Ageng Kartika, S.Farm*: Kesetaraan Upah Perempuan Di Era Kapitalis, Solusikah?

Opini557 Views

 

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pada tanggal 18 September 2020, Indonesia bersama dunia memperingati Hari Kesetaraan Upah Internasional. Agenda ini menandai komitmen PBB terhadap hak asasi manusia dan menentang segala bentuk diskriminasi. Termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Hari peringatan ini pun menyorot berbagai dampak yang diterima pekerja perempuan selama pandemi, sesuai hasil pemantauan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO).

Dalam pemantauan ILO, Covid-19 dan dunia kerja, Edisi ke-5 (06/2020), dinyatakan bahwa banyak pekerja perempuan mendapatkan dampak berbeda selama pandemi, khususnya terkait dengan besarnya keterwakilan mereka dalam sektor-sektor perekonomian yang paling terkena dampak krisis ini, yaitu akomodasi, makanan, penjualan dan manufaktur. (Cewekbanget.grid.id, 17/09/20).

Berdasarkan data, upah yang diterima pekerja perempuan di Indonesia,  menunjukkan 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Bagi perempuan yang telah memiliki anak, angka selisih gajinya jauh lebih besar sehingga perbedaan upah tersebut berdampak buruk bagi ekonomi perempuan, terutama di saat pandemi sekarang.

Posisi perempuan di dunia kerja masih kurang kuat, kebanyakan berada dalam pekerjaan informal yang tidak memiliki asuransi kesehatan dan perlindungan sosial. Pendidikan tinggi yang setara dengan laki-laki pun tidak mengurangi angka kesenjangan upah berdasarkan gender. (Kumparan.com, 19/09/20).

Perempuan dalam menunjukkan eksistensi diri selalu dibenturkan dengan peran sertanya di area publik, status sosial dan kemanfaatan akan kemampuan dalam bekerja serta mampu menghasilkan materi menjadi tolok ukur kebahagiaan dan keberhasilan di tengah masyarakat.

Maka kaum perempuan berusaha untuk bisa bekerja dalam segala bidang yang sama dengan kaum laki-laki.

Dan didukung oleh pegiat gender mengampanyekannya dengan ide kesetaraan gender yang dituangkan pada konferensi Beijing Platform for Action (BPfA). Di mana salah satu poinnya adalah memperbaiki upah perempuan di dunia kerja agar setara dengan laki-laki.

Pada kondisi pandemi, realisasinya semakin jauh selisih upah yang diperoleh perempuan, maka kembali pegiat gender membuktikan ketidakberpihakan dunia kerja pada perempuan. Padahal mereka telah berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dan memiliki kekuatan pengambilan keputusan yang sama.

Bahkan bagi ibu rumah tangga, ada poin tambahan selain mampu menjaga keluarganya juga multi talenta dalam kepemimpinannya di dunia kerja. Maka sewajarnya perempuan pekerja mendapat upah yang sepadan.

Inilah basa basi sekularisme dalam mengatasi permasalahan perempuan dengan seremoni peringatan Hari Kesetaraan Upah. Penyelesaian yang tidak solutif karena faktanya sudah berlalu lebih dari 25 tahun agenda BPfA ini tidak mendapatkan hasil yang sesuai.

Masalah persepsi partriarki yang mendominasi dunia kerja tetap berjalan hingga sekarang di masa pandemi. Sekularisme terkadang menjadikan perempuan bekerja tidak menghadirkan ruh dalam aktivitasnya, mengabaikan peranannya dalam mendidik anak-anak karena terobsesi oleh pemenuhan materi.

Perempuan dalam sistem kapitalis terus didorong untuk keluar dari zona nyamannya sebagai ibu dan istri yang mengelola urusan rumah tangga. Menjadi wanita karir dan menduduki posisi penting adalah ambisinya untuk mendapatkan penghasilan yang sepadan. Intelektualitas dan daya marketing yang mumpuni merupakan keunggulan yang melandasi peran mereka di luar rumah.

