Pristria Dini Aranti ST*: UU Cipta Kerja Ketok Palu, Rakyat Untung Atau Buntung?

Opini629 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA —  Liputan6 melansir,Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU). Kesepakatan tersebut dicapai dalam sidang pripurna pembicaraan tingkat II atas pengambilan keputusan terhadap RUU tentang Cipta Kerja.

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kian dikebut. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah melakukan rapat paripurna penutupan masa sidang yang mana salah satu agendanya mengenai pengesahan RUU Cipta Kerja tersebut.

Pengesahan RUU Cipta Kerja sendiri terkesan diburu-buru lantaran pengerjaannya dilakukan dengan cukup intensif dalam beberapa waktu terakhir. Selain melakukan rapat di akhir pekan beberapa kali, yang terbaru, pengesahannya kini dikebut dari yang seharusnya dijadwalkan tanggal 8 Oktober maju menjadi hari Senin 5 Oktober

Memangnya seberapa besar urgensi RUU ini untuk disahkan?

Ekonom dari CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kehadiran RUU Cipta Kerja di masa pandemi seharusnya bukanlah prioritas. Menurutnya, ada hal lain yang lebih layak untuk jadi fokus pemerintah dan DPR RI di masa pandemi seperti ini, yakni penanganan dampak pandemi COVID-19 itu sendiri.

“Sebetulnya menurut saya tidak urgen ya, karena kita sekarang kalau melihat dari sisi urgensi yang sekarang jelas kita mesti fokus, pemerintah mesti fokus justru pada penanggulangan dari sisi wabah pandemi COVID-19,” ujar Faisal kepada detikcom, Senin (5/10/2020).

Sejak diserahkan ke DPR oleh Pemerintah, berarti baru 6 (enam) bulan berlangsung pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja, Namun secara tiba-tiba DPR dan pemerintah mempercepat agenda pengesahan RUU kontroversial ini. Jadi, tidak berlebihan jika penyusunan RUU OL CK disebut “kejar tayang”.

Siapa yang senang dengan pengesahan ini? Pelaku usaha menyambut baik dan mengapresiasi pemerintah dan DPR yang telah menyepakati pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna hari ini.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani berharap UU Ciptaker dapat mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja (detik finance).

Dari sini jelas alasan pemerintah begitu menggebu-gebu ingin segera mengesahkan RUU Omnibus Law Ciptaker. Selalu, narasi yang dipakai adalah optimisme meraup untung, membuka lebar lapangan pekerjaan, dan menjadikan Indonesia mandiri secara mutlak. Narasi seperti ini tidak lahir kecuali dari kacamata penguasa pebisnis berwatak kapitalis.

Polemik RUU Cipta Kerja muncul karena muatan pasal-pasal yang penuh kontroversi. RUU ini disinyalir hanya akan menguntungkan pengusaha (korporasi). Sementara hak-hak buruh banyak yang diamputasi dan cenderung merugikan mereka.

Di antara hal-hal yang menuai pro kontra adalah dihapuskannya Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah perjam di bawah upah minimum, mengurangi jumlah pesangon, penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatif, menghapus cuti dan menghapus hak upah saat cuti.

Kemudian adanya kemudahan mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK sewenang-wenang tanpa izin pengadilan perburuhan. Serta hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha.

Senyatanya semua estimasi angka keuntungan dari bisnis investasi asing selama ini tak pernah bisa dicicipi rakyat. Yang ada, investor makin ‘gemuk’, pejabat makin korup, dan nasib 16,5 juta rakyat yang menganggur makin terpuruk karena mereka harus bersaing dengan TKA yang dibawa investor.

Kemudahan TKA untuk masuk ke dalam negeri justru mengambil alih kesempatan tenaga kerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga investasi yang awalnya digadang-gadang akan membuka banyak lapangan pekerjaan sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja nyatanya jauh panggang dari api.

Ibarat isapan jempol belaka yang terjadi malah pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang berakibat semakin tingginya jumlah pengangguran. Ditambah dengan dihapusnya sanksi pidana perusahaan terhadap pekerja, semakin melanggengkan saja perbudakan modern atas para buruh oleh korporasi.

Alhasil, UU ini sama sekali tidak memberi manfaat bagi rakyat. Bahkan yang terjadi adalah semakin kokohnya cengkeraman sistem kapitalisme neoliberal secara legal atas negeri ini. Nampak jelas keberpihakan negara justru diserahkan pada korporasi dibandingkan memenuhi hak-hak rakyatnya. Inilah kerusakan yang menjadi alasan kuat UU ini layak untuk ditolak.

Dalam sistem ini rakyat kecil atau miskin hanya dianggap sebagai beban negara. Tidak aneh di sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi, terjadi perselingkuhan antar unsur-unsurnya. Idealnya, lembaga legislatif bertugas membuat peraturan untuk diterapkan oleh eksekutif. Kenyataannya, keduanya bisa berkolaborasi guna menyusun peraturan yang menguntungkan kedua belah pihak. Semua bisa terjadi karena politik transaksional atau orang menyebut politik dagang sapi. UU disusun tidak semata-mata demi kepentingan rakyat, tapi juga kepentingan pihak-pihak yang ingin meraup untung dari keberadaan UU tersebut. Negara hadir sebagai pelayan investor, bukan pelayan rakyat? Lantas bagaimana mungkin relasi ini menguntungkan rakyat?

Dilihat dari sisi UU ini jelas cipta investasi bukan cipta kerja. Artinya, UU ini memberikan peluang besar kepada investor untuk masuk ke negeri ini. Jadi bukan demi kepentingan rakyat tapi demi kepentingan investor.

Semua poin-poin yang ada di dalamnya, baik terkait dengan Migas, terkait dengan pertanahan, terkait dengan perizinan-perizinan dan lingkungan sangat jelas sekali bagaimana nafas liberalistiknya.

UU ini juga tampak sekali sentralistik, artinya semua ke pusat. Dan konteks sentralistik ini yang sangat berbahaya karena ada oligarki. Kenapa dikatakan oligarkis? Karena diduga kuat ada pemain-pemain besar, cukong-cukong yang berada di sekitar presiden yang mengambil keuntungan dari konteks ini.

jika sebuah RUU itu begitu semangat untuk diputuskan, sementara protes dari kalangan masyarakat begitu kuat dari berbagai kalangan, baik dari masyarakat sipil, organisasi masyarakat, serikat pekerja, dan konsorsium-konsorsium yang terkait dengan kepentingan rakyat, maka patut diduga mereka bekerja demi cukong bukan rakyat.

 

*Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Comment