RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA. — Mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) dikabarkan harus menandatangani pakta integritas yang dikeluarkan oleh rektorat. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fajar Adi Nugroho menyatakan skandal pakta integritas terungkap oleh panitia dan mentor program pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru membagikan lembar pakta integritas kepada mahasiswa baru.
Lembar pakta integritas wajib diserahkan mahasiswa baru dalam waktu yang sangat singkat.
Sedikitnya ada 13 aturan yang harus diikuti oleh mahasiswa baru. Salah satu aturan yang tertera dalam pakta integritas tersebut adalah larangan mahasiswa terlibat dalam politik praktis yang dianggap mengganggu tatanan akademis dan kehidupan bernegara.
Kelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin dari pimpinan kampus juga dilarang membuat kaderisasi, orientasi, study, pelatihan, dan pertemuan.
Namun, Universitas Indonesia (UI) menyebut pakta integritas yang beredar di kalangan mahasiswa baru kampus bukan dokumen resmi yang dikeluarkan UI.
Dilansir cnnindonesia.com (13/09/2020) Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusi menjelaskan bahwa dokumen berjudul “Pakta Integritas” yang telah beredar di kalangan mahasiswa baru UI bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan Pimpinan UI.
Sementara itu, pihak Universitas Indonesia lewat Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusi menjelaskan terkait pakta integritas itu. Dia mengatakan pakta integritas itu sebetulnya bukan bentuk pengekangan terhadap mahasiswa, tapi itu justru dimaksudkan agar mahasiswa bisa berfokus belajar di kampus.
Realitas Problematika Kampus
Pakta integritas adalah dokumen yang berisi pernyataan atau janji kepada diri sendiri tentang komitmen melaksanakan seluruh tugas, fungsi, tanggung jawab,wewenang, dan peran sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kesanggupan untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun, solusi dari problem seperti narkoba, kebebasan hingga radikalisme tidak mungkin bisa diatasi dengan pakta integritas bagi mahasiswa baru.
Nyatanya, kalangan pelajar dan mahasiswa menyumbang angka penguna narkoba sebesar 27 persen di Indonesia. Sekalipun penangkapan pelaku dan pengedar sudah sering diberitakan, namun kasus ini terus bermunculan. Ibarat peribahasa “mati satu tumbuh seribu” karena negeri yang menerapkan kapitalisme akan sulit meninggalkan apapun yang berbau uang.
Bisnis narkoba diakui sangat menggiurkan dan berpeluang mendatangkan limpahan rupiah. Karenanya, keberadaannya seolah dipertahankan dan “sayang untung dibuang”.
Kemudian kasus prostitusi online yang melibatkan mahasiswa, sorang mucikari berinisial HP ditangkap akibat melakukan praktik prostitusi online melalui 15 akun twitter. Setidaknya, ada 20 mahasiswa yang dijajakan dalam prostitusi online tersebut oleh HP. Mahasiswa sebagai sumber daya manusia yang harusnya menjadi aset terbaik bangsa justru terlibat aktivitas mengumbar syahwat seperti prostitusi.
Jika dicermati pergerakan mahasiswa Islam akhir-akhir ini, sepertinya lumpuh dan sekarat. Padahal, mahasiswa muslim bukan hanya agen perubahan sebagaimana disematkan kepada mahasiswa pada umumnya, namun melekat juga pada dirinya visi kemusliman.
Mahasiswa/i Islam tidak lagi nampak sebagai pergerakan intelektual mengawal bangsa ini agar mengurus rakyatnya dengan benar. Mahasiswa Islam tidak lagi peka terhadap persoalan keumatan yang makin terzalimi. Mahasiswa Islam mestinya menjadi bagian dari umat terbaik yang dilahirkan untuk bangsa dan negara.
Ketika kampus dinormalisasi, disterilkan dari aktivitas politik yang terjadi adalah keterbungkaman, mati daya kritis mahasiswa, sementara kezaliman sistem dan rezim terus berjalan tanpa kritik.
Korupsi bebas, kebijakan rezim prokapitalis asing sementara rakyat negeri ini bertambah menderita. Kampus sebagai institusi pendidikan tertinggi, harusnya membangun susana berpikir objektif, analitis, logis, serta kritis.
Mahasiswa adalah salah satu elemen masyarakat, tentu tidak bisa dipisahkan dari politik. Entah sebagai subjek ataupun objek. Pemuda adalah pemegang estafet pemerintahan berikutnya. Kebijakan yang dihasilkan akan berdampak terhadap hampir seluruh aspek kehidupan rakyat, tak terkecuali anak muda.
Tidak terbayangkan bagaimana keadaan negeri ini jika pemudanya mandul kesadaran politik akan menghasilkan pejabat yang tidak memiliki visi kenegaraan yang utuh dengan kapasitas yang mumpuni.
Oleh sebab itu, kampus harusnya melakukan pembinaan politik yang benar dengan memahamkan politik sejatinya tidak melulu berkaitan dengan pertarungan perebutan kekuasaan, tetapi bagaimana mengurus berbagai kepentingan rakyat, bukan membungkam mahasiswa, bahkan mengasingkan perannya terhadap masyarakat dan bangsa ini.
Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah memberi contoh terbaik untuk kita semua, bagaimana peran pemimpin dalam membangun kesadaran politik mengubah peradaban jahiliah menjadi peradaban Islam yang mulia, yaitu dengan dakwah politis. Mengubah pemikiran jahiliyah menjadi pemikiran Islam,membina para sahabat menjadi kader-kader dakwah, kemudian menyebarkan para kader dakwah ini untuk mengajarkan Islam kepada kelompok umat lainnya.
Dakwah politis yang dilakukan kelompok dakwah Islam ini intinya adalah pencerdasan dan amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah umat, termasuk kepada penguasa. Sikap kritis harus ideologis, tidak pragmatis apalagi anarkis. Semangat kritis mahasiswa tanpa solusi ideologis tentu hanya menambah ruwet masalah negeri ini. Kampus harus menumbuhkan daya solutif mahasiswa dengan mengkaji secara objektif akar permasalahan bangsa ini dan solusi mendasar dan mencampakkan sistem sekulerisme-kapitalisme.Wallahua’lam.[]
*Mahasiswi Universitas Al-alzhar Indonesia
Comment