RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw. bersabda: “Abu Ad Darda berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “… Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [Diriwayatkan Abu Daud no. 3641]
Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan 2020-2025 resmi diumumkan. Ada nama-nama baru, namun wajah lama hilang misalnya, nama Din Syamsuddin dan sejumlah ulama yang identik dikaitkan dengan Aksi 212 terdepak dari kepengurusan. Nama Din digeser Ma’ruf Amin. Wakil Presiden RI itu kini mengemban jabatan Ketua Dewan Pertimbangan MUI (27/11/20).
Dari struktur baru tersebut, raib juga nama mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan wasekjen Tengku Zulkarnain, dan mantan sekretaris Wantim Bachtiar Nasir. Keempatnya dikenal sebagai tokoh yang keras mengkritik pemerintah. Din aktif di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan tiga nama terakhir merupakan pentolan Aksi 212 (CNNIndonesia, 27/11/20).
Tentu menjadi pertanyaan, karena ulama yang tak lagi menjabat di struktur kepengurusan MUI sekarang adalah ulama yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah. Wakil Ketua Komisi VIII dari DPR, yang memiliki ruang lingkup tugas bidang keagamaan, Ace Hasan Syadzily menyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan organisasi politik. Dalam Islam, seorang ulama lantang menyuarakan kebenaran, melakukan aktifitas amar makruf nahi munkar dan mengoreksi penguasa adalah bagian dari perintah Allah, bukan politisasi agama.
Menjalankan perintah Allah adalah sesuatu yang wajib, dorongannya adalah keimanan dan ketakwaan. Semata-mata ingin meraih ridha dan pahala dari Allah.
Namun, dalam sistem demokrasi-kapitalisme asas sekuler telah menjalar ke tubuh umat. Sehingga pemisahan agama dari negara dan kehidupan mutlak harus dilakukan. Memasukkan hal-hal yang berbau agama dalam pemerintahan, sesuatu yang tidak boleh dilakukan bahkan akan ditentang dan dihadang baik dengan cara soft ataupun hard.
Pengumuman struktur baru tersebut dikomentari oleh seorang pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin. Beliau menilai dominasi dan kekuatan Ma’ruf Amin di MUI sangat kentara. Membuka dugaan kuat campur tangan pemerintah di payung besar para ulama tersebut. Beliau mengatakan MUI sangat strategis bagi pemerintah, sebab ormas ini mengumpulkan berbagai ormas Islam dalam satu wadah. Sementara pemerintah punya masalah dengan kelompok Islam kanan yang diorkestrasi Rizieq Shihab. Dengan menggandeng MUI, posisi pemerintah tentu akan jadi lebih aman.
Senada dengan peneliti politik LIPI, Siti Zuhro menilai ada upaya penyeragaman suara di MUI. Lalu membandingkannya dengan cara pemerintah Orde Baru dalam merangkul kelompok-kelompok masyarakat. Beliau melihat ada upaya kubu pendukung pemerintah untuk menyamakan suara di kalangan masyarakat, salah satunya di MUI dan menyebutnya sebagai state coorporatism.
Seharusnya, menurut beliau, kelompok-kelompok yang berbeda pandangan tidak didepak dari kepengurusan MUI. MUI dibentuk untuk mewadahi berbagai ormas Islam. Meski begitu, beliau menilai upaya menyingikirkan suara sumbang di MUI bukan kemenangan mutlak kubu pendukung pemerintah. Kemudian mengingatkan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh elite.
Bisa dilihat, bahwa ulama yang lantang menyuarakan kebenaran akan dihadang. Maka tak heran jika keberkahan hilang dari negeri ini. Sudahlah enggan menerapkan aturan Allah, ditambah menghadang para ulama yang menginginkan kebaikan negeri berlandaskan agama. Suka ataupun tidak suka, nelangsa yang akan dihadapi masalah demi masalah tidak akan terurai dan selesai.
Berkah adalah bertambah kebaikan, bertambah ketaatan kepada Allah. Sudah Allah beri ulama agar tidak semakin jauh dari jalan Allah tapi malah disingkirkan. Lalu, bagaimana akan berjalan pada kebaikan dan taat kepada Allah. Negeri ini sedang diuji pandemi, mestinya menjadi sarana introspeksi agar segera kembali pada aturan Allah tapi malah lebih jumawa.
Harusnya mendekat pada ulama sebagai pewaris nabi, tapi malah menjauh dan semakin menjauh. Ibarat berjalan di tempat gelap, sudah menemukan cahaya tapi cahaya itu dipadamkan dengan sengaja. Menganggap diri mampu, padahal sebenarnya tidak mampu. Bagi ulama, di manapun berada tetap lantang menyuarakan kebenaran, melawan kezaliman dan mengoreksi penguasa karena jika tidak dilakukan, Allah akan murka.
Adapun mengakhiri sistem yang rusak adalah dengan cara menerapkan aturan Allah, ulama dan umat bersinergi memperjuangkannya. Momen 212 yang sudah pernah dilewati tetap menjadi pengingat bahwa umat butuh perubahan dan persatuan. Umat butuh pemimpin yang akan menyatukan umat dan berani menjadi pioneer dalam pelaksanaan syariah Allah.
Sistem zalim ini harus segera diakhiri, diganti dengan syariah Allah yang akan memberikan ketenangan, kenyamanan dan kemaslahatan. Allahu A’lam Bi Ash Shawab.[]
*Kontributor media dan pemerhati kebijakan publik
Comment