Inilah realita kehidupan di era kapitalisme di mana untuk memenuhi kebutuhan finansialnya bahkan hari tuanya para ibu dipertemukan dengan kepentingan para kapitalis dikarenakan peran negara yang tidak menjamin kebutuhan rakyatnya secara menyeluruh.

Bagaimana peran perempuan dalam sistem Islam, apakah perlu menuntut kesetaraan upah seperti di era sekarang?

Islam telah memuliakan perempuan dengan segala aktivitasnya, baik di dalam rumah sebagai istri dan ibu bagi keluarganya, atau pun di luar rumah dalam muamalahnya untuk menjalankan kewajibannya yang terikat dengan aturan-aturan syariat. Tidak ada kecemburuan sosial maupun ekonomi atas peran serta laki-laki yang berbeda dengan perempuan.

Karena Islam telah menempatkan keduanya dalam porsi yang proporsional, tidak ada kerugian di dalamnya meskipun sifat dan tabiat khusus berbeda pada keduanya. Kekhususan ini bukan bentuk diskriminasi syariat Islam terhadap perempuan seperti yang ditudingkan pegiat gender dan kaum liberalis selama ini.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari Karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” ( TQS An Nisaa’ [4]:32)

Maka telah jelas dinyatakan bahwa ada peran tertentu bagi laki-laki dan perempuan untuk menjalankan urusannya tanpa harus menuntut kesetaraan gender.

Dengan akal dan potensi hidup yang sama maka keduanya diberi beban hukum yang sama, misal wajib beriman kepada yang wajib diimani, beribadah, berdakwah, menuntut ilmu, bekerja, mengembangkan harta, dan lain-lain.

Ajaran Islam yang luhur telah menempatkan posisi muslimah dan perempuan umumnya sebagai pencetak generasi gemilang dan merupakan mitra sejajar laki-laki dalam membangun peradaban.

Dalam aktivitasnya bekerja, perempuan terikat oleh aturan dan ketentuan syara’, sesuai kekhususan peran dan posisinya. Maka ketika bekerja, berlaku hukum syariat tentang ijaratul ajir (kontrak kerja) secara umum sebagaimana pekerja laki-laki.

Islam telah menjelaskan dengan detail kontrak kerja pengusaha dengan pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut jenis pekerjaan, waktu, termasuk besaran gaji.

Maka ketika perempuan memiliki keunggulan dalam intelegensi dan penyelesaian keputusan daripada laki-laki pada pekerjaan yang sama, maka akan dibayar gajinya sesuai dengan kemampuannya tersebut atau bahkan gaji yang diterima melebihi laki-laki.

Islam menjamin kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan pokok hidup berupa pendidikan dan kesehatan gratis tanpa melihat status sosialnya. Dan keadilan dalam kontrak kerja bagi pengusaha-pekerja.

Sehingga penghasilan kerja yang diperoleh tidak berhubungan dengan kecukupan akan kebutuhan hidup, gender dan jaminan hari tua. Berbeda dengan negara kapitalis yang pemenuhan kebutuhan hidup berada di tangan rakyat, negara hanya sebagai fasilitator saja dalam menjalankan fungsinya.

Rakyat harus membayar semua layanan demi memenuhi kebutuhannya. Maka dengan gaji yang relatif tetap, tidak akan mampu membiayai semua kebutuhan hidup yang selalu bertambah. Maka wajar ada tuntutan kesetaraan upah bagi perempuan.

Hanya Islam yang memiliki jaminan menyeluruh bagi kebutuhan rakyatnya dengan baik, dengan pembiayaan yang murah bahkan gratis. Maka persoalan penghasilan yang tidak sepadan tidak akan menimbulkan masalah.

Maka mesti disadari sebuah kebutuhan yang mendesak agar terhindar dari kesenjangan sosial berupa pendapatan hasil kerja dan gender dengan Islam sebagai dasar dan mercusuar keadilan yang membawa rahmat bagi semua umat manusia tanpa membedakan suku,ras dan agama. Wallahu’ alam bishawab.[]

*Praktisi pendidikan dan Pemerhati sosial

Comment