RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sebuah produk liberalisasi seksual kembali digencarkan. Sexual Consent alias persetujuan seksual mungkin masih asing di telinga. Konon, adanya persetujuan seksuai ini penting agar terhindar dari kekerasan seksual meskipun dalam pernikahan.
Kekerasan seksual terhadap pasangan dalam pernikahan bisa memicu perceraian dan kehancuran dalam keharmonisan rumah tangga.
Hal ini lantas menjadi pembicaraan di banyak kalangan karena ternyata dikampanyekan pada mahasiswa baru salah satu kampus di Indonesia sebagai rangkaian materi pencegahan kekerasan seksual.
Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusia, mengatakan materi tersebut untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa baru bagaimana melindungi diri dari kekerasan seksual.
“Kami sudah menyampaikan bahwa informasi yang banyak beredar saat ini dari sepenggal slide yang berjudul sexual consent dalam konteks kekerasan seksual. Jadi pada saat diberikan kepada Maba (mahasiswa baru) jadi slide tersebut adalah satu dari serangkaian, atau banyak slide yang berhubungan dengan banyak tema cegah kekerasan seksual,” (detik.com 22/09/20).
Kadi tujuannya itu sebetulnya mata kuliah tersebut adalah untuk memberikan pemahaman kepada para mahasiswa baru untuk dapat memproteksi diri mereka. Kemudian disampaikan ‘jika anda merasa kurang nyaman mengikuti perkuliahan ini bisa stop dulu, bisa mendapatkan konseling’ jadi ada persyaratan yang sudah disebutkan di awal.
Kemudian masuk ke dalam penjelasan-penjelasan tentang apa yang harus kita lakukan untuk mengenali apa yang dimaksud sebagai kekerasan tersebut,” sebut Amelita. Namun, benarkah materi Sexual Consent bisa menghapus kekerasan seksual?
Paradigma Sexual Consent (SC) adalah hubungan seksual yang dilakukan karena persetujuan. Dan persetujuan ini diberikan secara sadar, tanpa paksaan, suka sama suka dan keihklasan, untuk melakukan aktivitas seksual.
Adanya SC dalam ikatan pernikahan dilakukan oleh suami-istri dalam ikatan pernikahan dan bingkai keluarga agar tidak dianggap kekerasan seksual. SC menjadi menyesatkan kalau diperuntukkan bagi yang belum menikah atau salah satu maupun kedua pasangan tidak terikat pernikahan.
Maka tidak heran, jika konten ini dikampanyekan sama saja mengajarkan dan pembenaran terhadap nilai dan perilaku seks bebas.
Prof. Euis Sunarti, Penggiat keluarga Indonesia, Guru Besar IPB Bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga mengatakan, Ketika konsep Sexual Consent (SC) diajarkan kepada pasangan yang tidak terikat pernikahan, bahkan kepada mahasiswa dan remaja, tanpa memasukkan nilai agama yang melandasi sah-tidaknya suatu hubungan seksual, maka SC sama dengan persetujuan terhadap seks bebas.
Sebagai konsep yang melepaskan nilai agama, SC merupakan konsep yang menyesatkan, yang menekankan bahkan mengagung-agungkan kehendak dan persetujuan manusia sebagai Hak Asasi Manusia, di atas aturan agama sebagai pengejawantahan nilai ketuhanan.
Inilah kekerasan seksual yang sebenarnya, karena kebanyakan para generasi muda melalukan hubungan seksual sebagai imbas dari pergaulan bebas dengan dasar suka sama suka. Perilaku semacam ini malah merusak generasi.
Dengan bersepakat pada pasangan, mereka tetap bebas melakukan hubungan seksual demi memuaskan naluri mereka tanpa peduli norma, agama serta keluarga mereka.
Sehingga kehancuran generasi sudah pasti ada di depan mata. Inikah yang dikehendaki sebuah negara? Melihat generasi hancur karena masuknya konsep kebebasan pada generasinya.
Persoalan pergaulan seperti kekerasan seksual dan seks bebas yang sangat masif ini, bermula dari pandangan liiberal barat penganut ideologi kapitalis komunis terhadap hubungan antara pria dan wanita.
Mereka menganggap hubungan pria dan wanita adalah perkara seksual semata bukan pandangan dalam rangka melestarikan jenis manusia. Anggapan mereka jika naluri ini tidak dipuaskan akan mengakibatkan bahaya pada manusia baik secara fisik, psikis dan akalnya.
Demi membangkitkan naluri seksual dan mencari pemuasan, mereka sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindra dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual dihadapan pria dan wanita.
Di antaranya melalui cerita, syair, buku dan karya lainnya. Kehidupan bermasyarakatnya pun bisa dijumpai banyak ikhtilat (campur baur) pada beberapa aktivitas, baik di rumah, tempat rekreasi, sarana olahraga dan lainnya.
Walhasil, ketika naluri muncul, mereka akan lakukan apapun baik dengan kekerasan atau dengan dalih suka sama suka.
Islam memiliki pandangan berbeda tentang hubungan pria dan wanita, karena memandangnya adalah sebagai bentuk untuk melestarikan jenis manusia bukan pandangan seksual semata.
Walaupun mengakui bahwa pemuasan hasrat seksual adalah perkara yang pasti tapi bukanlah hasrat seksual yang mengendalikan pemuasannya. Mengenai pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual pada suatu komunitas dan fakta-fakta yang dapat membangkitkan nafsu seksual, Islam memandang hal ini sangat berbahaya.
Aturan dalam Islam sangat tegas dan jelas mengenai hubungan pria dan wanita ini. Islam melarang khalwat atau berdua-duaan, melarang wanita ber tabarruj di hadapan pria asing (non mahram), melarang pria dan wanita dalam pendangan yang mengundang birahi serta membatasi hubungan pria dan wanita dalam kondisi yaitu pernikahan dan kepemilikan hamba sahaya.
Pada dasarnya Islam membolehkan pria dan wanita melakukan aktivitas perdagangan, pertanian, industri, mengikuti kajian, shalat berjamaah dan mengemban dakwah sebagai bagian hukum syara. Dalam kehidupan umum Islam memberi batasan hubungan pria dan wanita hanya untuk tolong menolong.
Cara pandang seperti inilah yang wajib dipahami setiap muslim baik pria dan wanita sejak dini. Pelibatan peran keluarga dalam mendidik generasi tidak akan cukup bila tidak dibantu oleh peran negara.
Tentunya bukan negara yang berdasar pada liberal kapitalis, namun negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Karena akan ada kebijakan untuk mengarahkan pada informasi dan interaksi sesuai syariat Islam.
Inilah mekanisme logis untuk selesaikan persoalan kekerasan seksual dan seks bebas. Wallahu’alam.[]
*Member Linimasa Writing Academy
Comment