RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Prahara awal tahun 2018 yang sempat mewarnai kontestasi Pilgub Jatim kini berangsur sirna. Adanya mahar politik dari partai sebenarnya tidak bisa ditampik. Kalaulah itu menjadi polemik menunjukan bahwa politik butuh duit. Mana ada DP Rp. 0 dalam politik demokrasi liberal. Era kini, Indonesia sesungguhnya memasuki politik demokrasi liberal. Pasalnya, instrumen modal dan uang bisa menentukan kemenangan.
Justru yang menarik dari Pilgub Jatim adalah kehadiran kembali arek Surabaya, Khofifah Indar Parawansah. Juru Bicara Jokowi pada Pilpres 2014. Pun dua kali gagal meraih trophy Gubernur, kini babak ketiga Khofifah mencoba meraih juara. Istilahnya Khofifah ingin jadi khalifah (pemimpin). Perlu diketahui, sesungguhnya istilah khalifah khas dalam sistem pemerintahan Islam yang menerapkan Islam kaffah. Tidak ada upaya menyamakan istilah khalifah dengan gubernur dalam politik demokrasi.
Jikalau di awal persaingan antar-paslon gubernur begitu menarik, pasca kemunduran Azwar Anas konstelasi berubah drastis. Padahal banner, kalender, baliho besar, dan ragam kampanye Gus Ipul-Azwar Anas telah tersebar luas. Apa mau dikata, itulah politik yang bisa berubah dinamis. Gus Ipul (GI) yang begitu optimis tampak setengah pesimis. Pasalnya, kursi Gubernur begitu dinanti setelah mendampingi Pakde Karwo.
Kini indikasi kemenangan Khofifah begitu tampak. Hal ini dapat dianalisis sebagai berikut:
Pertama, Puti Guntur Soekarno (Cawagup GI) namanya baru dikenal publik Jawa Timur. Adapun komunikasi yang baru dibangun tidak bisa begitu cepat meningkatkan elektabilitas. Seperti penuturan PDI-P, Puti daftar di Jabar tapi ditugaskan di Jawa Timur. Apakah masyarakat Jawa Timur tertarik dengan Puti? Tampaknya ini perlu kerja keras dari Parpol pengusungnya.
Kedua, dari sisi partai pendukung GI dan Puti tampak koalisi warna-warni. Hal ini jamak dalam politik demokrasi yang menihilkan ideologi. Kepentingan dan kesamaan tujuan menjadi hal mutlak dalam kemenangan politik. Meski PKS menyatakan pada publik koalisi dengan Gus Ipul dan tidak dengan PDI-P, publik sudah mempunyai penilaian sendiri. Hidayat Nur Wahid sudah menyatakan bahwa sudah dua kali PKS mendukung Gus Ipul pada dua kontes Pilgub Jatim. Sesungguhnya, Gus Ipul dituntut untuk bekerja lebih keras dan melipatgandakan jika ingin Jatim-1.
Ketiga, arsitek di belakang Khofifah adalah Pakde Karwo. Meski di awal Pakde sudah menyatakan tidak akan menjadi Juru Kampanye, tetap saja, kendali Partai Demokrat di Jawa Timur ada di tangannya. PD juga menjadi partai pengusung Khofifah-Emil. Masih teringat tatkala Khofifah pernah bilang: “Gusti Allah mboten sare”? Tatkala sengketa Pilgub Jatim di bawah ke Mahkamah Konstitusi. Tampaknya Khofifah paham betul bahwa Perebutan Jatim-1 bisa jadi mengabaikan Kemahatahuan Allah Swt. Buktinya bisa jadi ada kecurangan atau hal lain yang tidak pernah terungkap ke publik. Arsitek Pakde Karwo inilah yang mencoba bergerak secara sistemis dengan memanfaatkan jaringan yang sudah ada untuk pemenangan Khofifah.
Keempat, latar belakang Khofifah sebagai Menteri Sosial dan Muslimat NU jadi poin penting. Sebab pemilih perempuan berada pada 51% dari jumlah penduduk Jawa Timur. Selain itu, Badan Otonom Muslimat Fatayat akan habis-habisan mengendorse Khofifah untuk kali ini. Bahkan pernah Kyai menyebutkan memilih Khafifah adalah fardhu ‘ain.
Pada prinsipnya, Khafifah menjadi bintang baru yang diidamkan pasca Pakde Karwo lengser keprabon. Masak nyalon yang ketiga kali ini juga tidak jadi? Tampak bula, pada masa menuju pencoblosan suhu politik di Jawa Timur sedikit memanas. Pastinya, rakyat Jatim jangan sampai lengah di tengah euforia yang miskin makna. Masalah rakyat sudah banyak. Penguasa dan pejabat harus sadar untuk segera memberikan solusi terbaik. Karena penguasa itu seperti pengembala, yang akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak. []
Comment