RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pemuda pada hakikatnya adalah ujung tombak perubahan suatu bangsa. Jika terdapat suatu kekeliruan dalam tindakan mereka maka mengatasinya bukan dengan senjata atau kekerasan tapi bimbinglah dengan ilmu dan kesabaran.
Penggalan kalimat di atas menggambarkan sebuah kondisi beberapa waktu lalu saat terjadi gelombang penolakan oleh semua elemen masyarakat terhadap disahkannya UU Omnibus Law karena dianggap tak berpihak pada rakyat.
Penolakan itu juga dilakukan oleh mahasiswa sebagai agent of change yang didasari oleh intelektual tinggi yang sedang menggali ilmu di sebuah institusi belajar formal.
Memang selayaknya, mereka turun memberi aspirasi yang diikuti para pelajar setingkat menengah ke atas yang turut berpartisipasi menolak UU ini.
Namun sangat disayangkan bahwa upaya mengekspresikan aspirasi yang dijamin oleh undang-undang itu mendapat sanksi. Terkait sanksi ini sedang diwacanakan oleh pihak kepolisian.
Salah satu wacana sanksi tersebut adalah mempersulit pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kepada para pelajar yang terbukti melanggar hukum dalam demonstrasi anti-UU Cipta Kerja, dan ini dikritik sejumlah pihak.
Kepolisian mengklaim kebijakan itu akan ditempuh untuk memberikan “efek jera” kepada para pelajar tersebut.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai mekanisme itu justru mengancam masa depan para pelajar.
Mereka hanya perlu dibimbing dan diarahkan jika terbukti bersalah. Bukan memberi sanksi yang justeru mematikan nilai nilai korekstif yang tumbuh dalam jiwa dan mental mereka. Apa lagi membatasi mahasiswa menjalankan fungsi dan haknya.
Terkait hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan surat edaran dan mengimbau agar mahasiswa tidak ikut demonstrasi.
Hal ini tertuang dalam surat edaran Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Nomor 1035/E/KM/2020 perihal ‘Imbauan Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja’.
Surat ini diteken oleh Dirjen Dikti Kemendikbud Nizam pada Jumat (9/10) dan ditujukan kepada pimpinan perguruan tinggi serta ditembuskan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Dirjen Pendidikan Vokasi Kemdikbud Wikan Sakarinto, dan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I-XVI.
Kemendikbud mengimbau mahasiswa tidak berpartisipasi dalam kegiatan penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan kesehatan mahasiswa, seperti demonstrasi atau unjuk rasa. Sebab, pandemi di Tanah Air belum mereda.
Mereka juga menghimbau para mahasiswa/i untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa/i di masa pandemi.
Jadi apa makna merdeka belajar jika hak-hak para intelektual ini tak bisa dijalankan?
Sebenarnya, mahasiswa dan buruh sebagai penggerak utama unjuk rasa bukannya tidak mengetahui bahaya yang mengintai mereka, bahwa potensi terciptanya klaster unjuk rasa itu besar.
Namun di satu sisi mereka melihat adanya ketidak berpihakan buat rakyat yang begitu tampak terhadap pengesahan UU Cipta Kerja tersebut sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan dan perbaikan.
Jika pelarangan Nadiem kepada mahasiswa untuk berdemonstrasi karena alasan pandemi, mengapa pemerintah dengan ngototnya tetap akan menyelenggarakan Pilkada?
Makna Merdeka Belajar Ala Kapitalisme dan Islam
Mendikbud Nadiem Makarim yang membuat terobosan “Merdeka Belajar” yang intinya adalah kemerdekaan berpikir, adanya kebebasan untuk mengajarkan muridnya dalam menerjemahkan konsep di tingkat apapun. Suasana bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor nilai. Artinya antara guru dan murid bisa bebas dalam mengekspresikan materi belajar, harapannya terdapat output yang berkualitas.
Sungguh disayangkan jika kebebasan generasi intelektual dibungkam aspirasinya, diberangus kreativitasnya, diancam dengan sanksi administratif jangka panjang terhadap masa depan mereka.
Makna mahasiswa ideal dimata pemerintah pun adalah terbatas pada nilai akademiknya, fokus belajar, abai pada fakta yang ada. Lalu setelah lulus bisa bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar.
Apatis, lupa permasalahan umat. Sedangkan mahasiswa yang menyuarakan suara dianggap sebagai mahasiswa yang tidak baik, diopiniumumkan bahwa mereka pembangkang rezim, harus diawasi.
Buah dari pengajaran akidah Islam yang implementasinya melahirkan pendidikan yang pola pikirnya adalah talqiyyan fikriyyan (belajar yang sampai tahap pemikiran) telah ditelaah dan dipraktikkan oleh mahasiswa dan pelajar yang sudah mengkaji serta mereka menjadi kritis dengan berbagai keadaan.
Mereka paham bahwa Omnibus Law atas restu intervensi asing dan kepentingan oligarki kekuasaan yang mencengkram negeri ini, dan produk sistem kapitalis. Cara mengatasinya juga harus dengan perubahan fundamental yaitu menolak sistemnyaemokrasi kapitalis.
Jika ingin merubah sistem demokrasi kapitalisme harus menggunakan metode di luar aturan main sistem ini
Metode sahihnya dalam perubahan adalah metode yang berlandaskan Alquran dan Sunah.
Karena Islam mampu menyelesaikan seluruh permasalahan manusia dan kehidupannya, termasuk permasalahan bernegara.
Karena mahasiswa dalam pandangan Islam adalah sebagai ahlul ilmu, orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah. Dan sebagai pemuda agen perubahan yang tampil di garda terdepan dalam memperjuangkan kebenaran.
Layaknya Muhammad AlFatih, Salahudin Al Ayyubi, Khalid bin Wallid, Zaid bin Haritsah, dan banyak lagi,,,,
Marilah bersatu para pemuda agen perubahan terus melawan sistem yang tak berpihak pada rakyat dan selalu berpegang pada AlQuran, gapai cita-cita tertinggi dengan kemegahan penerapan arutan Islam Kaffah.Wallahu alam (IA)
*Praktisi pendidikan
Comment