negeri yang diberikan tentu mengandung sejumlah bunga yang telah disepakati sebelumnya. Akibatnya, sebesar apapun upaya yang dilakukan negara untuk terbebas dari jeratan hutang akan semakin sulit. Sehingga, rakyat akan kembali menjadi korban atas penerapan sistem ekonomi ini.

Negara akan menaikkan pajak yang justru akan menimbulkan daya beli menurun sehingga inflasipun akan semakin meningkat. Inilah buah simalakama dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Jalan terakhir yang bisa dilakukan untuk mengurangi cicilan pokok dan bunga hutang yang terus melambung adalah dengan menjual aset negara yang akan membawa negara menjadi negara miskin dan bangkrut.

Jika seperti ini, masihkah kita rela mempertahankan sistem ekonomi yang jelas merusak dan menyengsarakan ini?[]

*Penulis adalah seorang praktisi pendidikan

Comment