Yuni Auliana Putri, S.Si*: Islam Melindungi Kaum Buruh

Opini579 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Beberapa hari belakangan ini Indonesia diramaikan dengan pembahasan undang-undang Cipta kerja. Pasalnya, secara tiba-tiba DPR mengesahkan undang-undang yang dinilai oleh banyak kalangan kurang mengakomodir kepentingan buruh.

Hal itu tentu membuat masyarakat Indonesia geram hingga berujung pada aksi demonstrasi penolakan oleh buruh dan mahasiswa.

Penolakan ini tentunya tidak mengherankan karena telah banyak kebijakan yang disahkan oleh DPR ini mengenyampingkan prosedur dan juga banyak substansi yang belum didalami secara komprehensif.

Sistem kapitalisme Barat yang dianut oleh negara berkembang termasuk Indonesia hari ini telah membuat banyak ketidak adilan (unjustice) dan membuat masyarakat dan terlebih kaum buruh semakin termarginalkan dari sisi ekonomi.

Islam sebagai sistem universal dan rahmatan lil alamin bagi kehidupan manusia secara keseluruhan hadir dengan syariat paripurna tentunya dapat menjadi alternatif sebagai solusi permasalahan termasuk buruh ini.

Bagaimana Islam dapat mensolusikan permasalahan ini dan mampu melindungi kaum buruh secara praktis?

Perburuhan di dalam Islam disebut ijarah. Ijarah yaitu akad atau kesepakatan atas suatu jasa dengan adanya imbalan tertentu. Ijarah hukumnya mubah atau boleh.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Abu bakar pernah memperkerjakan seorang musyrik Quraisy dari Bani Dayl sebagai penunjuk jalan saat keduanya hijrah dari Mekah ke Madinah.

Islam Melindungi Kaum Buruh

Syariat atau aturan Islam memberikan ketentuan mengenai buruh dan majikan sebagai berikut:

Pertama, perusahaan atau majikan wajib menjelaskan secara gamblang pekerjaan yang akan dilakukan oleh calon pekerja, baik waktu atau durasi pekerjaan serta besaran upah yang akan diterima.

Hal itu wajib dijelaskan dan tanpa kejelasan aqad tersebut tentu saja akan menimbulkan keburukan hubungan antara ke dua pihak.

Kedua, upah buruh tidak dinilai dari standar minimum hidup suatu daerah. Sebagaimana yang diterapkan di sistem kapitalisme hari ini. Dalam Islam upah diberikan sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja.

Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya.

Majikan dan atau perusahaan tidak diperbolehkan (Haram) mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah.

Hal tersebut merupakan bentuk dari kezhaliman. Nabi saw. bersabda:

قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaan namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

Termasuk menunda pembayaran upah/gaji pegawai, padahal mampu, merupakan kezaliman. Nabi saw. bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman (HR al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw.:

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Orang yang menunda kewajiban itu halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Negara pun wajib turut andil dalam menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil sesuai dengan ketentuan syariah atau perundanga Islam. Wallahua’lam.[]

 

Comment