RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar.
Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari. Uang itu diduga berasal dari kesepakatan fee penunjukan rekanan pengadaan bansos COVID-19 ini sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. (Detik.com 6/12/2020).
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bahuri juga menyatakan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara bisa diancam dengan hukuman mati, jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU 31 tahun 99 pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati,” ujar Firli di Gedung KPK.
Dalam beberapa kesempatan, Filri juga kerap mengancam semua pihak agar tidak menyalahgunakan bantuan sosial, sebab ancaman hukumannya adalah mati. Apalagi, Menurut Firli, pemerintah juga telah menetapkan pandemi virus Corona Covid-19 ini sebagai bencana nonalam. (Merdeka.com 6/12/2020)
Sementara itu, Institute for Criminal Justice (ICJR) menentang keras pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh pemerintah seharusnya fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.
Narasi pidana mati menandakan bahwa pemerintah berpikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan pidana mati untuk tindak pidana korupsi juga akan mempersulit kerja-kerja pemerintah dalam penanganan korupsi, sebab banyak negara yang jelas akan menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati.
Pembaruan sistem pengawasan yang harus dirombak ketimbang bersikap reaktif dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap kasus-kasus individual. (Merdeka.com 6/12/2020).
Korupsi Kian Menggurita Dalam Sistem Demokrasi Sekuler
Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terhadap tren persepsi publik tentang korupsi di Indonesia. Hasilnya, 45,6 persen responden menilai korupsi Indonesia meningkat dalam 2 tahun terakhir.
Juliari Batubara menjadi menteri keempat yang tersandung kasus dugaan korupsi terhitung sejak periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi (2014-2019). Korupsi terhadap bansos dipandang perilaku kejam yg pantas diganjar hukuman mati, namun dalam sistem demokrasi wacana ini dimentahkan.
Sayangnya dengan adanya kasus tersebut, masyarakat sering kali salah mengira. Bahwa Korupsi politik dan suap menyuap terjadi karena kesalahan individu, bukan kesalahan sistemik. Padahal fakta menunjukan sistem lah yang menghasilkan individu-individu bermasalah.
Sistem ini pula yang membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai bentuk korupsi dan suap menyuap.
Dalam sistem sekuler, urusan agama tidak boleh ikut campur dengan urusan manusia. Apalagi urusan pemerintahan, aturan Allah haram mengurus pemerintahan.
Sekuler, memisahkan aturan agama dari kehidupan. Agama hanya diterapkan ketika ibadah ritual semata dan dalam segala aspek kehidupan aturan agama ditinggalkan.
Selain itu korupsi diakibatkan sistem sekuler dan demokrasi rapuh itu sendiri, yang membutuhkan biaya tinggi dalam meraih kekuasaan. Karena itu, mereka membutuhkan dukungan politik dan modal. Banyak diantara mereka yang memperoleh dananya berasal dari sumbangan partai atau para cukong kapitalis.
Namun, semuanya yang didapat tersebut tidaklah gratis, ketika mereka terpilih dan berkuasa, maka mereka akan dipengaruhi oleh partai dan cukong kapitalis tersebut.
Selain itu, sanksi pidana di negara demokrasi sangatlah ringan. Sehingga tidak memberikan efek jera bagi para pelaku maupun yang lain.
Maka bukan hal aneh jika kasus korupsi dan suap menyuap semakin tumbuh subur. Pertanyaan yang perlu digaris-bawahi adalah, mampukah demokrasi sekuler memberantas kasus korup tersebut?
Berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam kekuasaan berada pada tangan rakyat dan kedaulatan berada dalam hukum Allah Swt, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Artinya kepala negara yang diangkat yaitu yang mendapatkan Ridha rakyat. Sehingga mereka mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai Al-Qur’an dan hadis.
Mekanisme Islam Mengatasi Korupsi
Dalam Islam, pengangkatan kepala daerah dan majelis umat atau majelis wilayah sangat berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Sehingga para pejabat yang terpilih tidak akan melakukan kecurangan baik korupsi, suap menyuap atau pun yang lain.
Namun, demikian dalam Islam tetap ada seperangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara. Sebab, dalam Islam dilarang menerima harta ghulul atau harta yang diperoleh para wali setingkat gubernur, para Amil, dan pegawai negara dengan cara tidak syar’i. Baik harta tersebut diperoleh dari harta milik negara ataupun harta milik masyarakat.
Adapun aturan dalam negara khilafah untuk mengatasi kecurangan, korupsi dan suap menyuap adalah sebagai berikut:
1) Ketakwaan individu.
Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, ketakwaan individu sangat diutamakan. Selain keahlian atau profesi. Sebab dengan ketakwaan yang tinggi, maka nilai kontrol pada diri sendiri akan kuat, bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar.
Sebab semua itu, akan diminta pertanggun jawaban baik di dunia maupun di akhirat.
2) Badan pemeriksa keuangan. Dalam pemerintahan Islam untuk mengetahui pejabat atau pegawai melakukan kecurangan atau tidak, maka Khalifah membentuk badan pemeriksa keuangan. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab. Beliau meminta kepada Muhamad bin Maslamah untuk mengawasi harta pegawainya. Baik sebelum, saat, dan setelah menjadi pejabat.
3) Gaji yang diberikan pada pejabat atau pegawai pemerintahan harus memenuhi kebutuhan.
4) Seperangkat hukum yang mengikuti Al-Qur’an dan as-sunah. Sehingga dengan hukum tersebut akan membuat efek jera bagi para pelaku dan yang lain. Selain itu, dengan hukum tersebut akan menjadi jawabir yaitu penebus, artinya ketika pelaku telah diberi sanksi sesuai hukum syara, maka pelaku tersebut telah bebas dari azab Allah Swt. Di akhirat kelak.
Inilah yang dilakukan para khalifah dulu dalam mengatasi korupsi, suap-menyuap dan yang lain. Oleh karena itu, apakah kita akan terus mempertahankan sistem buatan manusia yaitu Demokrasi? Tentu tidak bukan?
Demokrasi dan sekuler yang telah rapuh tidak bisa menyelesaikan masalah secara tuntas. Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang dapat mengatasi semua problematika kehidupan secara tuntas, yakni Islam. Insyaallah.Wallaahu a’lam bishshawaab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment